Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Curhatan Anak Korban Perceraian Ibunya Nikah Lagi, Tampaknya Baik-baik Saja

Ilustrasi Curhatan Anak Korban Perceraian  Ibunya  Nikah Lagi, Tampaknya Baik-baik Saja  (Tangkapan layar Instagram  anakku)

Perceraian adalah hal yang menyakitkan bagi pasangan yang  menjalaninya. Meskipun sering kita dengar pernyataan salah satu  atau kedua pihak, bahwa setelah bercerai mereka senang dan lega. Pengakuan yang patut disangsikan menurut saya.

Terlepas dari tulus tidaknya pengakuan tersebut, korban yang paling menderita adalah anak-anak.  Terutama anak-anak yang masih kecil. Mereka masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orang tua yang utuh.  

Beda  cerita kalau pasangan tersebut belum punya anak. Bak pribahasa tetua kampung, “Pendayung sama-sama di tangan, sama-sama di kayuh biduk ke hilir.”

Kompilasi Hukum Islam

Pasca bercerai, anak-anak ikut ayah atau ibunya  bisa saja dikompromikan secara baik-baik. Atau bagi yang Muslim, boleh merujuk pada 3 ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 105,

(a) Dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak belum berumur 12 tahun hak ibunya.

(b) Bila anak sudah berusia di atas 12 tahun, maka keputusan diserahkan kepada anak tersebut untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh.

(c) Pihak yang bertanggung jawab semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak adalah ayahnya.”

Beruntunglah anak-anak yang punya kedua orang tua, pasca bercerai keduanya  masih waras dan bisa diajak kompromi.  Atau mungkin lebih adil jika mereka sepakat berpegang pada Kompilasi Hukum Islam.

Sebagus apapun aturan yang diterapkan, anak-anak tetap tak bisa berbuat apa-apa. Selain tampil seperti baik-baik saja.

Tetapi, lazimnya dari dahulu sampai sekarang, tradisi di kampung saya apabila ayah bundanya bercerai, anak-anak ikut ibunya.  Tak peduli apakah ayahnya meninggalkan harta yang cukup atau miskin suntuk.

Terdampak, tak merasa jadi korban

Tradisi yang menyesatkan itu membuat mantan suami bebas merdeka. Melenggang kangkung mencari perempuan lain untuk pengganti. Mereka abai terhadap ketentuan pasal 105, terutama butir (c).

Saya Nursinikecil  adalah mantan makhluk terdampak konflik tersebut. Tetapi semasa masih balita, alhamdulillah saya baik-baik saja,  tak pernah merasa menjadi korban perceraian.

Mungkin ada yang bertanya, “Mulai kapan nenek  merasa dikorbankan?” Duh, Cung. Setelah  curhat di buku “Jatuh Bangun Mengejar Sayang”,  kini nenek harus buka-bukaan lagi nih.

Saya tak tahu persisnya kapan.Yang jelas,  saat Emak menikah lagi. Dikala itu saya belum rela menerima kenyataan. Saya  merasa kasih sayang ibunda tercinta dirampas oleh lelaki yang memasuki hidupnya. Lelaki yang sangat asing bagiku.

Saya juga tak pernah merindukan kehadiran ayah kandung. Membayangkan  wajahnya saja saya takut. 

Maklum anak kecil. Sejak lahir biasa bermanja-manja sebagai anak tunggal dari seorang ibu single parrent. Lamanya kurang lebih 6 tahun.

Dikala itu saya merasa tercampak ke jurang derita terdalam. Saya stress sendiri. Malu keluar rumah, tak bisa tidur karena setiap malam saya menangis dalam selimut.

Mau marah kepada siapa.  Protes ke Emak tidak berani. Curhat ke sanak keluarga, malah saya yang terpojok.  Mereka menjawab, “Eh ..., tak boleh Emakmu nikah, apa kamu yang mau kawin?” Emaaak ...,  pedihnya. Sudah luka digarami pula. Bagaimanapun pergolakan dalam jiwa saya, saya tetap biasa-biasa saja.

Setelah dewasa merasa berdosa

Setelah dewasa saya baru maklum,  Emak melahirkan saya usia 15 tahun.  Ditinggal nikah oleh suaminya  saat saya 4 bulan dalam kandungan.

Lagi pula, semasa muda Emak dikaruniai wajah cantik versi saya, banyak kumbang yang menggoda. Selaku wanita normal, tentu dia  punya keinginan untuk berpasangan. Belum lagi menyangkut kebutuhan biologis dan gunjingan orang sekampung.

Bila teringat masa-masa menyakitkan itu, saya merasa berdosa kepada almarhumah.  Meskipun kemarahan saya hanya di dalam hati, tak pernah terucap oleh lisan. Saya telah mengingkari fitrah beliau sebagai janda, menikah lagi dan berbahagia dengan suami yang lain.

Hal ini  sering saya sesali karena tak ada pengakuan terbuka kepada beliau, bahwa saya pernah sakit hati kepadanya.  Hingga akhir mautnya menjemput.

Tetangga baru yang bikin baper

Sampai sekarang, kalau saya melihat anak kecil korban perceraian, emaknya menikah lagi saya suka sedih, terhanyut sendiri, dan baper sendiri.  Saya juga sering memberi saran kepada janda yang punya anak masih kecil, supaya  menunda dahulu keinginannya untuk menikah lagi.

Dua puluhan tahun lalu, di kediaman tetangga sebelah sayup terdengar suara anak kecil menangis.  Kadang-kadang tengah malam, adakalanya dini hari. 

Ternyata di rumah petak sebelahnya ada penghuni baru. Pasangan suami istri dari luar daerah. Mereka belum seminggu  usai  menikah. Yang perempuan membawa anak cowok 1 usia 4 tahun. Lelakinya duda 3 anak, yang semuanya diasuh oleh mantan istrinya.

Saya berpikir, barangkali bocah tadi menangis  tersebab takut tidur sendirian. Atau boleh jadi pada jam-jam tertentu dia kedinginan  karena terbiasa dikelonin. Kini  Emaknya berdekapan dengan laki barunya.  Biasa nasib anak korban perceraian.

Setiap dia menangis saya terbangun, sedih dan meneteskan air mata, hingga tak bisa tidur sampai pagi. Serasa saya kembali ke konflik batin enam puluhan tahun lalu.

Ini  cuma secuil sindroma pasca ibunya menikah. Belum lagi masalah lain yang mengerikan nan kadang-kadang  susul menyusul.   Suami yang membenci anak tiri, membunuh anak tiri, ada juga yang bertahun-tahun memperkosa anak tiri.

Saya angkat jempol pada masyarakat Kerinci (rantau tempat saya berdomisili sekarang). Janda punya anak,  lalu menikah lagi, adalah peristiwa yang terbilang langka.  Baik mereka yang ditinggal nikah maupun bercerai mati.  Kecuali naik atau turun ranjang.

Apabila kelak mereka bersuami lagi, ternyata anak-anaknya luntang lantung, dia menjadi buah bibir di dalam  dusun. “Begitulah anak korban perceraian. Emaknya enakan punya laki baru.”

Umumnya masyarakat setempat terbilang fanatik pada semboyan,  Bersuami  tujuannya mencari anak. Kenapa anak  yang ada disia-siakan.” Khusus di desa kami boleh dihitung dengan jari yang melanggar mantra tersebut.

Simpulan dan Saran

Setiap perceraian orang tua, pasti membawa luka mendalam bagi anak-anaknya yang masih kecil. Dan lukanya akan tambah berdarah di kala ibunya menikah lagi, (jika anaknya tinggal bersama si Emak).

Oleh sebab itu, jika tak mau mengorbankan anak-anak, tak ada  salahnya orang tua berpikir ulang ribuan kali sebelum memutuskan untuk bercerai.

Jika ada problem yang mengganjal dalam rumah tangga komunikasikan secara baik-baik, saling koreksi, terus berbenah diri, lalu saling  memaafkan. 

Tiada manusia yang luput dari keselahan. Baik antar sesama manusia maupun  terhadap Sang Pencipta. Apa lagi antar suami istri yang bertahun-tahun dalam kebersamaan. 

Sekiranya perceraian adalah salah satu takdir terbaik yang harus dijalani, ya apa hendak dikata. Keselamatan anak-anak adalah nomor satu.

Eh ..., jika ada yang kebelet mau mengganti, bersabarlah sampai  anak-anak tak butuh kelonan hangat  ibunya lagi. Kecuali mereka sudah besar, dan mengizinkan  ibunya menikah lagi.

Terakhir mohon maaf, saran pendapat ini memang sudah basi untuk dijalani. Namun apapun keputusannya Andalah yang menjalani.

Beginilah curhatan anak korban perceraian yang  ibunya  nikah lagi, meskipun nampaknya mereka baik-baik saja. Semoga  bermanfaat. 

Baca juga:  

*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi

23 komentar untuk "Curhatan Anak Korban Perceraian Ibunya Nikah Lagi, Tampaknya Baik-baik Saja"

  1. Dalam perceraian selalu yang menjadi korbannya adalah sang anak walaupun ekonominya tercukupi tetap sang anak akan menderita karena akan kehilangan kasih sayang orang tuanya entah salah atau dua-duanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mas Hermansyah. Karena kasih sayang orang tua tak bisa diganti dengan materi apa pun. Di sekolah anak2, kadang dibully oleh teman2nya. Terima kasih telah singgah. Doa sejahtera untuk keluarga di sana ya.

      Hapus

  2. Miris saya dengarnya bunda, melihat anak kecil yang seharusnya mendapat kasih sayang dari orang tuanya harus merasakan ketirkehidupan paska orang tuanya nikah lagi , ya tentu si anak psikisnya pasti terganggu si anak yang dulu ceria jadi pendiam gak mahu bicara pada siapapun, dan lain sebagainnya.


    Ya?? Dizaman sekarang tidak laki - laki tidak perempuan kebanyakan memandang orang lain itu sempurna sedangkan memandang suami sendiri terasa bosan , entahlah apa yang ada dipikiran mereka ya bunda ??? Mungkin karena ego, atau karena cinta yang membuat mereka rela menggorbankan buah hatinya demi kebahagiaan dirinya sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat ananda Tari. Padahal, sr
      Ebagian besar orang sekarang berpendidikan minimal lulus SMP. Selamat sore. Doa sejahtera untuk keluarga di sana ya.

      Hapus
  3. teman teman yang ortunya bercerai atau bapaknya punya istri dua, semuanya minder.... bahkan ada yang tidak tamat SMP.....

    Ya, begitulah kehidupan.

    # Terima kasih, karena telah berbagi kisah nyata, bisa jadi pelajaran untuk semua yang membaca.

    BalasHapus
  4. Amin, Mas Tanza. Faktanya memang begitu. Sebagiannya malah ada anaknya yang tidak karuan. Melampiaskan kekesalannya dengan cara yang salah. Terima kasih telah singgah. Selamat istirahat.

    BalasHapus
  5. Asalamualaikum..mengetuk pintu maya ..tersentuh hati membaca melihat anak kecil mangsa cerai..semoga sesiapa yg alami situasi ini sabar dalam hadapi ujiaNya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sobat., Bagaimana kondisinya di Malaysia, tentang kawin cerai ini? Terima kasih telah mengapresiasi. Doa sehat untuk keluarga di sana ya.

      Hapus
  6. Jaman dahulu anak perempuan menikah di usia 15 tahun udah lumrah ya Bu.

    Memang kalo cerai lalu kawin lagi biasanya anak yang jadi korban, tapi kalo misalnya tidak kawin lagi katanya jadi gunjingan orang, tuh ada janda lewat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ditambah lagi jadi bulan-bulanan para istri gede cemburu, Mas Agus. Pokoknya menjadi janda itu tak ada enaknya. Terima kasih telah singgah, Selamat malam.

      Hapus
  7. Balasan
    1. Terima kasih, Cucunda Cantik. Selamat berhari minggu.

      Hapus
  8. Hadir bunda me yimak dah pernah tau rasanya ank kecil2 ditinggal suami meninggal dunia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, ananda mengalaminya? Kalau pernsh, Maaf ananda Nita. Curhatan ini membuat luka lamamu menganga kembali. Selamat siang.

      Hapus
  9. Duhhh ibuuuu, tulisannya bagus-bagus dan bikin mewek, jadi nangis bacanya, membayangkan bagaimana perasaan Bu Nur saat mendengar tangis anak itu, tau banget bagaimana serasa terlempar ke masa lalu yang kurang mengasyikan, dan bikin trauma.

    Salah satu alasan saya berjuang mempertahankan pernikahan ya karena itu Bu, anak-anak.
    Biar kata manusia sedunia bilang, anak-anak nggak butuh orang tua sempurna, tapi butuh ibu yang bahagia.

    Pret lah menurut saya.

    Saya berpikir, gimana kalau ternyata setelah cerai, saya berbahagia sekali karena nemu lelaki yang lebih baik, yang benar-benar mencintai saya, tapi anak-anak nggak suka sama tuh laki.

    Apa anak-anak akan mengerti kalau saya bahagia dengan lelaki itu?
    Preett lagi lah, hahahaha.

    Dalam pikiran saya, itu hanya pikiran egois saya sebagai ibu, di mana kalau saya bahagia anak-anak pasti juga bahagia.

    Padahal kenyataannya.
    Anak-anak tuh butuh ayah dan ibu yang perhatian sama mereka.
    Yang selalu ada buat mereka.

    Ini terbukti dari banyak hal, bahkan ada film Jepang yang diangkat dari kisah nyata berjudul Mother.

    Di situ diceritakan, bagaimana buruknya tingkah si ibu, malas kerja, kerjaannya judi dan pacaran mulu.
    Tapi, dia sama sekali nggak pernah mau dipisahkan dengan anaknya, biar kata hidup menggelandang, anaknya juga tetap diajak.

    Di sisi lain, kayaknya ibu itu egois, tapi di akhir film dijelaskan, bahwa anaknya rela membunuh atau mencuri demi ibunya, sampai masuk penjara.

    Lalu seseorang bertanya kepada anak tersebut.
    mengapa harus mengikuti semua perintah ibunya, sementara ibunya orang yang nggak bener.

    Anaknya menjawab, ibunya mungkin tidak sempurna, tapi dia ibu yang tak pernah meninggalkan anak-anaknya.

    Anak-anak butuh keberadaan orang tua, bukan hanya ortu yang bahagia.

    Kalau ortu atau ibu bahagia, tapi jadi berjarak ke anak, ya sama aja boong.

    Lagian, mau cerai atau enggak, sama aja perjuangannya.
    Sama-sama sulit.

    Jadi, mending milih memperjuangkan pernikahan, demi anak-anak, karena anak-anak pasti bahagia kalau ortunya tetap bersama :)

    Sayapun ketika kecil, ortu suka berantem, bahkan saya kesal sama mama yang ga mau pergi ninggalin bapak.

    Setelah besar saya baru sadar, seandainya mama dan bapak cerai dari dulu, mungkin sekarang saya udah jadi mamak-mamak nggak karuan, yang mungkin cuman tamat SD, karena bisa jadi kedua ortu menikah lagi, terus punya anak lagi, terus kami nggak dihiraukan lagi.

    Dan di kampung ortu saya, banyak banget kejadian kayak gitu, teman-teman saya putus sekolah, lantaran ortunya cerai dan menikah lagi, lalu punya anak lagi.
    Yang ada mereka fokus ke anak baru itu, anak-anak lama, terpaksa dikasih ke neneknya.

    Iya kalau masih punya nenek, kalau enggak ya tetep ditampung tapi dapat perlakuan yang berbeda dengan anak baru ortunya :(

    BalasHapus
  10. Ananda Reeeeyyy ...! Saya mengamini semua komenmu. Apa yang tertulis itu seratus persen betul. Bila ibunya nikah lagi, beranak lagi, menurut perasaan saya, dia benar lebih menyayangi anak yang dengan laki barunya. Wuduh pokoknya anak lama ini ini benar2 tersisih.

    Mau tinggal sama nenek, nenek punya laki baru juga. Beliau jarak 30 tahun di atas saya. Saya dua kali menyaksikan dia melahirkan ha ha .... Untung bapak sambung saya baik.

    Dalam kondisi tersebut saya tumbuh .... Aduuh ... Stop di sini dulu ya. Takut dosa pada almarhumah ibu dan nenek. Terima kasih telah singgah. Selamat malam.

    BalasHapus
  11. Sebagai seorang pengajar, saya mempunyai banyak anak-anak didik yang terpaksa harus menjadi yatim kasih sayang akibat dari perceraian orang tuanya. Sedih mendengarkan penuturan mereka yang rindu dengan kasih sayang orang tua.

    Terima kasih bunda untuk tulisan yang luar biasa ini, membuat saya belajar tentang hal keluarga. Mohon doanya agar keluarga saya pun menjadi keluarga yang utuh seutuhnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin ananda Regen. Semoga perjodohan kalian (termasuk anak2 bunda) kekal abadi sampai ajal menjemput. Bunda merasakan apa yang dialami oleh siswamu yang keluarganya broken hme. Selamat siang. terima kasih tanggapannya.

      Hapus
  12. Aku bersyukur saat cerai dengan mantan suami pertama , kami tidak dikaruniakan anak. Jadi proses cerai gampang. Tapi jujurnya ya Bu, seandainya saat itu aku punya anakpun, aku akan tetep bercerai , Krn walopun bisa memaafkan kesalahan dia (Krn selingkuh), tapi rasa percaya udah hilang samasekali. Percuma kalo nikah nya diterusin. Jadi ada anak atau tidak, aku bakal tetep memilih cerai. Tapi syukurlah kami ga punya anak waktu itu :D.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, ananda Fanny. Kalau punya anak, kasian, fisiologisnya pasti terguncang. Emaknya boleh saja berbahagia, tetapi anak hanya bisa nangis dalam selimut. Mau mengatakan benci pada Emak dan ayah sambungnya, tidak berdaya. Terima kasih telah singgah. Salam sejahterauntuk kita semua..

      Hapus
  13. Terkadang, ada orang yg bercerai. Di bapak sekenanya saja meninggalkan anaknya tanpa biaya. Padahal, itu masih kewajiban sang bapak untuk memberi nafkah yaa bun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak yang begitu, ananda Dodo. Bunda salah satu korbannya. Setelah bunda kerja dan ada gaji, beliau sering datang. Dimarahi sama Emak bunda. He he .... Selamat sore, terima kasih telah singgah.

      Hapus