Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 4]

Ilustrasi Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil. (Foto S. PRAWIRO)
 
Hallo cucu-cucuku, anak-anakku dan sahabat mayaku.  Jumpa lagi dalam cerpen Eyang Wiro yang ke  empat, dengan judul Mirna.

Kalau sebelumnya suami Wulan Mardiana  ini selalu bersenandung dalam duka, rupanya  pada  episode ke empat  ini dia berusaha menganggit kisah  sukanya menyambut kehadiran Mirna.

Tapi bukan S. Prawiro punya cerpen tanpa  dibumbui dengan  konflik  unik, rumit dan menggigit.  Berikut kisahnya. Biar sensasinya dapat, baca sampai  habis ya.

Mirna

Ilustrasi cerpen dongeng orang kecil, Mirna. (Sumber: Tangkapan layar dari Instagramku)

Seperti apa rasanya dibohongi orang yang paling dipercaya?

Akan kuceritakan seseorang bernama Mirna.

Malam itu badanku diguncang beberapa kali.

“Lekas ko bangun, pergi ko panggilki Bapak. Cepat”

Aku membuka mata, meregangkan badan, bangkit berdiri, lalu mendorong pintu. Berlari bersama rasa kantuk, aku menuruni anak tangga  berbahan batu-batu berwarna kelam.

Setiba di rumah Bapak, aku menggedor-gedor pintu.

“Pak, Bapak! Maumi melahirkan, Tati. Bukaaa!”

Tati adalah kakakku nomor dua. Tanganku terus memukul-mukul pintu padahal sudah mendapat tanggapan dari dalam, membuat  Bapak terdengar mendengus kesal.

Betul kata Mamak. Bapak tak pernah benar-benar lelap. Saat tidur dia masih bisa mendengar langkah tikus kecil yang berusaha mendekat piring kotor. Juga suara serak gagak, atau ricuh kucing kebelet kawin yang sering berkejaran di atap rumah panjang yang kami kontrak. Bahkan tahu pukul berapa dengan mendengar kokok ayam.

Pintu kayu  terbuka dan Bapak muncul dari baliknya, menenteng sebuah kotak yang selalu dibawa ke mana-mana setiap kali narik becak. Di dalam kotak itu terdapat macam-macam perkakas, termasuk kunci gembok becak.

“Cepatki, Pak! Sakit sekalimi beng perutnya Tati!” Aku memerintahkan untuk bergerak cepat.

Aku tahu Bapak jauh-jauh hari   sudah menyiapkan segalanya untuk menyambut kelahiran cucu pertamanya. Bahkan dia membuat catatan perkiraan kapan cucunya akan lahir, menempelnya besar-besar di ruang tamu.

Kami bergegas menuju pohon waru tempat becak diparkir. Lincah Bapak membuka gembok dan mengurai rantai pengaman. Kami lalu mendorong becak bersama menarik tanjakan, melewati gundukan tanah.

Dari jarak seratus meter, di pinggir jalan sudah berdiri Tati dan suaminya. Tas besar dibiarkan teronggok di aspal. Kakak tak sabar, terus-terusan memegangi perut bulatnya. Perut yang aku tahu penuh bekas cakar akibat kerap digaruk.

Kami semakin dekat, becak dikayuh lebih cepat. Sepersekian detik sebelum tiba, Bapak memutar kemudi becak sampai ban kanannya terangkat.

Hebat macam pembalap saja. Aku pernah melihat adegan serupa, di sebuah tikungan saat kompetisi  becak musim lalu.

Tanpa disuruh, Tati naik duluan mengambil posisi nyaman, lalu disusul suaminya. Aku diminta tinggal, tapi ngotot mau ikut. Akhirnya  aku turut berjubelan, duduk bersila dipijakan kaki.

Tiap kali kakak mengerang, terasa laju becak semakin kencang. Kami bergerak menabrak angin.

Pukul dua dini hari, dari dalam ruangan terdengar rintihan berbalut motivasi dari Bidan.

“Tarik napas, lepas, tarik, lepas.”

Aku dan iparku cemas menunggu. Sementara Bapak pulang menjemput Mamak. Betapa repot dan mengibakan berada di tengah proses melahirkan.  Baru pada pukul tujuh, tangisan bayi terdengar. 

Sosok bayi gembul berkulit merah. Tubuhnya menggeliat lucu. Baunya masih amis. Aku mencium keponakan pertamaku.

Mirna.

Hari itu dengan bahagia aku mendapat libur sekolah.

Sejak Tati menikah, aku diajak tinggal bersama pasangan muda itu di kontrakan tak jauh dari rumah. Bapak tentu merasa terbantu . Lumayan, tanpa aku, Mamak bisa menghemat tiga piring nasi sehari. Juga cucian segunung yang tak habis-habis. 

Tapi alasan paling penting adalah, anak-anak Mamaklah pemicu pertengkaran orang tua yang paling sering terjadi. Terutama aku dan Mono, sihingga kami lebih cocok dipisahkan.

Sejak Mirna lahir, pesanan daun pintu dan kusen jendela mengalir deras. Kakak iparku yang tukang mebel menjadi sangat sibuk. Tati juga semakin repot dengan pekerjaan rumah tangga;  masak, beres-beres rumah, mencuci baju, dan sebagainya. Aku pun kecipratan repotnya, harus menjaga si kecil di antra  desing mesin penghalus kayu.

Ponakanku itu berbeda, lebih lucu dan menggemaskan dari adik-adikku. Pantas aku begitu menyayanginya.

Bila dia menangis, aku cepat memeriksa pantatnya. Kakak belum mengizinkan aku menggendong Mirna sampai usianya lebih dari dua bulan. Lehernya belum kuat, katanya.

Waktu itu tugasku hanya teriak, “Mirna ngompol, Mirna bangun, Mirna eek, Mirna mau tetek.”

Sebetulnya aku sudah bosan menjaga anak  kecil. Waktu tinggal dirumah, adikku terus lahir dan lahir. Terakhir, perut Tati dan Mamak gendut bersamaan.

Untung Mamak melahirkan lebih dulu- bayi ke sembilan yang berhasil keluar dengan selamat dari rahimnya. Sehingga Bapak bisa mengatur waktu. Apa jadinya kalau kedua perempuan itu harus melahirkan  berbarengan

Semakin sering menjaga Mirna, muncul kerinduan akan kebiasaan menggendong bayi. Akhirnya aku dapat izin menidurkan si kecil Mirna. Memabaringkannya di atas kaki. Menggoyang-goyangkan, menciptakan getaran lembut sehingga bayi itu semakin terbuai.

Lagu Nina Bobo yang dinyanyikan secara sederhana mengalir halus dari bibirku. Melihatnya perlahan menutup mata memberikan kebanggan tersendiri. Aku merasa dibutuhkan dan bisa ia andalkan.

Kadang hanya bisa tersenyum menyaksikan dia  dimandikan air hangat. Setiap hari aku berkutat dengan ompolnya. Bila Mirna tidur siang, biasanya Tati ikut istirahat. Sedikit saja gerakan kecil segera kutarik-tarik ayunan sampai dia pulas kembali.

***

Kian hari Mirna bertambah lucu, badannya semakin gendut dan sekal. Gelak tawanya menggemaskan. Ketika berumur setahun, mirna mulai belajar berjalan. Aku bahagia menjadi saksi mata setiap perkembangan kecilnya.

Pagi itu aku tiba di rumah mengantong  uang dua ribu rupiah. Hasil yang cukup banyak. Masih memanggul karung usai menilik tong-tong penuh sampah, kulihat sebuah mobil terparkir di pinggir jalan.

Seluruh anggota keluarga berkumpul, termasuk para tetangga. Kakak sudah tampil rapi, barang-barang sudah dikemas. Kardus-kardus diikat sedemikian rupa.

“Mauki pergi ke mana?”

Suasana hening sejenak . Mamak memegang pundakku.

“Tidak lamaji, cuman satu minggu,” kata kakak iparku.

Jawaban itu tak melegakan. Aku merasa ada yang ganjil. Kalau Cuma seminggu, kenapa semua barang-barang dibawa serta?

“Mauki pergi kemana?” ulanggku.

Rasa sedih tiba-tiba menyelinap. Uang dua ribu rupiah yang sepanjang jalan tadi membuat hatiku begitu gembira, kini tak berarti lagi.

“Pulang kampung tapi tidak lamaji,” lanjut suami Tati.

“Kasih Mirna ini” Tanganku menyodorkan seluruh uang hasil memulung hari itu. Kakak menolaknya tapi  aku memaksa. “Belikan bubur.”

Aku kuatir Mirna lapar di perjalanan. Apalagi daerah yang akan mereka kunjungi sangat jauh.  Jalannya yang berkelok-kelok sering bikin muntah.

Tati,  suaminya, dan tentu saja Mirna harus pulang kampung ke Sinjai.

Satu persatu saling bersalaman. Tati memeluk Mamak dan Bapak erat. Mamak menangis pilu melepaskan anak perempuan dan cucu peramanya. Tumpahan air mata perpisahan tak bisa dibendung. 

Aku melepas Mirna dengan berat hati. Hanya bisa menatap bayi itu dengan pedih karena tak bisa mencium pipi gemuknya. Badanku masih kotor dan bau. Entah kapan lagi aku bisa menggendong Mirna seperti  hari-hari kemarin.

Rombongan keluarga kecil itu pun masuk ke mobil. Tati melambaikan tangan. Mamak sesunggukan sambil mengucapkan pesan.

Saat mobil mulai lenyap dimakan tikungan, di situlah perasaanku semakin tak nyaman.

Hatiku mendadak sepi. Seperti rasa kosong yang menyakitkan. Aku melarikan diri, mencari tempat menyendiri di rerumputan. Diam-diam menangis.

***

Hari-hari setelah kembali tinggal bersama Bapak dan Mamak, aku seperti kehilangan semangat hidup. Suntuk, malas makan, dan susah tersenyum.

Setiap hari kudatangi rumah kosong bekas tempat tinggal Tati. Aku kangen suara tangis dan bau kencing Mirna. Aku ingin menyendoki air putih dan menyuapkan ke mulutnya. Aku rindu menimangnya sampai tertidur.

Hari ke tujuh yang sangat kurindukan tiba. Setiap ada mobil singgah, aku gembira. Berjalan mendekat dan melihat satu-satu orang yang turun.

Kukira, hari itu Mirna benar-benar pulang dan kami akan berkumpul  lagi. Ternyata mereka tidak kembali.

Aku menunggunya hingga seminggu kemudian, memanjangkan harapan. Dadaku terasa sangat sesak.  Selalu ingin menangis jika teringat si kecil Mirna.

Namun, sampai rumah itu dikontrak orang, mereka tak pernah kembali. (Bersambung).

Baca juga:

*****
Penulis,
S, PRAWIRO
Jakarta

4 komentar untuk "Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 4]"

  1. Ah, Nenek... terima kasih sudah ikut menyebarkan cerita ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali, cucunda. Salam untuk Maher dan Emaknya ya. Selamat malam. Salam sukses selalu.

      Hapus
  2. perasaan rindu yang tak terobati.. jadi ikut terhanyut dengan jalan ceritanya, bunda..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Serasa kita sendiri yang menggantung rindu tak bertepi ya, ananda Naia. He he ... Terima kasih tanggapannya. Selamt istirahat.

      Hapus