Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Main Mato dan Batandang, Model Pacaran Zaman Dahulu yang Dianggap Kuno

Foto NURSINI RAIS

Dunia muda mudi tak pernah kering dari masalah percintaan atau berpacaran. Urusan yang satu ini menarik untuk dibahas, dan asik bila dijalani.

Namun antara suku dan daerah satu dengan lain istilahnya berbeda. Cara priktnya pun sesuai dengan lingkungan, tradisi, dan zamannya. Model pacaraan zaman dahulu dianggap kuno, jika dibandingkan dengan pacaran kekinian.

Main Mato

Dahulu, di kampung saya berpacaran disebut main mato (main mata). Bujang dan gadis yang saling naksir berkenalan dengan perantara seseorang yang disebut burung bayan.

Melalui burung bayan, perkenalan diawali dengan si bujang minta selembar sapu tangan. Bila gadisnya mengabulkan, pertanda cintanya diterima.

Hubungan berlanjut dari hati ke hati, saling lirik kalau kebetulan berjumpa. Atau boleh jadi “kebetulan” bersua tapi terencana dan sengaja.

Sebab pertemuan bujang dan gadis yang bukan mahram adalah sesuatu yang tabu. Bisa-bisa dianggap mesum dan berakhir dengan nikah paksa. Ini adalah aib besar bagi keluarga kedua pihak.

 Basakire

Zaman saya (tahun 60-an),  istilah main mato bergeser ke “basakire”. Tak tahu kata sakire itu berasal dari bahasa apa. Selanjutnya frase burung bayan berkembang menjadi pos.

Saat itu anak muda telah banyak pandai tulis baca. Dampaknya, gaya berpacaran kono berangsur ditinggalkan. Orang sudah mulai mengungkapkan perasaan melalui surat. Di sinilah peran tukang pos. 

Umumnya profesi tukang pos digeluti kaum hawa. Mereka berteman dekat dan dipercaya teguh memegang rahasia. Ada juga dari kaum adam tetapi tidak banyak.

Tak jarang juga barteran. Pasangan AB jadi tukang pos pasangan CD, dan sebaliknya. Tanpa perantara pun juga ada. Surat cinta diantar langsung oleh pemainnya. Kadang-kadang pura-pura minjam buku, saat pengembalian di dalamnya ada surat.  He ... he ... 

Bermesraan Lewat Lubang di Dinding

Semasa sekolah di PGA 4 tahun (setingkat SMP), saya punya karib gadis cantik 14 tahun. Sebutkan saja Ety (bukan nama sebenarnya). Dia berpacaran dengan Pak Indra (samaran) yang notabene adalah guru kami. Beliau pengampu mata pelajaran Aljabar, yang sekarang ganti nama matematika.

Tukang Posnya Nyak, ibu tengah baya. Nyak dan orang tua Ety bertetangga. Sama-sama penghuni rumah dinding bersama (rumah deret).

Pada dinding  berbatasan, ada lubang kecil selolos telunjuk. Posisinya pas di kamar tidur Ety.

Hampir setiap malam Pak guru 24 tahun tersebut bertandang ke rumah Nyak. Apabila dia datang, pasti menjulurkan telunjuknya lewat lubang  tadi. Mungkin hal tersebut mebahasakan kehadirannya dirumah sebelah.

Semula Ety menggigil ketakutan. Lama-lama, gayung pun bersambut. Malah ketika malam tanpa kehadiran jemari sang guru, rindunya menggebu-gebu.

Saat jemari nakal itu menampakkan diri, Ety cukup menyentuhnya dengan tangan. Maknanya, sapaan hangat telah dibalas.

Suatu malam, Ety sengaja mengabaikan kemunculan telunjuk ajaib tersebut.  Meski sudah berulang kali ia nongol.

Barangkali karena kesal dan penasaran, Pak Guru jangkung itu mengulurkan seutas kabel. Mula-mula sedikit demi sedikit. Akhirnya tali sepanjang 2 meter itu teronggok di atas tempat tidur Ety.

Ety kejang menahan tawa, pura-pura tidak merespon. Mungkin sebagai usaha ulang, Pak Indra menjebloskan jari tengahnya.

Sigap Ety menyambarnya dengan gigitan. Adegan berlangsung kurang lebih 5 detik. Pak Indra tidak marah. Malah minta digigit jemari yang lain. Ha ha ... Dua insan dimabuk asmara tersebut tertawa dalam bisikan masing-masing.

Model pacaran kuno begini spontanitas, bukan tradisi. Cuma milik teman saya Ety dan Pak Indra saja. 

Cerita ini saya tulis sesuai tutur pemilik kisah. Dan telah mendapat izin lisan untuk ditayangkan ke blog saya.

Batandang

Lain di kampung saya beda pula gaya pacaran gadih (gadis) dan bujang Kincai (Kerinci), tempat saya berdomisili sekarang. Di sini berpacaran disebut bamudo. Artinya bermuda atau muda mudi terlibat percintaan. Ada juga istilah basakire.

Dua insan berlawanan jenis dikatakan resmi bamudo atau basakire  setelah keduanya melakukan ritual saling bertukar baju atau sarung. Sarung atau baju tersebut dipakai oleh sang pacar misalnya ketika raun-raun sore, atau pada  acara-acara tertentu.

Untuk bertemu, pada malam yang disepakati sang bujang batandang, (baca: bertandang), ke kediaman si gadis. Ngobrol tentang cinta, masa depan, dan ini itu.

Ngobrol semakin seru jika sesekali diselingi pantun romantis. Tetapi didampingi (dikawal) oleh salah satu perempuan terdekat pihak gadis. Bahasa kekiniannya mak comblang.

Di sini harga diri seorang pemuda itu diuji. Apakah dia pemurah mengeluarkan duit untuk membeli snack atau sebaliknya.

Andai terbukti si cowok pelit, malam berikutnya jangan harap pintu terbuka untuknya lagi. Kadang-kadang disuruh masuk, tetapi bujang lain udah duluan datang. 

Pemainnya bukan saja gadis dan bujang perawan yang belum menikah. Sering juga  dilakoni oleh janda dan duda muda/tengah tua. Tak tertutup juga kemungkinan janda atau perawan bamudo dengan suami orang. Pasangan di bawah umur pun sudah pandai batandang.

Semasa mengajar di kelas 4 SD tahun 70-an, Saya sering marah pada anak cewek yang punya hobi ngantuk di kelas. Menurut laporan temannya dia tidur larut malam karena melayani bujang batandang.

Satu Pakaian Digilirkan

Suasana akan memanas bila satu pakaian digilirkan pada beberapa orang. Ini adalah alaram bahwa salah satu pihak terlibat praktik perselingkuhan. Muaranya berakhir dengan kata “putus”. 

Beginilah cara main mato dan bamudo model pacaranzaman dahulu yang dianggap kuno. Apakah era sekarang kondisi begini masih dipertahankan? Jawabnya, iya. Tetapi telah berkurang dan dipraktikkan oleh golongan tertentu saja.

****

Ditulis oleh,

Hj. NURSINI RAIS

di Kerinci, Jambi.

 

 

 

12 komentar untuk "Main Mato dan Batandang, Model Pacaran Zaman Dahulu yang Dianggap Kuno"

  1. wah seru dan unik bu, gaya pacaran jaman dulu. sekarang sepertinya lebih banyak yang menggunakan sosial media untuk berkenalan, ataupun berpacaran ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he .... Bila teringat zaman itu, mamu-malu sedap. Sekarang mana laku gaya pacaran seperti ini. Kuuunoooo. Terima kasih telah mengapresiasi, ananda Supriyadi. Selamat malam.

      Hapus
  2. Ibunda semoga tetap sehat.

    Jenguk saya ya. Ajarin jika ada yang kurang layak

    BalasHapus
    Balasan

    1. Amin, ananda Ropongi. Alhamdulillah kita ketemu di sini. Telah lama kita putus kontak. Bunda lihat akun k mu digembok. Setelah itu tak buka akun baru lagi. Mulailah menulis diblogmu. Tadi bunda ke sana kayaknya masih kosong. Supaya kita bisa kontekan langsung, cari bunda di fb HajjahNursini Rais. Yang frofilnya poto keluarga ya. Selamat pagi.

      Hapus
  3. aku baca romansa ety dan pak guru jangkung kok jadi senyam senyum ya...aihhh romantis betul hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he ... Romantis pada zamannya Mbak Gustyanita. Sekarang, udah kunoooo. Selamat malam. Terima kasih telah mengapresiasi. Salam untuk keluarga di sana.

      Hapus
  4. Unik sekali gaya pacaran jaman dahulu ya 😊.
    Membaca kata 'Main Mato' mirip dengan bahasa daerah Padang ,eh ternyata bahasa dari Jambi.

    Bagus artikelnya mencantumkan perbendaharaan bahasa daerah, jadi dapat menambah wawasan pembaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan mirip, Mas Himawan. Main Mato memang Bahasa Padang benaran. Karena yang diceritakan lokasinya di Sumbar sana. Jambi punya kisah ke dua. "Batandang". Terima kasih telah hadir, Mas Salam sukses selalu.

      Hapus
    2. Oh, maafkan ya kak karena ternyata kata Main Mato memang berasal dari Padang.

      Sama-sama, kak.
      Salam sukses juga buat kak Nur.

      Hapus
    3. Ha He v.... Jangan panggil kakak, anada Himawan. Nenek saja. Mendekati kepala 7 akuhnya.

      Hapus
  5. ....Sebab pertemuan bujang dan gadis yang bukan mahram adalah sesuatu yang tabu. Bisa-bisa dianggap mesum dan berakhir dengan nikah paksa. Ini adalah aib besar bagi keluarga kedua pihak...
    Sebenarnya, hari ini sebagian dari anak muda jg menganggap hal ini adalah hal yang tabu, namun memang lebih banyaaakkkk yang menganggap ini adalah hal yg biasa. Maknanya, mungkin, secara etika dan moral nampaknya sudah menurun.


    Kemudian, untuk kisah Bu Ety dan Pak Indra gimana, bund? Apakah kemudian mereka melanjutkan ke pernikahan atau kandas di tengah jalan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak, ananda Dodo. Mereka punya perjodohan masing2. Yang menyedihkan, Ety ditinggal mati suaminya dalam usia 40-an tahun. Sampai kini dia tak mau nikah lagi.
      Lucunya, setahun lalu Ety curhat ke bunda. Pak Indra datang ke tempat Ety kira2 setahun lalu. He he .... Kebetulan bunda dan Ety tinggal di rantau yang sama. Bukan kampung kami asli. Pak Indra masih di kampung. Jaraknya 100 km dari tempat kami.

      Sebenarnya mereka sama2 cinta. Tapi Emak Ety melarang. Maklum dulu Pak Indra guru honorer. PNS agak telat. Justru duluan bunda diangkat. Kini beliau telah lama pensiun. Asyik kan .....? Terima kasih telah mengapresiasi. Salam sehat untuk keluargs di sana.

      Hapus