Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seminggu di Kampung Halaman, Inilah 4 Fenomena yang Melanda

Ilustrasi: Seminggu di Kampung Halaman (Sungai Batang Inderapura di belakang rumah Emak. Dahulu airnya bening bak mata kucing) 
 
Hai sobat celotehnur yang  cantik dan ganteng! Salam jumpa lagi. Seminggu lebih saya tidak ngeposting di blog kesayanganku  ini. Lagi-lagi jadwal tayang saya terjeda panjang.

Maklum, tak sempat nulis karena  lama merantau ke Inderapura, Pesisir Selatan, menghadiri pesta pernikahan keponakan. He he ... mudik ke tanah kelahiran dibilang merantau. Habis ..., rasanya merantau benaran. 

 Hati yang Berbunga-bunga

Bagi saya, merencanakan waktu untuk  pulang kampung itu membat hati ini berbunga-bunga. Sayangnya,  sampai di sana  saya tak betah tinggal berlama-lama. Bawaannya mau cepat kembali ke tanah rantau.

Alhamdulillah, kemarin sore saya dan suami kembali lagi ke Kerinci. Negeri yang telah kami tinggali hampir setengah abad. Di sinilah  rumahku istanaku. Saya nyaman tinggal di gubuk sindiri.  Meskipun hanya  terbuat dari bambu beratap rumbia.

Setelah direnung-renung, ada beberapa penyebab tubuh saya rewel  tinggal di kampung. Di antaranya: 

1. Selera  makan kurang 

Ilustrasi: Seminggu di Kampung Halaman (Jalan terjal menuju kampung halaman)

Semakin tua tubuh dan selera makan  saya dan suami kian rewel. Dia menolak makanan terlalu pedas, terlalu berminyak dan terlalu banyak santan. Kalau dipaksa-paksa bisa menimbulkan penyakit.  Misalnya demam karena panas dalam, diare, dan kolesterol tinggi melambung. 

Sedangkan tuan rumah terbiasa dengan menu keminangannya.  Setiap kami pulang mereka sengaja menjamu kakaknya ini dengan masakan enak, yang umumnya berlemak tinggi.

2. Insomnia  

Ilustrasi: Seminggu di Kampung Halaman (Bocil kampung main tanah di tepi sungai)
 
Saya orangnya tak mudah gonta ganti tempat tidur. Butuh beberapa malam untuk beradaptasi.  Jangankan di tempat keluarga lain, pindah kamar saja saya harus siap berinsomnia.
Kasus yang sama juga terjadi saat bermalam di rumah anak sendiri. Untungnya kesehatan saya tidak terganggu. 

Pertama nginap di kampung barusan Insomnia saya menggila.  Situasi kian memburuk karena tengah malam  hujan turun sangat lebat disertai badai topan. Duh ..., saya jadi stress.  Malam terasa amat panjang.  Masalah yang tak patut dipikir pun mundar mandir di kepala. 

3. Jarang buang air besar 

Ilustrasi: Seminggu di Kampung Halaman (Kangen gulai jantung pisang buatan Emak)

Poin ke tiga ini lucu bin aneh.  Setiap bertamu (baca:  nginap beberapa saat di tempat lain), tidak hanya mata yang membahasakan ketidaksukaannya. Kotoran di perut pun ikutan protes dan mogok. 

Seminggu saya di kampung, BAB  cuman 2 kali. Itupun rada-rada dipaksa. Sebab tuntutannya antara iya dan tidak.  Padahal makan buah dan sayur setiap hari. Minum air putih lumayan banyak karena  bawaannya haus melulu. 

Anehnya, problem ini juga  dialami oleh cowok gantengku. Kalau saya dapat jatah be-ol  2 kali,  dia hanya 1 kali.  Kok bisa ya? Beda perut  kelakuannya nyaris sama. He he ....

4. Udara kurang bersahabat

Ilustrasi: Seminggu di Kampung Halaman (Kegiatan nelayan di tepi pantai Pasir Genting, Inderapura)
 
Udara Inderapura itu relatif panas.  Seminggu saya di sana pada siang hari suhunya  pernah beberapa kali menyentuh angka  32 derajat  Celcius. Tak heran tubuh ini gerah sepanjang hari. Beberapa  menit habis mandi keringat mengucur  lagi. Mana pakaian pengganti jumlahnya terbatas.  Duh ...,  benar-benar tersiksa. 

Bandingkan dengan di Kerinci sini. Jauh banget. Ambil contohnya hari  ini. Pada jam/waktu yang sama,  kecerahannya pun serupa,  hawanya cuman 23 derajat Celcius. 

Penutup 

Tulisan ini hanyalah curhatan belaka. Bukan berarti saya anti dengan tanah kelahiran sendiri. Seperti kacang lupa kulitnya. Ini hanya masalah perbedaan kebiasaan saja. Andaikan saya bisa bertahan beberapa bulan kondisinya tentu baik-baik saja. 

Anehnya, setelah 7 hari saya di sana, kemudian pulang lagi ke tanah rantau,  saya justru sedih. Karena di sanalah saya lahir dan dibesarkan oleh almarhumah ibunda tercinta, penuh derita dan deraian air mata. 

Kini beliau telah tiada. Tinggallah  cerita berbalut duka, tak mungkin terlupakan begitu saja. Semoga inspiratif.

Baca juga:

 Sumber Ilustrasi: Dokumentasi Pribadi

*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi
 

32 komentar untuk " Seminggu di Kampung Halaman, Inilah 4 Fenomena yang Melanda"

  1. banyak kenangan pahit manis terimbau bila pulang ke kampung halaman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Wak Petani. Terima kasih telah mampir.

      Hapus
  2. Banyak kenangan di kampung tercinta ya Bu Nur.. selamat sore dan salam hangat😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak sekali, Mas Warkasa. Selamat pagi. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
  3. Halo bu Nur sehat selalu baru sempat mampir 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hello juga, ananda Nita. Selamat pagi. Maaf juga lama tak menyapa.

      Hapus
  4. kami juga, kalau sudah menyentuh angka 30*C, sangat tidak nyaman...

    wow...23*C seperti musim semi (musim bunga) di tempat kami....sangat menyenangkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mas Tanza. Di kampung saya itu dekat dengan pantai. Kerinci sini udah jelas hawa pegunungan.

      Hapus
  5. wah saya kira cuma saya yang sembelit kalo lagi pergi kemana2.. ternyata ada temennya.. hehehehe.. Enak bun suhunya adem 23 derajat. Jakarta kadang bisa tembuh 36 derajat, malam juga kadang gerah luar biasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Adem banget, ananda. Saat ini (pukul 10.15), malah 22 derajat. Makanya bunda dan suami tak tahan tinggal di kampung dan kota Jambi yang udaranya mirip Jakarta.

      Eh ..., betulkah. Kalau ananda ke luar daerah itu semblit melilit. Artinya tabiat tubuh kita sama. He he .... Selamat pagi ananda Naia. Terima kasih telah mampir.

      Hapus
    2. Betul bunda, pernah saya seminggu pergi ke kampung ibu mertua, seminggu itu saya benar-benar sembelit.. hehehe padahal sudah makan sayur dan buah

      Hapus
    3. Mungkin alat pencernaan juga perlu beradaptasi ya, ananda Naia.

      Hapus
  6. Ini masalahku juga mba, sembelit tiap traveling 🤣🤣🤣. Ntah kenapa Yaa, kayaknya si perut adaptasi lebih lama kalo udah di tempat baru. Apalagi kalo toiletnya rada2 kotor atau seram, makin lama dia mau kluar wkwkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha ha ..... Tinja di perut juga bisa menyatakan tidak suka, ya, ananda Fanny. Dia menolak keluar di tempat yang kurang bersih dan seram. Enaknya, dia tidak merepotkan. Coba saat di perjalansn dia mau nongol. Wah .... Sibuklah si empunya. Selamat siang ananda. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
  7. wah aku juga suka susah BAB jadinya walau tidur di hotel sekalipun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal dikasih ditinggalkan di tempat elit ya, Mbak. He he ....

      Hapus
  8. saya kalau ke luar rumah dan nginap juga jadimampet BAB bu
    entah kenapa ya
    insomnia juga mungkin karena suasanya beda ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh jadi begitu ya, Mas Ikrom. Tubuh perlu beradaptasi dulu.

      Hapus
  9. iya nih kalau di tempat baru, kadang suka susah BAB
    heuheuheu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rupanya masalah ini rata2 dialami oleh semua orang ya, Mas/Mbak.

      Hapus
  10. Nomer 3 itu sering juga saya rasakan, hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih apresiasinya, Mas. Ternyata ini masalah orang lain juga. Terima kasih telah mampir. Selamat siang.

      Hapus
  11. Kita punya permasalahan yg sama bunda, aku juga kadang susah bab klo ketempat baru, padahal toilet bersih dan kalau di kampung kn airnya dingin segar gitu ya, tp seakan kotoran malah betah di perut.

    Kalau pulang ke kampung halamanku di Purwokerto - Jawa Tengah aku cocok bgt udara sama makanannya, tp karna orang tua udah pindah ke Lampung jd kalau mudik ke Lampung, di sana aku kurang cocok sama udaranya, kalau pagi super dingin, mandi jam 9 aja menggigil tp kalau jm 12 panasnya, kayaknya matahari tepat di atas kepala.

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he .... Kotorsn di perut pun punya bahasa tersdndi untuk menyatakan menolak lingkungan yang tak sesusai dengan kebiasaannya ya, ananda Ursula. He he ....

      Enak ya, punya banyak kampung tempat pulang. Tetnyata di Lampung udaranya sejuk juga. Seperti hawa di lembah Gunung Kerinci. Tapi bagi bunda dingin itu adem dan nyaman.

      Hapus
  12. Beradaptasi pada lingkungan baru selalu jadi cerita yang unik bagi diri sendiri Nek.

    Karena sudah terbiasa di kota, ketika ke desa atau kampung keluarga jadi agak gimana gitu Teddy. Tapi lumayan nambah wawasan keadaan di desa.

    Terima Kasih Nek.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rupanya kasus serupa dialami hampir oleh semua orang ya, ananda Teddy. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Selamat sore. Salam sukses untuk mu selalu.

      Hapus
  13. Kok mirip-mirip keadaan saya ya, paling sulit beradaptasi kalau di tempat baru, biar kata mudik ke rumah ortu, tidur di kasur yang dulu saya tiduri, rasanya sulit melek, terutama di malam-malam pertama tiba.

    Trus hawa di rumah mama saya tuh, udaranya lembab, tapi mataharinya panas.
    Jadinya, jemur pakaian nggak kering, padahal mataharinya terik sampai sehari aja udah sukses bikin gosong kulit, jadinya nggak nyaman dan kurang betah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Kayaknya kita sama2 gak betah berada di kampung sendiri ananda Rey. Begitulah orang kalau udah lama merantau. Tidur di kasur yang dulu ditiduri bertahun2 saja terasa asing. Apakah kita seorang yang sulit keluar dari zona nyaman ya. Ha ha .. Atau type mausia yang susah move on.

      Hapus

      Hapus
  14. hehehe aku juga kadang kalau ditempat baru, bisa tahan ga BAB, bukan yang sengaja aku tahan padahal. Aneh aja gitu
    seneng kalau bisa pulang kampung ya mbak, bisa nostalgia dengan keadaan sekitar lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nostalgianya enak, Mbak Ainun. Yang paling menyiksa tuh gerahnya. Karena saya terbiasa dengan suhu dingin. Terima kasih telah mampir. Salam sehat untuk keluarga di sana.

      Hapus