Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengalaman Pahit Merenda Kehidupan dalam Berumah Tangga

  

Ilustrasi pengalaman pahit merenda kehidupan dalam berumah tangga (Foto NURSINI RAIS)

Alhamdulillah, tahun ini tepatnya tanggal  9 Juli tahun 2021, pas 47 tahun kami berumah tangga.  Banyak pengalaman pahit yang kami alami. Maklum, zaman itu  kami sama-sama berstatus pengangguran.

Tinggal di Rumah Kedai Gratis

Seminggu usai nikah kami keluar dari rumah orang tua. Pindah ke rumah kedai gratis, peninggalan almarhum bapak mertua yang kebetulan kosong. Ini sudah komitmen kami berdua sebelum jadian.

Di sana kami mulai hidup dari nol. Buka warung kopi kecil-kecilan, plus jualan lontong buat anak sekolahan. Karena lokasinya dekat Sekolah Dasar.

Sering  kami begadang sampai pukul 01.00. Suami menemani pengunjung ngopi sambil ngota (ngobrol). Mereka kebanyakan para pemuda.  Saya bikin gorengan sekaligus bikin lontong untuk besoknya.

Dini hari, saya bangun lagi menyiapkan sambal lontong dan kue-kue buat dagangan pagi. Tradisi bapak-bapak di sana, sebelum ke sawah atau ke ladang,  mereka ngopi di lapau (warung) sambil ngudap gorengan atau kue lainnya.

Warung Laris Manis

Kegiatan saya berlanjut pukul 07.00 sampai siang, melayani anak SD belanja lontong. Dibantu seorang kerabat, saya bekerja penuh semangat. Suami kerja di ladang menanam cabe, kacang tanah, dan sayuran.

Warung kami laris manis, pengunjungnya ramai. Berimbas pada hasil yang super lumayan menurut  kantong saya zaman itu (1974). Bagi saya ini adalah tanda-tanda kehidupan ekonomi rumah tangga kami mulai membaik.

Dagangan Diutangi

Sayangnya, kondisi tersebut hanya bertahan  kurang lebih 4  bulan. Setelah itu,  pelanggan mulai berulah.  Dagangan saya sering diutangi.  Usai minum, mereka bilang, “Catat dulu ya! kopi sakarek (setengah = segelas kecil), gorengan duo (dua).” 

Ironisnya, setelah utangnya numpuk, mereka pindah tongkrongan ke kedai kopi lain. Yang menyakitkan, saat lewat di depan warung saya, mereka membuang muka. Seolah-olah tidak kenal.

Ada juga oknum yang pintar berpura-pura. Sebulan minggat kembali lagi. Tetapi dia tak pernah menyenggol utangnya yang telah tercatat. Pura-pura lupa, pura-pura tak pernah berutang.  Selanjutnya belanja kes sekali dua, terus minta dibukukan lagi.

Hanya sebagian kecil pelanggan yang jujur.  Sisanya, sampai saat ini masih tertoreh dalam buku malaikat Kiraman Katibin. Karena tak ada niat membayar utang itu termasuk amalan buruk.

Kami coba bertahan sampai berdarah-darah. Akhirnya  kami bertekuk lutut pada kenyataan. Warung kami gulung tikar.

Hidup Pahit Melilit

Zaman itu hidup kami pahit melilit. Untuk bertahan, dalam kondisi hamil saya terima jasa menjahit kecil-kecilan. Bawaan saya ngantuk  siang malam. Menjahit bagi saya suatu keterpaksaan. Dalam hati saya berharap supaya tiada pelanggan yang ngasih job.

Suami menggores getah karet. Pohonnya milik paman beliau, sistem bagi hasil.

Tanaman kacang tanah rugi total. Cabe juga boleh dikategorikan gagal. Zaman itu bercocok tanam masih tradisional. Belum pakai pupuk dan obat-obat kimia seperti sekarang.  Kegagalan cabe bukan tersebab tidak berbuah. Tapi karena tiada terawat. 

Suami saya orangnya penakut.  Karena takut diterkam harimau, di kebun dia tidak berani kerja sendirian di pinggir-pingir yang berbatasan dengan hutan. Bagaknya cuman di tengah saja.

Dampaknya, kebun yang terawat  semakin kecil dikepung gulma. Padahal, semasa cabenya musim    berbuah harga jualnya sangat mahal.

Alhasil, baju-baju dan celananya yang masih layak pakai ludes semua. Dia jadikan ogoh-ogoh, kemudian ditancapkannya di tengah ladang. Katanya untuk menakut-nakuti musuh. Yang jelas, itulah pengalaman hidup yang kami peroleh dalam bertani.

Sedih Mengingat Perjuangan Orang Tua

Saya galau, sedih, dan hiba dengan kondisi  saya waktu itu. Galau karena memikirkan kondisi ekonomi. Sedih, mengingat perjuangan orang tua terutama Emak  penuh suka duka membiayai saya menyelesaikan pendidikan PGA 6 tahun di luar daerah. Ternyata setelah bersuami  peruntungan saya sebegitu-begitu saja.

Hiba (kasian) melihat suami setiap pagi masuk hutan motong karet. Acapkali dia menemui bekas jejak harimau yang masih basah. Artinya ‘nenek belang’ itu baru saja lewat.

Padahal dia penakut masuk hutan. Belum lagi nyamuk dan pacat si penghisap darah bergelayutan di tubuh dan kakinya. Subhanallah.

Menyusul Suami

Pernah suatu pagi, tak lama suami saya meninggalkan rumah hujan turun rintik-rintik. Kata orang-orang, saat hujan seperti itu harimau sering keluar mencari mangsa. Sasaran utamanya babi hutan.

Membayangkan kondisi tersebut, tak tahan air mata saya meleleh. Saya peluk bantal di tempat tidur, hati ini tetap tidak bisa tenang. Hiba, kasian, entah perasaan apa lagi saya tak bisa mengungkapkannya. Bahkan saat menulis paragraf ini saya hanyut dalam kesedihan.

Tanpa pikir panjang, di tengah gerimis basah itu saya berangkat sendirian menyusul dia ke kebun tempatnya menggores. Jaraknya kurang lebih 2 km menempuh jalan setapak, disela tumbuhan hilalang dan semak belukar. Meskipun ada kebun petani, tidak termasuk dalam jalur yang dilewati.

Selama menapaki jalan, tak satupun makhluk yang bernama manusia saya temui. Wajar, petani berteduh dalam pondoknya masing-masing. Mereka pun takut keluar. Mungkin juga beliau-beliau itu belum berangkat ke kebun. Masih di rumah menunggu hujan  reda. Tetapi saya santai-santai saja.

Kira-kira 50 meter dari kawasan dia bekerja, saya langsung berkiyu nyaring, semaksimum suara. “Wooooo ....!” (panggilan dia dalam keluarga. Wo artinya kakak tertua).

Dia merespon setelah teriakan ke dua. Katanya pertama dia sudah tahu kalau itu suara saya. Tetapi  dia khawatir kalau dirinya di bawah pengaruh ilusi.

Dia langsung menyongsong saya. Begitu ketemu beliau beristighfar sejadi-jadinya sambil memeluk saya. “Kamu hamil pertama. Tak boleh masuk hutan. Apalagi  sendirian di tengah hujan nanggung-nanggung begini.” Suaranya tercekat. Akhirnya kami bertangis-tangisan  meratapi nasip dan penderitaan hidup. 

Sebagai informasi tambahan, menurut pamali orang tua-tua kampung, bagi selera harimau perempuan hamil pertama konon aromanya bau nangka matang. Makanya dia dilarang masuk hutan. 

Galau Saat Melahirkan

Singkat certia, tibalah tanda-tanda saya akan bersalin. Rupanya kerena keseringan duduk saat menjahit, kepala bayi agak lonjong ke belakang. Sehingga susah melahirkan. Prosesnya tak perlu saya ceritakan di sini. Ntar didengar sahabat bloggers cowok yang masih muda dan belum berumah tangga.

Dua hari saya kesakitan. Dua belas jam sakitnya  hampir tanpa jeda. Sampai-sampai bidan memberikan batasan,  “Tunggu dua jam lagi. Kalau tak berhasil, kita bawa ke Padang,” katanya.

 Saya dag-dig dug. Perjalanan ke Padang 190-an kilometer. kurang lebih 10 jam naik mobil. Semasa itu jalan tidak semulus sekarang. Sampai di Padang pasti dioperasi. Dengan apa biaya dibayar. Belum lagi ongkos mobil. Sekurang-kurangnya nyarter truk.  Seingat saya, era itu belum ada orang di sekitar saya punya mobil pribadi.

Ambulance adanya di ibu kota  Kabupaten, (Painan). Seratus kilometer lebih dari kediaman kami. Belum didukung alat komunikasi seperti sekarang. Pikiran saya galau dan bercabang-cabang. Memikirkan dana,  berjuang mengeluarkan bayi, sekaligus  melawan sakit.

Lahiran Sukses, Biaya Ngutang

Alhamdulillah satu jam setelah sang bidan berucap, anak saya lahir.  Seorang bayi perempuan mungil cantik, mancung, kulitnya putih, rambutnya hitam dan tebal. Jam menunjukkan pukul 02,00 dini hari, Selasa tanggal 20 Mei 1975.

Karena proses persalinan saya terbilang sulit, tarif yang dikenakan relatif  tinggi.  Kami hanya sanggup bayar 50%. Sisanya ngutang. Malangnya utang belum lunas, usia 1 bulan buah hati kami itu pergi mninggalkan kami untuk selama-lamanya, karena tatanus pusat.

Sekuat apapun badai penderitaan menghempas, kami tak pernah menadahkan tangan kepada orang tua.  Maklum, awalnya ibu mertua kurang mendukung perjodohan kami. Karena beliau telah menyiapkan calon buat suami saya, dari golongan orang berada.

Sementara Emak saya, terkesan kesal dengan kondisi kami. Pernah lidahnya terlanjur berucap, "Kamu lulusan sekolah tinggi, nasibmu lebih parah dari emakmu ini yang buta huruf."

Zaman dahulu, kalau anak sudah lulus pendidikan di luar daerah, terkategori sekolah tinggi. Muaranya harus jadi pegawai negeri. Minimal dapat suami kerja kantoran.

Perjuangan hidup kami belum selesai sampai di situ. Masih banyak onak dan ranjau yang kami tempuh. Hingga akhirnya kami bisa bersantai ria pada usia senja seperti saat ini. Walaupun jauh dari kata kaya.  

Demikian pengalaman pahit kami merenda kehidupan dalam berumah tangga. Tunggu curhat berikutnya Juli tahun depan. Era modern ini tak elok nulis  terlalu panjang. Banyak informasi lain yang antre perlu dibaca. Sekian dan terima kasih. Semoga bermanfaat.

Baca juga:   

****

Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi.

29 komentar untuk "Pengalaman Pahit Merenda Kehidupan dalam Berumah Tangga"

  1. Lahiran sukses biaya ngutang duh ngeek langsung nyesek didada, ini lah yang saya takutkan ketika menikah. Saat kita membutuhkan keperluan mendadak uang sedang tidak ada. Meski demikian hal terpenting menjaga sebuah hubungan agar tidak rusak apalagi sampai hancur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jalani aja, Mas. He he ... Tetapi sebaiknya sebelum menikah itu harus punya sumber panghasilan. Dan usahakan juga matang di segi usia. Kami dahulu rasanya sudah lumayan dewasa. tetapi pikiran belum matang. Mosok untuk melahirkan tak punya tabungan. Sejatinya kami menyiapkan. Tetapi berhubungan lahirannya sulit, jadi dikenakan biaya agak tinggi. Hampir dua kali lipat. terima kasih telah singgah. Selamat sore.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Terima kasih atensinya, Mas Warkasa. Selamat sore. Salam sehat selalu.

      Hapus
  3. Pengalaman yang sangat luar biasa nek

    BalasHapus
    Balasan
    1. Faktanya begitu, ananda. Terima kasih telah seinggah, ananda Dinni. Selamat sore.

      Hapus
  4. Faktanya begitu, ananda. Terima kasih telah seinggah, ananda Dinni. Selamat sore.

    BalasHapus
  5. Pengalamannya yang luar biasa, hebat eyang Nur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hebat dan wow ..., penuh derita dan cucuran air mata, cucunda Erina. Selamat malam, Terima kasih telah singgah. Salam sehat untuk keluarga di sana ya.

      Hapus
  6. Baca waktu nyusul suami ke hutan jadi deg-degan karena takut ada harimau atau binatang buas lainnya, syukurlah tidak apa-apa dan akhirnya bisa ketemu suami. :)

    Eh harusnya sudah tahu tidak apa-apa ya, kan ini Bu haji masih ada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bila teringat zaman itu, saya dan suami sering bilang, cukup sekian kita tinggal di kampung. Biarlah kita mati di rantau orang saja. He he ... Padahal salah sendiri. masih nganggur, nekat mau nikah. Alhamdulillah kedua anak kami tak ada yang gila nekat seperti emak dan bapaknya. Mereka berumah tangga setelah punya penghasilan tetap. selamat malam Mas Agus. Salam sehat dari jauh.

      Hapus
  7. kisah yang mengharu biru. Tapi benar benar dapat di jadikan cermin hidup yang baik bagi generasi mudah yang akan mengarungi hidup dan kehidupan selanjutnya.

    Tapi kisah itu indah ketika ia telah berlalu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangat indah Mas Sofyan. Mungkin karena kenyang dengan penderitaan hidup saya bisa curhat dalam bentuk tulisan. Di situlah indahnya kisah sedih yang telah berlalu. Selamat malam. Terima kasih telah singgah.

      Hapus
  8. Haloo bu, apa kabar. Sudah lama saya tidak buka blog, nih hehehe..
    Wah sudah sangat lama, ya, 47 tahun. Hampir seusia orang tua ku. Membaca perjuangan ibu Nur saat itu, cukup berat juga yaa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang penting sekarang sudah buka blog lagi. Super berat, ananda Dodo. Bukan berat lagi. He he ... Terima kasih telah hadir. Doa sehat untuk keluarga di sana ya.

      Hapus
  9. Setelah membaca kisah ini saya merasa Anda dan suami orang hebat. Bisa melewati masa-masa paling sulit sampai 47 tahun masih tetap bersama itu pencapaian yang luar biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, Mas Tikno. Sekarang saya juga merasa hebat. Berkat pengalaman pahit itu saya bisa curhat di sini. Dahulu, saya sering nangis menghadapi dunia. He he ... Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat malam. Doa sehat untuk keluarga di sana ya

      Hapus
    2. Tiga tahun lagi Anda pasti akan lebih bahagia di saat ulang tahun perkawinan emas. Semoga Tuhan memberkati Anda sekeluaga.

      Hapus
    3. Amin Mas Tikno. selamat malam minggu ya. Doa sehat untukmu sekeluarga.

      Hapus
  10. Bersantai di usia senja
    saya juga ingin seperti bu nur
    waktu masih muda harus kerja keras untuk mencapai usia senja udah tinggal sante2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, Mas Rizky. Semoga harapanmu didengar olehNya. Tapi selagi muda harus kerja keras dulu. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat pagi. Salam sehat buat keluarga di sana ya.

      Hapus

  11. Waaah? Kok saya jadi takut sendiri ya bunda, merenda Pernikahan . Entahlah Bun ? Dijalani aja lah entar tapi kalau udah ada calonnya lawong yang kemarin nyatanya tergait teman kerjanya . Ya udahlah , mungkin yang kemarin bukan jodoh saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan takut ananda sayang. Asal kita gigih berjuang, pasti bisa bebas dari kesulitan. Bahkan penderitaan membuat otak kita terasah untuk mencari jalan keluar. Yang penting cari jodoh yang setia. Beragama dan berakhlak. Selamat sore. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
  12. Masya Allah, berkaca-kaca membaca pengalaman, bunda. Semoga pernikahan bunda terus langgeng penuh keberkahan dan penuh kasih sayang. Kami pun 5 juli kemarin baru memasuki usia pernikahan ke 13 tahun. Pengalaman bunda dan orang2 tua terdahulu menjadi pelajaran bagi kami yang muda2 untuk bisa terus bertahan dalam suka maupun duka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. 13 tahun? Perjalanan hidupmu masih panjang anbanda Naia.

      Syukur kalau pengalaman orang tua bisa diambil sebagai pelajaran. Bukan berarti anak muda harus hidup susah. Itu kuno. He he ... Lagi pula, era modern ini tak banyak orang miskin seperti zaman itu. Selamat malam ananda Naia. Doa sehatn untukmu sekeluarga.

      Hapus
    2. Aamiin. Tentu gak sebanding dengan kisah bunda, kalau anak muda sekarang, sesusah apapun masih bisa beli kuota buat internetan. Hehehehe. Berbeda jauh dengan orangtua di zaman dulu yang perjuangannya benar-benar penuh keringat dan darah. Jadi pengingat buat kami supaya gak gampang mengeluh.

      Hapus
  13. Bunda, tadinya aku pikir ini kisahnya di Sibolga, karena ada kata2 bagak, hiba :D. Ternyata Padang. Bahasa Sibolga memang mirip Ama bahasa Padang. Aku sendiri orang Sibolga, makanya ngerti bahasa ini.

    Btw, tanggal pernikahannya sama Ama aku Nda ;). Cm beda bulan hahahha.

    Cerita bunda trutama yg suka berhutang itu bikin sedih. Anggab lah itu tabungan pahala bunda utk akhirat yaa. Hutang apapun ceritanya tetep harus lunas.

    Semoga bunda selalu sehat, dilindungi selalu dan bahagia dengan keluarga ya Nda ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he ... Ternyata kita sama-sama sumatera ya, Ananda Fanny. Meski lain pulau. Tapi provinsi kita bertetangga. Makanya tradisi dan bahasa ada kemiripan. Tapi ananda jadi orang Jakarta dan sukses. Selamat malam, ananda Fanny. Terima kasih telah singgah. Salam untuk keluarga di sana.

      Hapus
  14. semua orang pernah mengalami pahit getir kehidupan....
    mengenangnya, terkadang menghibur juga.

    BalasHapus