Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengintip 3 Tradisi Unik Menyambut Idul Fitri di Dua Daerah Berbeda

Ilustrasi tradisi unik menyambut Idul Fitri. ( Foto: diambil dari correcto.id)

Setiap daerah punya budaya masing-masing. Tak terkecuali dalam menyambut hari raya Idul Fitri. Walaupun telah banyak dipengaruhi oleh modernisasi, sebagiannya  masih tetap eksis di tengah masyarakat.

Ingin tahu  tradisi apa saja yang dimaksud? Berikut saya akan mengulas 3  tradisi unik menyambut Idul fitri. Khususnya di daerah pedesaan yang pernah saya tinggali dan sekitarnya.

1. Tradisi Manggang Tapughuang 

Suasana manggang tapughuang di kampung saya, 27 Ramadan tahun 1442 Hijriah (08 Mei, 2021 Masehi),  jauh lebih sepi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. (Foto: Kiriman HermiYusnita).

Membakar tempurung atau batok kelapa adalah tradisi unik menyambut lebaran Idul Fitri  di kampung halaman saya Inderapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Masyarakat setempat menyebutnya “manggang tapughuang”. Manggang = membakar, tapughuang = tempurung atau batok kelapa.

Ritual akbar ini diadakan pada setiap malam tanggal 27 Ramadan, di halaman rumah masing-masing. Makanya, warga setempat mensyakralkannya sebagai “petang dua puluh tujuh”.

Sejumlah batok kelapa dilobangi bagian tengahnya dengan cara diketok menggunakan palu. Kemudian dengan posisi permukaannya ke atas, benda tersebut disorongkan pada sebuah tiang, yang terlebih dahulu dipancangkan ke tanah. Persis seperti menusuk daging sate.  

Lazimnya gewean ini dikerjakan oleh bocah laki-laki usia Sekolah Dasar. Mereka berlomba-lomba mengumpulkan tempurung sebanyak mungkin. Semakin banyak jumlah tempurungnya, kian tinggi anggitan batok yang diperoleh. Anak-anak yang ulet, susunan batoknya bisa mencapai 2 meter lebih.

Pemanggangan dilaksanakan setelah maghrib. Api dinyalakan mulai dari tempurung paling atas. Kemudian secara alami, berangsur-angsur api menjilat material mengarah ke bagian bawahnya. Dalam sekejap, suasana kampung terang bederang bak negeri dalam dongeng. 

Susunan tempurung yang sedang terbakar di halaman rumah penduduk, 27 Ramadan 1442 Hijriah.  (Foto: Kiriman HemiYusnita)

 Sebelum ada listrik, semua rumah tangga melakukannya.  Saya yang tidak punya saudara laki-laki pun tak mau ketinggalan. Walaupun jumlah dan tingginya tempurung milik saya tak bisa bersaing dengan punya tetangga.

Malam spektakuler itu tidak hanya dimeriahkan dengan acara manggang tapughuang. Ada juga warga yang menyalakan obor-obor kecil, yang dijejerkan di cusen jendela dan beranda. Persis seperti lilin.

Anak-anak lelaki dan perempuan, bersorak gembira di halaman rumah. Sambil membawakan obor mereka bersama-sama meneriakkan, “Te ... te panggang  tete.  Te ... te panggang tete.”

Tak tahu entah apa arti kata-kata yang mereka lafalkan tersebut. Malam itu anak-anak menikmati kebahagian tanpa batas.

2. Tradisi Main Bdi Buluh

Semarak manggang tapughuang  terasa lebih hidup,  karena diselingi letusan bdi buluh. Bedil yang dikenal sebagai meriam bambu itu bersahut-sahutan antara satu lokasi dengan dentuman tempat lain. 

Umumnya bdi buluh buatan pemiliknya sendiri. Mulai menebang bambu dari pohon, sampai mengolahnya jadi bdi buluh yang siap pakai. Saya rasa zaman sekarang amat sedikit bocah-bocah yang sanggup melakukannya.

Semakin terampil tangan mengolahnya, makin bagus hasilnya. Kian nyaring pula bunyi letusannya. Intinya, yang paling garang ledakannya melambangkan kehebatan empunya.

Sampai kini, tradisi unik manggang tapughuang dan nembak bdi buluh ini masih dapat ditemui di daerah setempat. Meskipun tidak semeriah zaman dahulu. Maklum, namanya zaman digital. Orang lebih cendrung pada hal yang simple.

Perlahan tapi pasti, kegiatan manggang tapughuang mulai tergeser oleh gemerlapnya cahaya lampu listrik. Nasib Bdi buluh pun berada di ujung tanduk. Orang-orang telah terbuai oleh kemajuan teknologi. Posisi mainan tradisional itu telah tercampak dan digantikan oleh letusan petasan.

Jika ditinjau dari banyak aspek, kita tentu berharap agar tradisi unik seperti ini  tetap dilestarikan. Dan mencatatnya sebagai budaya kebanggaan bangsa.

Tradisi Mna jadeah

Lain masyarakat Inderapura, beda pula di tanah Kerinci rantau yang saya huni sekarang. Di desa tatangga (bukan desa saya), menyambut Idul fitri dengan tradisi mna jadeah. Artinya membat juadah atau  dodol.

Ritual ini terbilang unik. Pada malam mna jadeah, nyonya rumah mengundang pacar anak gadisnya untuk mengaduk juadah. Sebab pekerjaan yang satu ini terbilang sulit. Butuh kesabaran dan tenaga yang ekstra kuat.

Membayangkannya saja rasanya saya tidak sanggup. Keras, liat,  pekat dan sendat. Mungkin kata-kata itulah yang pantas disematkan pada proses pembuatan kue jadul berbahan dasar tepung ketan ini.

Kalau sekadar 1 kg tepung, barangkali tidak masalah. Bagaimana kalau membuatnya di atas 5 kg.

Tetapi jika calon menantu yang menanganinya tentu ceritanya akan jadi berseni. Segepok batu rasanya seringan kapas. Apalagi didampingi gadis pujaan hati.    

Pada kesempatan baik itu nyonya rumah sengaja memotong ayam untuk menu santap bersama.

Saat itu pula kesabaran dan keuletan seorang cowok akan diuji. Apakah dia sanggup melakukannya dengan baik dan sungguh-sungguh, atau tidak.

Akhir 70-an, seremoni unik begini dijadikan  indikasi seberapa tinggi daya juang seorang suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Selain membelikan pakaian serba baru untuk dipakai berhari raya. Terutama pasangan yang masih muda.

Tak heran, pada zamannya di desa tertentu, mendekati Idul Fitri banyak terjadi perceraian. Gara-garanya, suami tak punya uang untuk membuat juadah dan membeli baju baru untuk anak istrinya.

Ini menyangkut harga diri seorang wanita (vesi saya). Apakah dia masih bertahan dengan kondisi yang ada atau pilih mundur.

Alasan ketidakmampuan suami secara materi, sampai-sampai ada pernyataan panas seorang oknum istri, “Daripada saya ngasih ‘anuku’ padamu, lebih baik aku hanyutkan dia ke Sungai Merangin.”   

Gila. Apa jadinya kalau doi (mis v) dihanyutkan ke sungai, sementara pemilik raga mengurung diri tak berani keluar. Karena tiada duit untuk bikin juadah dan membeli baju baru. He he ....

Apakah kisah ini fakta, atau pameo yang dilebih-lebihkan? Allahualam bishshawab.

Kini zaman telah berubah, tradisi mna jadeah berangsur tenggelam ditelan zaman. Meskipun masih ada sebagian etnis yang mengagung-agungkannya, mungkin oleh sekelompok kecil saja.

Begitu juga efek sosialnya. Mana jadeah dan baju lebaran tak pantas lagi menjadi perdebatan. Apalagi sampai berdampak rusaknya keutuhan rumah tangga. Mungkin karena dipengaruhi oleh taraf pendidikan kaum emak yang semakin meningkat.

Namun saat lebaran juadah masih eksis di meja tamu. Sebab, kuliner tradisional ini telah banyak membanjiri pasar. Mulai di pusat perbelanjaan modern sampai ke warung desa dan pasar-pasar tradisional.

Inilah 3 tradisi unik menyambut Idul Fitri di 2 Daerah yang berbeda. Semoga bermanfaat. 

Baca Juga:  

 ****

Penulis, 

Hj. NURSINI RIS

di Kerinci Jambi.


 

 

11 komentar untuk "Mengintip 3 Tradisi Unik Menyambut Idul Fitri di Dua Daerah Berbeda"

  1. Uniknya amalan tradisi itu. Itulah cara hidup yang menjadi identiti mereka. Namun di kebanyakan tempat, budaya sesuatu kaum semakin pupus dan generasi baru tidak dapat mengetahuinya lagi melainkan merujuk kepada catatan dan dokumentasi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ananda Amie. Apa hendak dikata, kemajuan teknologi yang tak terbendu membuat segala yang berbau budaya telsh berangsur tergusur. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat berhari minggu.

      Hapus
  2. unik-unik ya mba Nur tradisinya, kalau yang pertama mirip-mirip dengan yang ada di tempat kami tuh, kalau engak salah di kampung tempilang atau kampung penyak gitu, pokonya ramai dah, ketika malam hari apinya terang benderang di sepanjang jalan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi di tempat kami tradisi ini kian terkikis, Mas Kuanyu. Selamat sore. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
    2. selamat sore juga mba Nur, sama-sama

      Hapus
  3. Terimakasih untuk ulasannya bu Nur, bermanfaat sekaligus inspiratif nih☺️👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali, Mas Warkasa. Terima kasih juga telah berkenan hadir. Selamat sore.

      Hapus
  4. yang terakhir kalau tempat nita jadah itu malah kayak wajik atau ketan bunda..kalau di tanah kerinci rupanya seperti dodol ya...menarik karena melibatkan tradisi turun temurun dan ada peran calon anak gadis yang diuji seberapa sabar dan ulet waktu mengaduk adonan juadah 😍

    BalasHapus
  5. Betul seperti didodl, ananda Nita. Itulah uniknya Indonesia, Juadah di daerah A, belum tentu serupa dengan dodol B. Selamat malam, terima kasih telah hadir, Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf juga lahrdan bathin.

    BalasHapus
  6. Kalau daerah saya tradisinya balapan2 pake knalpot bobol bu nur hihi,,, padahal nabinya kan bukan valentino rossi hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu gawean anak kota, ananda Norfahrul. Gak gaya tanpa mengikuti aliran valentino rossi. He he. ....

      Hapus