Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 2]

 Ilustrasi 1 cerpen bertema kehidupan, dongeng orang kecil (Part 2). Foto S. Prawiro)

Bagi anak-anak yang lahir dan dibesarkan di pedesaan,  mencari  ikan di sungai, di danau, di sawah, dan  di rawa-rawa merupakan bagian dari kesehariannya. Terutama kaum cowok kelahiran tahun 50-an sampai 70-an. 

Eits ... tunggu dulu! Tidak hanya anak laki-laki, bocah perempuan pun juga banyak yang punya hobi mencari ikan. Saya salah satunya. Mulai memancing, menangguk, sampai menguras rawa. Tetapi seringnya dua terakhir. Pulang-pulang, sekujur tubuh dan pakaian seperti kerbau keluar dari kubangan.

Bagi saya, mencari ikan itu punya sensasi tersendiri.  Saya tidak berkecil hati kalau teman sebaya tak meikutsertakan saya  pergi jalan-jalan. Tetapi merasa tersisih kalau tak diajak menangguk ikan.  Dan lebih jengkel  lagi jika mau ikut tetapi tidak dapat izin dari Emak.  Malah diberi tugas mengasuh adik.

Anehnya, dari kecil sampai setua ini saya kurang suka makan ikan air tawar. Apalagi yang diperoleh dari rawa dan sawah.  Gak banget. Kecuali ikan-ikan tertentu hasil tangkapan dari Danau Kerinci. 

Saking gelinya, setiap habis membersih ikan  saya mandi keramas dan mengganti semua pakaian yang melekat di badan. 

Bagaimana dengan kalian? Terutama kaum milenial. Pernahkah kalian menangkap ikan bersama seperti kami-kami orang desa?  Kalau belum, yuk ..., ikuti petualang Eyang Wiro dalam cerpennya  Menguras Rawa.

Sama dengan kisah Sarang Burung,  cerita ini adalah salah satu dari 27 cerpen bertema kehidupan yang disematkan dalam Buku Dongeng Orang Kecil karya Eyang Prawiro, yang dalam waktu dekat siap naik cetak. 

Apabila bukunya telah jadi, yang minat ngorder  silakan hubungi  penulisnya. Nomor WA-nya  boleh minta ke saya.

Menguras Rawa

Ilustrasi Cerpen bertema kehidupan, dongeng orang kecil (Part 2). Menguras Rawa. Foto NURSINI RAIS

Tergambar dalam kepalaku , ikan yang digoreng Mamak. Dicocol dengan sambal terasi dan dilahap bersama nasi hangat yang uapnya masih mengepul. 

Baru saja hendak berangkat memancing, bayangaan hidangan buatan Mamak sudah menggoda. Aromanya seolah mengusik hidung dan melapor pada perut agar berteriak, “lapaaar.”

 Jika dengan  memancing tak mampu maraup berlimpah ikan, maka waktunya memanggil teman-teman kecilku. Saatnya untuk berbuat lebih. Bapak sudah mengomando anak-anak di tempat kumuh ini.

“Ayo pergi maccala!”

Anak-anak langsung berkumpul, bergegas mengganti kostum masing-masing. Ada yang mengenakan celana tua, sobek di bagian pantatnya, kaus oblong yang pernah dijadikan lap, atau baju lusuh yang kainnya sudah rompal-rompal. Mereka tahu sebentar lagi akan bermandikan lumpur.

Maccala merupakan cara menangkap ikan dengan terjun langsung ke rawa.  Biasanya hewan-hewan kecil itu bersembunyi di dalam kaleng bekas yang terbenam di lumpur.

Tapi bagi anak-anak sepertiku, maccala punya makna yang lebih mendalam. Yakni sebuah petualangan penuh imajinasi, mangarungi kolam cokelat untuk berburu biji meses. Sejenis jajanan yang hanya bisa kubayangkan teksturnya menyentuh lidah. Kata orang rasanya manis dan lembut.

Suatu saat jika sudah jadi orang kaya, aku akan membelinya. Entah sejak kapan aku sudah bercita-cita menjadi orang sukses. Mungkin karena merasakan sulitnya hidup jadi anak miskin.

Rawa yang kami datangi tidak jauh dari kontrakan. Tepat di belakang rumah bertingkat, yang dihuni pemilik apotek pinggir jalan.

Mataku memindai sekeliling kedua tangan bertengger di pinggang.

Rawa tempat petualanganku kali ini diselimuti tanaman enceng gondok. Bertabur sampah yang dilempar tuan rumah lewat jendela belakang.  Tak sedikt beling dan kepingan seng. Bapak rajin mengingatkan agar kami berhati-hati.

Sebelum mulai maccala, rawa dibersihkan dulu. Enceng gondok dan kangkung liar disingkirkan ke tepi. Kemudian rombongan dipecah menjadi dua kelompok. Setiap kelompok diperintahkan mengepung ikan dari arah berlawanan, menggunakan jaring berongga kecil-kecil  meski tak sekecil kelambu anti nyamuk.

Jaring yang sisi-sisinya sudah dipegangi, lantas kami bentangkan, ditenggelamkan di dalam air. Kami lalu berjalan serempak dan berkumpul di tengah, mendesak ikan-ikan agar masuk perangkap.

Rawa ini dihuni banyak ikan kanjilo atau ikan gabus, lele, belebalang, dan cambang-cambang - aku tak tahu nama persisnya di tempat lain. Jenis ikan bertubuh pipih dan lembar serta memiliki sepasang  janggut yang panjang. Di tangan Mamak, ikan itu akan menjelma menjadi  sajian lezat yang menggugah selera.

Ada lagi cara lebih ampuh untuk mengeruk semua ikan yang hidup di rawa, yaitu dengan mengurasnya. Satu pasukan menceburkan diri di rawa dan menimba airnya hingga tandas.

Kami berlompatan, berteriak girang, tak lupa saling melempar lumpur. Berlomba-lomba menjarah ikan atau belut. Sayangnya, bukan hanya ikan segar yang kami peroleh. Karena rawa ini juga sekaligus  rumah bagi beberapa jenis ular. 

Puas dengan hasil buruan, kami pun menyudahi aksi siang itu. Kembali kerumah seperti segerombolan prajurit yang baru pulang dari medan perang.

Baju penuh lumpur, menenteng berikat-ikat ikan yang siap dijual pada orang-orang kompleks. Tak lupa menyisihkan sebagian untuk lauk. 

Butuh berbulan-bulan hingga yang dikuras terisi penuh ikan lagi.

Kini, kolam cokelatku menjelma gedung-gedung tinggi. Tak ada lagi ikan ataupun ular yang menghuni .

Rawa itu telah punah dikunyah zaman. (Bersambung).

Baca juga:

****
Penulis,
S. Prawiro, Jakarta


15 komentar untuk "Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 2]"

  1. ya, banyak lapangan untuk olahraga atau main bola telah berubah jadi rumah mewah atau pabrik....

    sehingga kita tak banyak menghasilkan olahragawan lagi...

    Kisah menarik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih tanggapannya Mas Tanza. Syukur, di desa sekadar tempat anak2 main bola, masih tersedia. Tapi tidak seperti dahulu lagi. Anak2 pun lebih asik main gadget ketimbang beraktivitas di luar rumah. Selamat malam dar tanah air.

      Hapus
  2. Pengalaman masa kecil yang saat ini sangat sulit terlihat, karena anak-anak sekarang sibuk dengan dunianya sendiri 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, ananda Dinni. Walaupun mereka lahir dan besar di desa, kondisinya beda tipis dengan kegiatan anak kota. Selamat malam. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
  3. Saya selalu rindu pulang kampung. Tapi percaya gak, lima tahun kemudian pepohonan hilang berganti jalan aspal dan jembatan beton. sungai itu tidak bisa lagi di buat berenang.

    Sedih juga terkadang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, Mas Sofyan. Rawa-rawa yang dahulunya tempat ikan bersarang, kini sudah hilang lenyap ditelan kebun kelapa sawit. Saya hanya bisa termangu memandangnya. Begitulsh dunia. Semuanya bisa berubah pada waktunya. terima kasih telah singgah. Selamat malam.

      Hapus
  4. Jadi ingat masa kanak kanak, mencari ikan di sawah dan sungai. Sekarang sudah sulit, rawa pun sudah menjadi perumahan dan kalau hujan besar jadi banjir. Pertumbuhan penduduk harus dikendalikan supaya bumi tidak sesak dan alam tetap lestari dan tidak berubah fungsi. kelapa sawit ditanam untuk memenuhi kebutuhan minyak, Akasia ditanam untuk memenuhi kertas kerja, semuanya kembali ke pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dan tidak terkendali. Salam sehat Bu.

    BalasHapus
  5. Musnah dikunyah zaman. Kata terakhir yang bikin mewek bu.Saya waktu kecil juga suka main di sungai, tapi meski tak pandai menangkap ikan menggunakan tangan, tapi kalau urusan mancing bisa diadu.Cerita yang keren bu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masing-masing kita punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, ananda Supriayadi. Pintar memenacing belum tentu ahli menangkap ikan pakai tangan. Terima kasih telah singgah selamat malming.

      Hapus
  6. Belum pernah merasakan menangkap ikan bersama-sama. Gimana mau melakukannya kali dan waduk di tempat saya tinggal airnya hitam ikan yang hidup paling hanya ikan sapu-sapu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Zaman sekarang hampir semua sungai dan rawa mengalami nasib serupa, Mas Hermansyah. Baik di desa maupun ai perkotaan. Terima kasih telah mengapresiasi. Doa sehat untuk keluarga di sana ya.

      Hapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah singgah, sobat. Doa sehat untukmu selalu.

      Hapus
  8. waktu kecil sempat ikut2an menangkap ikan di empang, hehehe seru. Sekarang semua sudah jadi rumah, gak heran kalau jadi sering banjir di tempat2 yang dulunya empang dan rawa-rawa

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he... Anak-anak kota mungkin takut menyaksikan anak-anak kampung berkubang lumpur ya, ananda Naia. Ya, gara-gara rawa dan empang sudah tertimbun membuat negeri ini sering banjir.

      Hapus