Curhat: Sulit Melupakan Kesalahan Orang Lain, Apakah Saya Tipe Pendendam?
Uncategorized
Dalam masalah perdendaman, saya berada pada 2 sisi. Pertama, memaafkan dan lupa kalau saya pernah disakiti. Ke dua, memafkan, tapi tidak mudah melupakan. Bukan berarti saya tidak punya pendirian, itulah adanya.
Pertanyaannya, Kapan saya bisa memberi maaf dan melupakan? Dan kapan pula memaafkan tetapi tidak bisa melupakan?
Memberi maaf dan melupakan
Memberi maaf terus melupakan jamak berlaku dalam diri pribadi saya. Hal ini terjadi secara alami tanpa dilatari oleh masalah lain. Meskipun yang bersangkutan tidak minta maaf.
Semasa sekolah (tingkat SLP) saya menjadi sasaran bullyying. Para pembullynya kaum cowok yang tergolong nakal. Yang baik-baik juga sering ikut-ikutan. Kecuali anak cewek. Penyebabnya, waktu itu tubuh saya kurus, wajah sekadar memenuhi syarat, rambut tipis, kulit hitam.
Dibully itu sangat pedih. Untung saya tidak gila. Cuman sedikit kelebihan yang membuat saya mampu menghibur diri. Yaitu, nilai saya selalu bagus. Bahkan di atas rata-rata umum. (Maaf, bukan ria. Itu dahulu. Sekarang tinggal cerita. Menghitung 8x6 saja otak saya keos. Bahkan nama sendiri nyaris lupa).
Usai sekolah sampai sekarang, sebagian besar pelaku bullying tersebut tak pernah saya temui lagi. Satu per satu kabar kematian mereka saya terima.
Alhamdulillah, dari lubuk hati paling dalam, saya telah memaafkan mereka, meskipun beliau-beliau itu tak pernah minta maaf. Sikap dan wajah mereka masih terekam di benak saya, tetapi sakit hati dan marah saya sudah musnah.
Sikap yang sama juga berlaku terhadap teman yang lain dengan masalah berbeda. Toh saya juga sering menyakiti teman, baik sengaja maupun tidak. Karena saya juga manusia biasa jauh dari sempurna. Apakah korbannya memaafkan? Allahu alam bish shawab.
Memaafkan, tetapi sulit melupakan
Terkait dengan maaf-memaaf, saya punya sifat yang mungkin kurang terpuji. Yaitu, memaafkan sulit melupakan. Tetapi kasusnya terlalu berat hingga berimbas pada harga diri saya, orang tua dan adik-adik saya. Selama hidup saya, inilah penzdaliman yang paling kejam pernah saya terima.
Tahun 1976 saya difitnah melakukan sesuatu yang tidak pernah saya perbuat. Saya membenci keluarga pemitnahnya, karena mereka beramai-ramai melecehkan harga diri saya. Padahal mereka sedarah dengan Emak saya.
Zaman itu saya benar-benar tertekan. Saya sangat marah pada mereka. Tapi mau disalurkan kemana. Di kampung, satu orang meniup terompet ketidakbenaran, seluruh negeri mengamini. Syukur, otak kecil ini bisa dikendali untuk episode ke 2, hingga saya tetap waras.
Sayangnya zaman itu saya masih lugu, tidak berduit. Kalau sedikit melek seperti sekarang, saya jobloskan mereka ke penjara.
Belasan tahun saya tidak mau melihat wajah mereka sekeluarga. Kalau kebetulan salah satunya ketemu mendadak dan saya tak bisa menghindar, mereka pasti menyapa. Saya jawab “Iya,” tapi sinis dan dongkol. Padahal, mereka sudah mengakui kesalahannya pada Emak.
Puluhan tahun kemudian, hati saya luluh juga. Karena anak-anak mereka selalu mendekatkan diri pada Emak. Sekarang saya sudah menerima kehadiran mereka di tengah keluarga kami. Tetapi setiap melihat wajah mereka termasuk anak cucunya, luka lama berdarah kembali.
Akhir-akhir ini jika pulang kampung, saya sering mendatangi anggota keluarganya yang masih hidup (sudah sepuh), saya kasih jajan ala kadarnya. Lagi-lagi, wajah-wajah tersebut memunculkan kepedihan lima puluhan tahun lalu.
Kadang saya bingung sendiri. Dikatakan benci, tidak. Marah? Tidak juga. Beratnya ke rasa iba dan sedih atas perlakuan mereka dahulu. Dalam situasi demikian saya bertanya dalam hati, apakah saya tergolong insan pendendam? Islam melarang umatnya memelihara dendam. Tetapi saya belum berhasil membebaskan batin dari masalah yang satu ini.
Baca juga:
- Saat Membangun Rumah, Jangan Menabung Masalah
- Tak Mau Melihat Saya Muntah, Tolong Singkirkan Durian itu
- Belajar Nulis dari Sahabat Pena, dapat Honor 5 Ribu Plus Tiket ke Istana
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
Kerinci, Jambi
Yo creo que uno perdona pero no no olvida para no volver a caer en el mismo error. Te mando un beso.
BalasHapusGracias por tu agradecimiento, Alejandro. Saludos saludables siempre a los que estáis lejos.
HapusTapi sebenernya wajar kok bunda. Memaafkan, tp tidak melupakan. Jadi tiap kali melihat pelakunya, ya rasa sakit itu muncul lagi. Tapi memang di dalam hati kita sudah memaafkan mereka..hanya saja tidak bisa lupa.
BalasHapusApalagi kalo sakitnya menusuk banget kan. . Gapapa bun. Yg penting toh kita sudah tidak memelihara dendam lagi. Buktinya bunda udah mau ketemu .
Betul, ananda. Harus bagaimana lagi. Kita manusia biasa. Punya kelemahan. Termasuk dalam masalah yang begini. (Maaf memaaf)
Hapusaku pun kadang merasakan hal demikian kak..
BalasHapuskadang suka nangis sendiri..
tapi semoga kedepan bisa lupa akan hal hal menyakitkan ini ya.
Betul, Mbak/Mas. Kalau penzoliman yang kita terima masih di batas kewajaran, tidak masalah. Karena telah kelewatan, wajarlah susah dilupakan. Terima kasih😘💕 telah singgah. Selamat malam.
HapusAkupun pernah ada di posisi seperti itu mbak. Dulu aku dan kakakku pernah tak bertegur sapa hampir 3 tahun lamanya, karena dulu dia dan mantan suaminya bermasalah. Mantan suaminya menghina dan memfitnah orangtuaku, sehingga ku ndak terima. Lucunya kakakku bukan membela orang tua, malah jadi plinplan.
BalasHapusAku akhirnya tak mau melihat wajahnya hampir 3 tahun lamanya. Sampai dia berpisah dengan mantan suaminya pun aku tetap tak mau bertemu.
Baru mau ketemu setelah orang tuaku langsung yang membujuk dan memediasi dalam beberapa kali pertemuan.
Sedalam itu ya rasa sakitnya
Masyaallah, jika demikan adanya memang sakit ya, Mas. Bela suami yang notabene orang lain, ibu kandung dipojokin. Syukur alhamdulillah, kondisi sudah membaik.
Hapus