Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil (Part 10)

Ilustrasi Cerpen Bertema Kehidupan, Dongeng Orang Kecil Part 10, (Foto S. PRAWIRO)

Hai, sobat celotehnur54! Kita sudah berada pada tayangan ke 10, sekaligus bagian terakhir cerpen Dongeng Orang Kecil karya Eyang Wiro. Judulnya, Sungai Tua.

Bukan berarti riwayatnya berakhir sampai di sini. Masih ada 17 kisah klasik lainnya yang siap memanjakan Anda. Tetapi dalam bentuk cetaknya yang imud, cantik dan memikat.

Anda berminat? Silakan hubungi penulisnya S. Prawiro, WA: 0852-1868-3868. Milenial ganteng dua anak ini siap melayani selama 24 jam. Jangan sampai kehabisan!

Terakhir terima kasih tak tak terhingga disampaikan kepada cucunda S. Prawiro, yang telah memberikan kepercayaan untuk mempublish karya-karyanya di blog Nenek Ndeso ini.  Salam literasi.

Sungai Tua


Anak-anak Desa Ridu Hati, Bengkulu, bermain di Sungai sambil menangkap ikan. (Ilustrasi Dongeng Orang Kecil, Sungai Tua)

“Sesekali pakai itu di telingamu, Nak.”

Aku hanya menunduk lesu, jangan coba-coba membantah kalau Mamak sedang  mengomel.

“Sudah berapa kalimi Mamak bilang jangan lalo ko main di sungai tua, tapi tidak mau memang tongko mendengar.”

Mamak mengoceh terus, menyalahkan ku yang tak mengindahkan nasihatnya.

Darahku ikut mendidih, mengumpat mencari-cari kambing hitam.

 Siapa yang melapor?

Susah payah kusembunyikan rahasia itu, ujungnya terungkap juga. Pasti Mono, sangkaku. Tidak sabar ingin menjitak kepalanya. 

“Ah, siapa sedeng yang bilang, Mak?”

Aku pura-pura mengerti, berupaya  meyakinkan kalau berita yang mamak dengar hanyalah cerita palsu.

Mamakmu ini punya mata di mana-mana tidak usah mako akting.”

Kalimat pamungkasnya keluar, dan memaksaku berjanji tidak akan mengulangi. Sebelumnya, aku  sudah dilarang keras untuk tidak berenang di sungai tua. Mamak bergidik jika mengingat dua anak yang tewas tenggelam.

“Setengah matimu dikasih makan nampa ero’mete sia-sia.”

Mamak masih menggerutu, merasa susah payah memberi makan anak-anaknya, jangan sampai sia-sia. Tangannya terampil mencubit pahaku yang bandel ini.

Bertahun-tahun lalu, di kanal dekat rumah kontrakan, ada dua anak yang ditemukan dalam keadaan membusuk setelah dikabarkan tenggelam selama 3 hari.

Keduannya memakai seragam merah putih. Orang-orang yang masih percaya mitos bilang, mayat anak malang itu disembunyikan penjaga kanal. Ingatan getir itu menghadap di benak Mamak., menjelma kekhawatiran yang meluap.

Mamak akan murka setiap kali mendengar ada anaknya yang memilih bermain-main di sungai, apalgi jika tanpa izin terlebih dahulu.

Karenanya, aku pernah terpaksa berjanji tidak akan ke sungai lagi.

***

Waktu itu sekitar pukul dua siang. Aku, teman-teman, dan adikku, Mono, berencana pergi menangkap ikan. Hal yang beberapa minggu terakhir biasa kami lakukan. Tentu saja, tanpa sepengetahuan Mamak.

Awalnya kami hanya memburu ikan-ikan di sungai di bawah jembatan. Aku turun menyelam, memasukkan tangan ke celah-celah pondasi. Kemudian meraba-raba isinya.

Membahayakan mengingat tempat seperti itu sering kali menjadi area jajah ular. Tapi aku memberanikan diri. Aku suka bersaing. Tak mau kalah dengan teman, harus berhasil memperoleh lebih dari yang lain.

Ketika jumlah ikan tangkapanku sudah memuaskan, terbayang beberapa lembar uang akan menyelinap ke kantong. Ikan-ikan ini nantinya akan kami jual ke kompleks orang kaya. 

Kami lalu berencana mencari lebih banyak ikan dengan pergi ke sungai tua. Sungai yang tengah masa penimbunan untuk proyek perumahan. Sehingga ada bagian sungai yang dangkal namun masih ada yang tenang dan dalam.

Awalnya aku tidak ingin turun mengingat badan mulai lelah. Tetapi seorang teman berbadan gempal mengajak, setengah memaksa.

Sekilas mataku menangkap siluet di kejauhan, sosok aneh mengintai keberadaan kami.

“Tunggu di situ saja, nanti kujemput.”

Aku mengangguk malas  mendengar teriakan si gempal Giant. Seluruh teman termasuk adikku pandai berenang. Dalam kasus ini aku tak seberuntung Suneo. Lebih mirip Nobita karena menjadi satu-satunya orang yang tak lihai berenang di kelompok pertemanan kami.

Seluruh temanku berada di tengah sungai yang sudah cetek. Aku masih berdiri di tepi sungai air yang serupa kopi berampas. Tepat di depanku merupakan bagian sungai yang masih dalam karena belum tersimpan timbunan tanah.

Aku menceburkan tubuh ke sungai, dan mendadak seperti ada batu besar terikat di kaki, membawaku seakan tersedot semakin dalam.

Air keruh berlumut seolah menyerbu. Badanku sekuat tenaga berontak, panik mencari pegangan. Napas mulai megap-megap dengan kepala tenggelam.

Dengan sisa tenaga aku mencoba minta tolong.

Seorang teman datang dan menggendongku, berusaha membawa ke tempat yang lebih aman. Sekujur tubuh kami meghitam, dipenuhi serabut tebal dan basah.

Aku bernapas lega di punggungnya, merebahkan badan dengan santai. Sang teman terbatuk, nampaknya menelan air.

Tak sanggup menanggung beban, dia membantingku ke air dan melepas gendongannya. 

Tubuhku kembali meronta. Menendang-nendang air, tangan tak kalah sibuk.  Air terpaksa kutelan. Napas mulai tersengal. Badanku letih. Habis tenaga.

Kucoba menikmati tubuh yang terus tenggelam. Pasrah. Barangkali ajalku sudah dekat. Mungkin cerita tentang dua anak SD yang ditemukan tewas tenggelam akan terulang kembali.

Sekali lagi, seorang teman lain meraih tanganku. Ia mengulang hal yang sama, memanggul tubuhku di balik tangannya.  Cepat-cepat aku mengunci badannya sambil menghirup napas sebanyak mungkin yang bisa kuraih. Takut jika aku akan tenggelam kembali.

Namun rupanya, dia pun tak menguasai cara menyelamatkan seseorang yang tenggelam. Sekali lagi karena tak kuat, sang teman membebaskan dirinya sendiri dan membiarkanku terjerumus ke kedalaman.

Tak ada lagi yang berani menolongku. Napas semakin putus-putus.

Dalam hati aku berucap, “Ya Allah, barangkali memang sudah waktunya aku mati.”

Saat sudah sepenuhnya pasrah, seseorang menarik tanganku dengan gayanya yang canggih. Sejurus kemudian aku berada di tepi sungai. Terbatuk-batuk. Tak hanya badan, hatiku merasa lega bukan main. Aku tak jadi mati.

Kuperhatikan lebih teliti. Rupanya dia sosok yang sejak tadi kuanggap aneh.

Kakek tua di sungai tua. 

Aku tersenyum penuh terima kasih lalu lunglai. Dan pingsan.

***

Ketika membuka mata, aku telah berada dirumah sang kakek, komplit bersama seluruh pasukan. Kami dijamu hidangan lezat dan minuman hangat.

Rupanya rumah sang kakek merupakan satu-satunya rumah yang tersisa di sekitar sungai tua. Semua tetangga sudah tergusur, memilih menukar rumah dan tanah dengan sejumlah uang.

Keluarga kakek bertahan. Menolak mati-matian menjual tanahnya, membuat proyek  sedikit terkendala.

Rumah kayunya dibangun di atas air yang dikelilingi ikan-ikan. Lebih melimpah dan mudah ditangkap ketimbang ikan dari sungai tua.

Kakek mempersilakan kami menangkap ikan di kolong rumahnya. Airnya jernih, ikan-ikan gemuk berlarian.

“Hati-hati kalau main di sungai. Jangan main sendirian,’ ujarnya.

“Kalau kata orang tua zaman dulu, jangan suka menyepelekan. Misalnya bilang begini, ‘ah, cuma seginiji airnya.’ “

Nasihat khas orang tua. Menggurui dan agak menyebalkan di telinga anak kecil sepertiku.

“Satu lagi, jangan  serakah. Apalagi kalau di air, bisa ada penjaganya,”

Dasar anak-anak tidak tahu berterima kasih, kami berhasil menangkap masing-masing sepuluh ekor ikan. Padahal kakek itu sengaja memeliharanya untuk melanjutkan hidup.

Aku memang sialan. Tidak pernah ada puasnya. Saat perjalanan pulang, kami memutuskan singgah ke sungai berarus deras. Hendak mencari ikan lagi.

Seketika kakiku menginjak batu berlumut. Aku terpelanting. Badan terasa remuk, ikanku lepas dari genggaman.

Terbawa arus, hanyut semuanya.

Pada akhirnya setiap orang menerima akibat dari perbuatan masing-masing. Aku sudah melanggar janjiku pada mamak, juga tak mendengarkan nasihat sang kakek.

Teringat pesan sang kakek, “Jangan tamak. Karena sesungguhnya manusia tidak ada apa-apanya dan sangat mudah tergelincir.”

Baca juga:

*****
Penulis,
S. Prawiro
Jakarta

4 komentar untuk "Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil (Part 10)"

  1. wah.... pelaku utama cerita sangat energik....

    kalau saya waktu kecil, berenang sebentar aja sudah kelelahan ... 😁😁

    Thank you for sharing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cepat lelah saat berenang karena belum terbiasa, Mas Tanza. Terima kasih telah singgah. Selamat pagi dari tanah air.

      Hapus
  2. Terima kasih banyak juga Nek, bersyukur bisa berkenalan dengan Nenek yang begitu menghargai karya penulis lainnya, sehat-sehat terus Nek, panjang umur dalam keberkahan, Aamiiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, Nenek tersanjung, Nih. Amin ... cucunda. Doa panjang umur juga buat keluarga di sana.

      Hapus