Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Astaga! Tak Hanya Siswa SD, Anak Orok pun Terperangkap Pernikahan Dini

Ilustrasi: Siswa SD dan Anak Orok Terperangkap Pernikahan Dini

Hare gene masih marak terjadi pernikahan dini? Sungguh terlalu.

Seperti yang terjadi di Buru Selatan, Provinsi Maluku, baru-baru ini. Ketua MUI Buru Selatan menikahkan anaknya NK (15) dengan seorang tokoh agama asal Tangerang, Banten. Padahal, bocah perempuan tersebut masih  berstatus pelajar SMP.

Saya berpikir. Bagaimana bisa anak 15 tahun mengurus rumah tangga. Saya aja menikah memasuki usia 21 tahun, masih terasa amat bodoh. 

Seminggu setelah pengantin, disuruh suami merebus pare. Di tengah lahapnya makan siang berdua, beliau mencolek saya. “Tengoklah! Di dalam sayurmu banyak ikan mungkus.” (ikan kecil-kecil sebesar ujung lidi kelapa).

Astaghfirullah. Ternyata di dalam pare rebus  itu,  penuh ulat putih yang  sudah tegang. Saya malu tiada terkira. Coba sebelum dimasak parenya dibelah dulu, hal itu tidak mungkin terjadi.

Saya tinggalkan kasus ulat pare. Cerita beralih ke lain halaman.

Era tujuh puluhan, praktik pernikahan anak di bawah umur lumrah terjadi di tempat saya mengajar. Sebuah desa dalam Kecamatan Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Sebutkan saja Dusun CP.

Masih terekam di memori saya. Saat itu hari Sabtu, FD seorang siswa perempuan kelas empat, lagi gembira-gembiranya belajar di kelas, berkejar-kejaran dan main gundu di halaman sekolah.

Pagi Senin ketika diabsen dia tidak hadir. Kata temannya FD telah menikah.  Fenomena serupa beberapa kali menimpa anak didik saya.

Khusus di Desa CP, banyak faktor pemicu maraknya  pernikahan anak di bawah umur. Antara lain

1. Pengaruh lingkungan terkait kultur.

Pandangan yang melekat di kalangan masyarakat, seorang gadis sudah  siatas  15 tahun belum juga berjodoh, hukuman sosial yang harus dia terima adalah menyandang  predikat perawan tua. Tak salah orang tuanya khawatir. Begitu ada yang melamar langsung  mereka terima.

Anggapan begini tumbuh subur di hampir seluruh daerah pedusunan. Saya sendiri termasuk pelaku sejarah yang  termarginal tersebab usia 20 tahunan  belum juga laku-laku.

2. Agar calon pasangan tak digaet orang

Faktor lain tak kalah penting, orang tua ingin mepertahan calon menantu agar tidak jatuh ke tangan orang lain.

Terutama jika calon  suaminya PNS. Karena di pedesaan,  status  Pegawai Negeri  itu sangat didambakan oleh banyak orang.

Alasan tersebut dipegang teguh oleh sekelempok masyarakat yang masih melanggengkan tradisi perkawinan keluarga. 

Enaknya, orang yang dijodohkan tidak menolak. Saya sering mendengar celotehan beberapa  kenalan laki-laki, “Daripada ngasih makan orang lain, lebih baik ngasih makan keluarga sendiri.”

Pengakuan yang jujur dan syah-syah saja. Saya menjempolinya.

Saking takutnya calon menantu digaet orang, dalam masyarakat CP mengakar pula tradisi pernikahan bayi. Atas kesepakan orangtua kedua belah pihak, pasangan anak yang masih bayi itu dinikahkan layaknya  pernikahan orang dewasa.

Beberapa hari pasca bayi perempuannya lahir, terus dilaksanakan akad nikah dengan calon yang telah disepakati sebelumnya. Cowoknya selisih 1 atau 2 tahun di atas si cewek. 

Ritualnya berlangsung  seperti  perkawinan orang dewasa. Ijab kabul diwakili oleh ayah si bayi selaku wali nikah. Setelah keduanya dianggap cukup umur untuk berumah tangga, pengantin prianya dijemput pulang. Selanjutnya dibolehkan hidup bersama. 

Sebagaimana lazimnya tradisi setempat, selesai ijab kabul  suami cilik tadi langsung berganti sapaan. Jika sebelumnya dia bernama Udin, kini dipanggil “Laki si Mira” kalau isterinya bernama Mira. “Laki Ana” untuk suami si Ana.

Di luar kelas pun kami para guru memanggil dia  dengan embelan nama isterinya. Apakah yang bersangkutan malu? Tidak sama sekali. Toh orang laki bini benaran.

Lucunya, Jika di sekolahan  isterinya dijahati teman, tak malu-malu dia membela atau membujuknya kalau dia menangis.

3. Mangamankan harta

Diakui atau tidak, praktik pernikahan anak di bawah umur (usia SD dan SMP)  maupun anak orok, tak terlepas juga dari  motif-motif tertentu.  

Umpamanya, selain mempertahankan tradisi kawin keluarga, untuk mengamankan harta warisan  agar tetap terkumpul dalam satu puak. Terlebih, salah satu dari pasangan atau keduanya berasal dari keluarga berada.

4. Kawin obat

Uniknya, kadang-kadang pernikahan anak bayi ini dilatari numpang peruntungan. Istilahnya kawin obat. Misalnya, AB sepasang suami  isteri sudah lama menikah, belum dikaruniai keturunan. Tiba-tiba sang isteri positif hamil.

Sebelum bayinya lahir, AB mengucapkan semacam kesepakatan dengan pasangan CD, bahwa jika kelak anak AB berjenis kelamin perempuan, akan dinikahkan dengan anak CD.  

Perjodohan minta peruntungan ini tidak harus antar  keluarga dekat. Kadangkala sesama anak  sahabat karib atau tetangga. Namun umumnya  masih dalam lingkup famili. Minimal famili jauh.

Pertanyaannya, apakah setelah dewasa mereka akan tetap menjadi pasangan suami isteri? Jawabnya, iya dan tidak.

Menurut cerita orang tua-tua setempat, pada zaman dahulu hampir tidak ada kendala. Yang bersangkutan menerima apa yang telah menjadi pilihan orangtuanya tentang perjodohan begini.  Baik pernikahan bermotif keluarga, harta, maupun yang namanya kawin obat tadi.

Layaknya pasangan lain, mereka sukses membangun rumah tangga, dihiasi kasih sayang dan saling mencintai sampai kekek nenek.

Namun, seiring perkembangan zaman, satu persatu kisah begini berakhir dengan sengketa. Alasannya, kadang-kadang endingnya jadi sengketa. Boro-boro mempersatukan keluarga, malah menjadi sumber perpecahan.

Sebab, masing-masing individu telah kenal dengan luasnya dunia. Salah satu pihak sudah berpendidikan tinggi.  Dengan sendirinya terjadi kesenjangan status sosial. Sehingga dirinya merasa berhak untuk menentukan pilihan.

Yang bikin repot, jika suami  tidak mau bercerai. Sementara si perempuan tidak siap menerima pilihan ayah bundanya tersebut dengan berjibun alasan. Sudah punya pilihan sendirilah, tidak cintalah. Problem bigini terpaksa diselesaikan di meja hijau.

Kasus lain menimpa putra keluarga ibu angkat saya. Mulai memasuki remaja, dia minta izin kepada orangtuanya untuk menceraikan  isteri  balitanya.  Pasalnya, gara-gara punya bini, dia  tersiksa lahir batin. Tidak diterima untuk batandang (ngapel) oleh semua gadis di dalam dusun.

Ayah bunda dan kaum kerabatnya  tetap bertahan.  Tujuannya, menjaga  hubungan antar kedua pihak agar tak ada yang tersakiti.  Akhirnya dia menikah dengan gadis pilihannya.

Alhamdulillah, karena tak tega melihat anaknya dimadu, orang tua perempuan minta penyelesaian secara baik-baik. Si cewek harus siap menerima status janda perawan tingting.

Penutup

Seperempat abad terakhir, pernikahan anak abang begini tak terdengar gaungnya lagi. Demikian juga anak  usia sekolah dasar. Kedua budaya ini telah tenggelam dikunyah zaman.

Namun, fanatisme terhadap pernikahan keluarga masih tetap dipertahankan. Meskipun sudah banyak putra-putri setempat yang berjodoh dengan orang luar (daerah lain).

Kini, semenjak bebasnya arus bolak-balik TKI ke Malaysia. Perkawinan antar suku, bahkan lintas dunia pun bukan tabu lagi di tengah masyarakat. Kehidupan mereka juga tak jauh beda antara pasangan pribumi dan non pribumi.

Demikian kisah siswa SD  dan anak orok dalam pusaran pernikahan dini di Desa CP pada zamannya.  Sebagai informasi tambahan, setahu saya, khusus pernikahan anak orok hanya ada di Dusun CP. Tidak saya temui di tempat lain dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Semoga  bermanfaat.

Baca juga:  

*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi

_______________

Catatan: Artikel ini telah tayang di Kompasiana tanggal 10 Mei 2018. 

24 komentar untuk "Astaga! Tak Hanya Siswa SD, Anak Orok pun Terperangkap Pernikahan Dini"

  1. Waah ikut menyimak Bu Nur..😊👍

    BalasHapus
  2. Jadi inget tetangga nikahan sepupuan gitu katanya biar hartanya disitu-situ aja mbak.. Tapi keterlaluan sih kalau sampai bayi juga udah dijodohin T.T

    Tapi emang menggoda si bisa besanan sama temen yang baik.. Karna kan biasanya hubungan besan tu ya begitu...... :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah cara berpikirnya orang kampung, Mas Andie. Tapi sekarang tak terjadi lagi. Saya malah merindukan kondisi begitu. Ha ha ....

      "Tapi emang menggoda si bisa besanan sama temen yang baik.. Karna kan biasanya hubungan besan tu ya begitu...... :)" >>>> Gak juga Mas. Kadang-kadang malah berakhir petaka. Selamat malam, terima kasih tanggapannya.

      Hapus
  3. Wah jadi teringat pernikahan yg mempertahankan harta biar tidak jatuh ke tangan yg lain ternyata dibelahan yang lain juga ada ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he ... Itulah Indonesia Raya, kaya budaya ananda Nita. Terima kasih telah singgah selamat tidur, semoga mendapat mimpi yang indah.

      Hapus
  4. kalo di tempat saya namanya kawin gantung, bunda. anak-anak dinikahkan sejak kecil, tapi tetap tinggal dengan ortu masing2 dan tidak boleh melakukan hubungan yang dilarang. Nanti ketika dewasa dan cukup umur akan ada akad nikah beneran. Tapi itu duluuu sekali, saya pernah dapat cerita ini dari mama. Sekarang ini kayaknya sudah gak ada praktek itu. Saya waktu TK pun sempat ada kerabat yang meminta untuk dijodohkan dengan anak laki2nya, tapi ortu saya menolak. Hahahaha.. Alhamdulillah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, Ternyata bukan di Kerinci ini saja ada pernikahan anak-anak ya, ananda Naia. Artinya setelah dewasa nikahnya diulang. Kalau mereka tidak setuju,tentu jadi masalah. Loh, kok menolak? Ha ha ....

      Hapus
  5. Balasan
    1. Silakan, sayang. Terima kasih telah singgah ya. Selamat berhari minggu.

      Hapus
  6. Wah, menarik juga cerita nya. Kalo perempuan memang dinikahkan ayahnya untuk ijab kabul. Kalo mempelai pria yang masih orok, jadi ijab kabulnya diwakilkan juga dong. Herannya karena sudah jadi tradisi, hukum setempat pun mensahkan perkara tersebut.

    Sekarang memang hal tersebut lebih banyak sengketa daripada sepakat. Karena setiap anak menuntut hak untuk memilih pasangan nya sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul ananda Nissa. Praktik-praktik kuno seperti ini sudah banyak ditinggalkan. Selamat pagi. Terima kasih telah berkenan singgah. Doa sehat penuh berkah.

      Hapus
  7. ternyata beragam juga ya bunda budayanya. Yang modelan sahabat mau ngejodohin anak mereka kalau dah lahiran ini umum terjadi ya bund di masyarakat. Tapi ga selalu pas udah gedenya anaknya mau soalnya kadang nemu jodohnya di luar yang dijodohkan orang tuanya dengan sahabatnya...

    kalau teman teman mbul dulu lulus sd yang perempuan banyak yang ga neruskan sekolah bunda...mereka nikah dijodohin ortu padahal usia masih belasan maklum sd mbul di kampung kan...akhirnya ketika mbul masih sekolah putih biru dongker ngliat temen mbul itu udah pada gendong anak di usia yang harusnya masih sekolah...jadi wajahnya terlihat banyak memikirkan beban hidup hehehe...mbul bertanya tanya dalam hati sebenernya mereka nikah dalam keadaan terpaksa ga ya secara masih usia bocah kala itu...udah dipaksa dewasa sebelum waktunya huhu, mbul aja sekolah ga pernah pacaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha ha ... Terbayang sama bunda teman Mbul yang usia SD sudah gendong anak. Teman bunda juga begitu. anehnya sepertinya mereka sangat menikmati dan bangga. karena dia cepat laku. sekarang pada menjempoli bunda semua. karena kehidupan mereka biasa2 saja. menyesal tak sempat bersekolah yang tinggi. Terima kasih telah singgah, salamat pagi, Say.

      Hapus
  8. Ibuku dulu waktu menikah juga katanya umur 16 tahun bunda, dan katanya memang kebanyakan umur segitu kalo menikah. Kalo sudah 18 tahun itu disebut perawan tua. Tapi itu tahun 1970an sih. Kalo sekarang kebanyakan sudah diatas 20 tahun.

    Padahal agar siap mengarungi rumah tangga, idealnya usia 20 tahun keatas ya, biar siap meladeni pasangan. Kalo masih kecil bisa bertikai menuruti egonya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ibu saya malah usia 15 tahun melahirkan saya, Mas Agus. Tapi ya, beliau ditinggal nikah oleh ayah saya dalam kondisi hamil 4 bulan. Sedih sekali. masih kecil sudah menjanda. terus perjuangan berlanjut menafkahi saya seorang diri. Terima kasih telah singgah. Selamat pagi dan selamat beraktivitas.

      Hapus
  9. Erken evlilik yapan birçok insan tanıyorum. Sanıyorum benim üstesinden gelebileceğüm bir durum değil, çok zor.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mamlakatingizda ham erta turmush qurilganmi, do'stim? Umid qilamanki, yo'q. To'xtab qolganingiz uchun tashakkur. Siz bilan tanishganimdan xursandman. yaxshi faoliyat.

      Hapus
  10. memang ga habis thinking sama pernikahan dini akutuh bu nur
    walau zaman udah milenial gini eh masih ada aja yang melakukan praktik tersebut
    memang alasan adat kadang jadi pembenaran
    terlebih sejak pandemi kemarin ada anggapan bahwa sekolah tak begitu banyak artinya jadi ya nikah sahaja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mas Ikrom. Padahal, Kadang-kadang yang menikah pun belum tahu apa itu hakekat pernikahan. Selamat sore. Terima ksih telah singgah.Salam sejahtera untuk keluarga di sana.

      Hapus
  11. memang perlu waktu panjang untuk mengubah kultur.....

    mantap kisahnya.... thank you for sharing

    BalasHapus
    Balasan
    1. apa lagi di pedesaan ya, Mas Tanza. Terima kasih atensinya. Selamat sore dari tanah air.

      Hapus
  12. Baru kali ini Teddy tahu soal pernikahan walau masih bayi Nek.
    Kalau menurut Nenek, apakah ada sisi positifnya pernikahan dini ini atau lebih baik memberikan kebebasan pada anak untuk menentukan pilihan pasangan mereka?

    Udah lama nggak berkunjung ke Blog Nenek hehe.
    Semoga Sehat Selalu ya Nek.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, tergantung yang menjalani ananda Teddy. Nenek juga kurang setuju perkawinan model begini. Kayak mau mati besok ajah. ha he Terima kasih telah hadir. Doa sehat selalu untuk keluarga di sana ya.

      Hapus