Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Momen Haru Murid dan Guru, Berawal dari Emak Temui Anak

Ilustrasi: Momen Haru Murid dan Guru (Kiri: Nahri, kanan: Lahmuddin 2 orator jempolan)
 
 Rabu 23 Februari kemarin, pukul 11.00, saya dan keponkanku sampai di lokasi pesta, di Gedung Serba Guna Desa Cupak.

Saat itu, sedang berlangsung  acara adat,  hantar sambut pengantin pria pada keluarga mempelai wanita.

Pno adat Kerinci

Ilustrasi: Momen Haru Murid dan Guru (Paling kiri: Nahri menyampaikan pno perwakilan dari pengantin pria)
 
Acara berlangsung hidmad dengan pidato adat yang dituturkan dalam bahasa  daerah, melalui  pepatah petitih (Minang), oleh dua pria dewasa. Yang satu menyampaikan pesan, lainnya menjawab. Begitu seterusnya secara bergantian. 

Warga Kerinci menyebutnya pno adat.   Kata masyarakat Jambi seloko  atau seloka, (kalau salah tolong dikoreksi). Yaitu, salah satu bentuk sastra lisan, yang merupakan budaya daerah yang diwariskan secara turun temurun. 

Oratornya lihai bermain kata

Ilustrasi: Momen Haru Murid dan Guru (nomor 2 dari kiri: Lahmuddin menyambut pno sebagai perwakilan pihak keluarga pengantin pria)
 
Saya salut pada kedua  oratornya. Mereka  sangat lihai memainkan kata-kata.  Tidak semua orang dikaruniai kepintaran bapno (menyampaikan pno). Dalam satu desa paling 2 atau 3 orang.  Salah-salah, fokus  bisa KO, karena umpan balik yang diberikan tidak nyambung dengan pernyataan yang datang. 

Saya tanyakan kepada salah satu panitia, yang bapno itu siapa.
“Sebelah situ Nahri, yang di sini Lammuddin. Mungkin Ibu tak kenal. Mereka berdua tuh lama merantau di Jambi, jarang pulang” Ya, sudah. Saya diam saja.  

Mencari tukang pno

Usai acara adat, saya cari dua pria tukang pno tadi.  Kebetulan mereka berdua duduk satu meja di dalam gedung, sambil menikmati buah jeruk. 

Di tengah hiruk pikuknya  bunyi musik, saya samperin mereka. “Hei kalian berdua. Anak lupa emaknya.  Biarlah Emak yang menemui anak.” Saya pegang bahu salah satunya. 

Mereka kaget. Saya lepaskan masker yang saya pakai.  Yang dipegang  berteriak histeris.  “Ibuk ...!”  Katanya sambil merangkul saya. Matanya berkaca-kaca. Hampir saja dia menangis haru. 

Namanya Lahmuddin. Putra daerah setempat (desa Cupak). Pertama saya mengajar di sana tahun 1977, dia sudah masuk SMP.  Tetapi kami akrab.  Maklum, zaman itu manusia belum sebanyak sekarang. 

Lulus sekolah,  Lahmuddin bekerja  pada salah satu instansi pemerintah di Kota Jambi. Sejak itu, sampai sekarang  dia jarang pulang. 

Tetapi  hubungan kami semakin erat karena dia menikahi mantan murid saya. Kalau saya ke Jambi  era  90-an, sering nginap dan makan di tempat dia. 

Terakhir  tahun  1997, saya mampir lagi. Ternyata  rumahnya tinggal tanah terpapar matahari.  Dia dan tetangganya pindah entah ke mana.  

Jika dihitung-hitung mungkin sudah seperempat abad kami tak pernah jumpa lagi.  Eh, kemarin saya lupa menanyakan apakah dia sudah pensiun atau belum.

Murid pertama mengajar kelas 4

Ilustrasi: Momen Haru Murid dan Guru (Foto bersama istri dan 2 puri Nahri)
 
Oh, ya, maaf. Tadi ceritanya emak mendatangi anak, ya.  Omongan nenek-nenek memang begitu. Suka meluber kemana-mana, ha ha ....   Puas terpana, rivalnya berorasi tadi bertanya, “Beliau siapa?” 

“Ibuk Nursini,”  balas Lahmudin. 

Pria kuning langsat itu pun tak kalah histeris,  “Ibuuuuk ....”  Terus  nge-hug saya.   Momen itu membuat saya linglung bercampur haru. Sampai- saya tak mampu mengingat bagaimana ekspresi saya terhadap sikap mereka saat itu. 

Dia Nahri.  Murid pertama saya mulai mengajar di SD. 124/III Cupak.  Saat itu dia kelas 4.  Perkiraan saya, sekarang  usianya sudah  50-an  tahun.

Mirip kisahnya dengan Lahmuddin, usai kuliah dia mengajar di salah satu SMP Negeri  di kota Jambi. Bedanya,  dengan Lahmudin saya tak bertemu kira-kira 25 tahun, dengan Nahri mungkin tak kurang dari 35 tahun. 

Sering tampil di Televisi

Saya sering merindukan sosok yang satu ini.  Sebab, beberapa kali saya nonton dia memberikan ceramah Agama Islam di TVRI Jambi.  Wujudnya tampak tapi tak bisa digapai. He he ....

Saya tak lupa wajahnya, komat kamit mulutnya, dan nada  suaranya.  Setiap dia tampil di TV saya hanya bisa berbangga kepada diri sendiri. Bahwa murid saya jadi penceramah hebat. 

Uniknya, Nahri ini kuliah di FKIP Universitas Jambi  (Unja). Tetapi dia sangat menguasai materi ceramahnya di bidang agama Islam. Makanya, di Jambi dia lebih dikenal dengan Buya Nahri daripada Pak Guru Nahri.

Hal ini tidak membuat saya heran. Sebab almarhum ayahnya  penceramah ulung bersuara lantang.  

Ciri-ciri sukses yang sudah terbaca

Sejak di Sekolah Dasar, saya sudah menduga suatu saat Nahri ini akan menjadi orang sukses. (Maaf, suksesnya versi orang tua kampung,  ya). Sebab, ukuran sukses bagi kami orang desa, apabila usai kuliah anaknya tidak menambah pengangguran. 

Barangkali ada yang bertanya, “Memangnya si nenek ini tukang ramal?” Tidak. Tetapi  Sikap dan akhlaknya sudah mengarah ke sana. 

1. Nahri torgolong anak pintar, rajin,  mengerjakan tugas dan PR. 

2. Sikapnya jujur, polos, dan apa adanya. Jika dia terlambat ke sekolah, terus saya tanyakan alasannya. Dia menjawab. “Sebelum ke sekolah aku membantu Emak nyiduk ayek (ngambil air) dan masuh inggan (Nyuci piring), Bu. 

Saya penasaran dan belum menerima alasannya begitu saja. Saya  cari tahu pada teman-teman dan  tetangganya. Apa benar Nahri ini sebelum ke sekolah membantu Emaknya ngangkut air dan nyuci piring.  

Semuanya menjawab, “Benar, Bu.” Hal ini adalah cermin dari sikapnya yang patuh pada orang tua.

3. Berani menjawab pertanyaan guru. Poins yang ini dimiliki oleh banyak siswa saya pada zamannya. Tetapi Nahri ini meresponnya pakai argumen. Minimal versi  dia sendiri.

Suatu hari  siswa kelas 6 sedang  melaksanakan ujian  akhir tertulis mata pelajaran Orkes (Olahraga Kesehatan). Saya salah satu guru pengawasnya. 

Saya tak ingat lagi, apakah soalnya didrop dari kabupaten atau provinsi. Yang pasti penyedianya bukan pihak sekolah.

Dibagian isian, ada pertanyaan kira-kira begini,  “Sesesorang sedang  demam.  Kadang-kadang tubuhnya panas, kadang-kadang  menggigil  kedinginan.  Penyakit yang diderita pasien tersebut adalah .....”  

Nahri mengi sititik-titiknya dengan “ALKUHUR”.  Jawaban yang  di luar dugaan.  Ketika dikonfirmasi maksudnya apa? 

Dia menjelaskan secara detil,  “Anu ..., Pak. Kuho”  (Kuho dalam bahasa Kerinci  = kuro  bahasa Minang. Jika dibahasaindonesiakan  =  demam malaria).
“Ha ha  .... “ Kami tertawa terkekeh-kekeh. 

Sampai kini istilah alkuhur itu menjadi kenangan terindah bagi kami guru-gurunya yang masih hidup. Termasuk dirinya sendiri.

Penutup

Kebanggaan paling hakiki  bagi seorang guru adalah saat melihat siswanya menjadi orang baik dan sukses.  Dia tak pernah berharap balas budi berupa materi. Disapa dengan sopan saja itu sudah merupakan suatu kebahagian yang tidak bisa dibayar dengan uang.  

Dan kesedihannya amat dalam jika anak didiknya telah sukses, saat dirinya sudah tua, ketemu di jalan dicuekin dan pura-pura tidak kenal.

Demikian momen haru murid dan guru, yang berawal dari Emak temui anak. Semoga bermanfaat.  

Baca juga:  

 Sumber Ilustrasi: Dokpri

*****

Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci Jambi

9 komentar untuk "Momen Haru Murid dan Guru, Berawal dari Emak Temui Anak "

  1. wah... pertemuan tak terduga...

    selamat atas kesuksesan anak didiknya.....

    BalasHapus
  2. Inspiratif, selamat malam Bu Nur..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat malam juga, Mas Warkasa. Terima kasih telah singgah. Doa sehat selalu untuk keluarga di sana.

      Hapus
  3. senang sekali melihat pertemuan ini
    sungguh nostalgia yang menyenangkan
    memang sebagai guru melihat siswa yang berhasil adalah kebahagian sendiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat, Mas Ikrom. Di situlah enaknya jadi guru. Selamat pagi, terima kasih telah mengapresiasi. Salam hangat dari jauh.

      Hapus
  4. Alhamdulillah. Nahri dah berjaya dalam hidup. bagus didikan ibu bapa dan gurunya, termasuk Ibu Nur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, ananda Sal. Di sanalah kepuasan ayah bunda dan gurunya. Selamat pagi dari negeri seberang.

      Hapus