Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tongkrongan Melayu Kopi Daun Tak Kalah Elegan dengan Gaya Ngopi Modern

Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun (Dokpri)

Sebagian  masyarakat Indonesia, khususnya orang Melayu pasti kenal dengan kopi daun. Yaitu, daun kopi (kawa) diolah menjadi serbuk, kemudian diseduh dengan air hangat  dijadikan minuman segar.

Masyarakat Kerinci  sini meyebutnya “kawo sbuk kupi daun, atau kawo daun”.  Jika dibahasaindonesiakan = kawa serbuk daun kopi,  atau kopi daun. Mungkin masih ada istilah lain. Sebab Bahasa Kerinci punya kekhasan tersendiri. Beda desa, lain bahasa.

Mengapa   Harus Minum Kopi  Daun? 

Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun (Dokpri)

Menurut cerita orang tua-tua, sejak dahulu Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kopi.  Tetapi, kaum penjajah hanya membolehkan pribumi minum daunnya. Sementara  biji kopi   mereka kirim ke negara Belanda.  Maka terciptalah istilah, “Melayu Kupi Daun”.  Orang Belanda minum kopi, orang Melayu minum daunnya.

Versi lain menyebutkan, dahulu nenek moyang orang Melayu minum daun kawo, karena mereka belum mengenal teh. Namun, saya belum menemukan  bukti sejarah yang mengukuhkan kedua  pernyataan tersebut.

Terlepas dari itu, ada fakta mencengangkan di balik nikmatnya minuman kawo sbuk kupi daun. Pada tahun 2014, penelitian di Inggris menemukan bahwa minuman daun kawo lebih sehat ketimbang teh dan biji kopi. Sebab, daun kawa mengandung senyawa yang bermanfaat mengurangi risiko penyakit jantung dan diabetes seperti Antioksidan, (coffeeland.co.id).

Tidak heran, minuman ini tetap eksis di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Melayu Kerinci.

Kumunitas penikmat kopi daun

Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun (Salah satu rumah tua tongkrongan penikmat kopi daun. Dokpri)

Di daerah domisili saya, setidaknya ada  4 desa yang masih kental dengan tradisi minum kawo sbuk kupi daun.

Uniknya, warga setempat menikmatinya dengan cara tak biasa. Mereka bergabung dalam komunitas khusus. Anggotanya  antara 20-40 orang. Bahkan bisa lebih. Usia antara 40  sampai di atas 70-an tahun.

Dalam satu desa terdapat beberapa paguyuban penikmat kopi daun. Anggotanya bapak-bapak. Meskipun emak-emak juga hadir, jumlahnya tidak seberapa.

Setiap pagi, para personelnya  berkumpul   di sebuah rumah yang menyediakan layanan minum kawo. Kegiatan dimulai pukul 07 sampai 08 pagi.  Kehadiran mereka berbeda-beda. Yang datang dan pergi  tidak sekaligus.

Sebelum tamu hadir, tuan rumah terlebih dahulu menyiapkan peralatan yang diperlukan. Mulai wadah berisi air kopi daun, sampai cangkir kosong tempat minum.

Acara digelar di ruang dapur

Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun  (Sayak atau tempurung kelapa. Dokpri)

Uniknya,  Kegiatan  digelar di ruang dapur. Cangkirnya terbuat dari sayak tempurung kelapa. Sebelum dituangkan ke sayak, kopi daun terlebih dahulu diseduh pakai air panas mendidih,  menggunakan wadah tabung bambu.  Tingginya kira-kira 30 cm.  Kemudian ditutup  menggunakan ijuk enau.

Ketika hendak minuman dituangkan ke sayak, yang keluar hanya air kawo berwarna kecoklatan. Ampasnya  tersaring oleh ijuk.

Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun. (Kiri: Minum kopi daun pakai sayak, gaya lama. Kanan: pakai cangkir model terkini) 
 
Suatu pagi saya sempat menyambangi  3 grup penikmat minuman kopi daun di dua desa berbeda. Rupanya, seiring perkembangan zaman, tampilan penyajiannya telah berubah. Dari sebelumnya menggunakana tabung bambu dan sayak,  berganti dengan cerek biasa dan cangkir plastik. Gelar acaranya pun bergeser  ke ruang tamu.

Ketika ditanya khasiat minum kopi daun ini apa. Salah satu anggota menjawab, “Nyandu, Bu. Sehari tak minum, kepala pusing tak karuan, ngantuk-ngantuk, badan terasa berat.”

Agenda lain dibalik acara minum kawo sbuk kopi daun

 
 Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun. (Bapak-bapak anggota komunitas Penikmat Kopi Daun Pondok Indah Desa Tebing Tinggi, kecamatan  Danau Kerinci. Dokpri)

Perjamuan tersebut tidak sekadar menyeruput kopi daun, sambil merokok dan ngobrol bersama. Tetapai setiap malam minggu ada agenda arisan.  

“Nominalnya tidak seberapa, Bu. Yang penting ada kebersamaan dan ukhuwah Islamiah tetap terjalin,” ujar Pak Abu Zar, salah seorang anggota komunitas yang mereka beri nama “Penikmat Kupi  Daun Pondok Indah”.

Acara minum kopi daun sangat meriah ketika bertepatan dengan perayaan hari besar Islam. Seperti Maulid Nabi, Israk Mikraj dan hari istimewa lainnya.

Darmabakti yang tulus dan ikhlas

Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun. (Gelaran tikar menunggu kedatangan tamu. Salah satu tongkrongan komunitas penikmat kopi daun, di Desa Ambai, Kecamatan Sitinjau Laut. Dokpri)

Saya salut kepada tuan rumah. Dengan ikhlas mereka berdarmabakti  melayani tamu. Gratis benar-benar gratis. Mulai menyiapkan tempat, daun kopi sebagai bahan baku, mengolahnya sampai siap seduh, kayu bakar untuk pengeringan dan memasak air panas, cerek, cangkir, sampai ke menyajinya hingga siap minum. Plus mencuci peralatan pasca kegiatan.

Bukan setahun dua tahun. Ada yang turun temurun. Setelah nenek atau kakeknya meninggal, amal bakti tersebut diteruskan oleh anak cucunya.

Proses Pengolahan Kawo Sbuk Kupi Daun

Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun (Kiri: daun kopi basah. Kanan:  Daun kopi sudah diproses. Dokpri)  

Ada dua versi dalam pengolahan daun kopi sampai menjadi minuman segar.

Versi  pertama, daun kopi yang tua dikeringkan dengan cara didiang di atas para. Jarak para dan api tungku disesuaikan dengan kebutuhan (tingginya  kurang lebih 150-200 cm).

Beberapa hari  kemudian  daun kopi itu kering.  Selanjutnya didiang ulang di atas bara kayu bakar, dengan jarak  api dan material kira-kira 30 cm. Setelah garing, diremas hingga mengasilkan bubuk halus seperti teh. Kawo daun siap diseduh.

Ilustrasi Tongkrongan Melayu Kopi Daun. (dapur nenek-nenek. Tampak di bagaian atas daun kopi kering bergelayutan. Dokpri)

Untuk pendiangan ulang diperlukan kesabaran, ketelitian,  dan ketelatenan. Kalau kurang hati-hati, sekali sunu, daun kopi bisa hangus menjadi abu.

Versi ke dua, sama seperti  kiat ke 1. Bedanya, sebelum pendiangan terakkhir, daun kopi dijemur pada terik matahari sampai kering.

Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Versi 1, Pengerjaannya relatif mudah. Setelah ditaruh di lantai para, sambil memasak dia kering sendiri. Tetapi masa pengeringannya agak lama.

Sedangkan versi 2, cukup dijemur satu hari dari pagi sampai sore.  Daun kopi siap didiang sampai garing. Konon rasanya kurang gurih karena tak ada aroma asapnya. Gaweannya pun sedikit ribet. Kalau hujan mendadak turun, diangkat dan besoknya dijemur lagi.

Bagaimana, heboh bukan? Tertarik? Kutunggu kalian di Pinggir Danau Kerinci. 

Baca juga:  

****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
Kerinci, Jambi

Catatan: 

Artikel ini telah tayang di Kompasiana tanggal 17/10/2019, dengan judul, Gaya Ngopi Melayu Kopi Daun tak Kalah Keren dengan Ngopi Masa Kini.

19 komentar untuk "Tongkrongan Melayu Kopi Daun Tak Kalah Elegan dengan Gaya Ngopi Modern"

  1. oh.... asik kayaknya.....
    bisa dicoba nanti... hehehe
    😁👌👍

    Informatif.... Thank you for sharing...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh, Mas Tanza. He he ... Terima kasih tanggapannya. Selamat pagi dari tanah air.

      Hapus
  2. Kopi desa sememangnya tip top! Harumannya juga asyikkkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tos, sahabat azmer. Terima kasih telah singgah. Selamat pagi dari seberang.

      Hapus
  3. Uniknya kopi daun ni
    Ngak pernah ngerasin lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ke Indonesia sini, Wak. Banyak toko minuman kopi daun.

      Hapus
  4. Asalam Cik Nur, warisan dan budaya lama masih tetap diamalkan, kini dalam versi moden kena ingat dan memandang adanya budaya dahulu..hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sobatku Etuza. Apakah di sana juga punya budaya minum kopi daun? Terima kasih telah singgah. Salam sehat dari jauh.

      Hapus
  5. Tradisi yang harus dilestarikan ya Bu , soalnya itu memupuk kebersamaan. Salut buat tuan rumah yang ikhlas melayani mereka yang minum daun kopi.😃

    BalasHapus
    Balasan
    1. Fsktanys begitu, Mas Agus. Alhamdulillah, di desa2 tradisi lama masih terjaga.selamat malam, terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
  6. Nyesek ya bunda orang pribumi hany minum daunnya sedangkan bijinya malah dikirim ke Belanda, benar2 terjajah.

    Tradisi ini bagus untuk dilestarikan bunda, agar selalu terjalin kebersamaan, mengingat hal seperti ini tidak mungkin terjadi di kota.

    Skrg minumnya sudah pakai cangkir plastik karena cari tempurung kelapa sudah makin susah hahha, aku masih punya 1 loh, cangkir dari tempurung kelapa, dulu beli waktu ke Jogja, tiap pagi buat ngopi pak suami.

    BalasHapus
    Balasan

    1. Benar2 terjajah ya, ananda Ursula. Syukur kita hidup di zaman kemerdekaan.

      Alhamdulillah, di desa kami tradisi ngumpul bersama dengan nuansa kekeluargaan masih tetap terawat.

      Kalau ada dijual bunda juga mau beli tempurung kelapanya, ananda Ursula. Padahal, kalau mau, bikinnya juga bisa. He he .... Tapi tempurungnya harus yang pilihan. Selamat malam. Terima kasih telah singgah.

      Hapus
  7. Adem banget melihatnya ya, Bu Nur 😄. Guyub rukun gitu. Sayang sekali di tempat saya tinggal nggak ada acara dengan nuansa kekeluargaan yang kental seperti ini. 😔

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, kekeluargaan masih terawat, ananda Roem. Manyambut lebaran, malah ada kelokmpok motong sapi bersama. Dalam satu desa ada puluhan kelompok.

      Hapus
    2. Ini menarik sekali, Bu Nur. Pasti tambah rame nih, suasana lebarannya. Makan besar menu sapi ramai-ramai. 😆

      Hapus
  8. Penasaran sama rasanya, Bu Haji

    Apakah sama rasa dan wanginya dengan kopi biji?

    Semoga bisa mengunjungi Danau Kerinci 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagi lidah kita yang belum familiar, rasanya agak maung menyengat, karena telah jadi tradisi, mungkin enaknya lebih pada kebersamaannya. Selamat pagi ananda Pipit.

      Hapus
  9. Wuiiiiihh baru tau saya Bu, kalau daun kopi ternyata diminum juga dan malah lebih sehat.
    Kasian banget para penjajah dulu, niatnya ambil yang bagus, yang nggak kepake dikasih masyarakat, eh malah yang dikasih itu dapat yang lebih sehat :D

    Saya jadi mengira-ngira juga, kayak apa ya rasanya, apa seperti teh?
    Atau kayak aroma kopi?

    Zaman sekarang tuh penelitian membuat banyak tanaman terungkap kalau ternyata banyak dedaunan yang bisa dikonsumsi dan malah sehat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beruntung kita yang hidup di zaman kemerdekaan. Mau minum kopi, teh, atau apapun yang sesuai selera, tiada aturan yang melarang ya, ananda Rey.

      Bagi kita yang tak terbiasa, kopi daun itu tak ada enaknya. Aromanya menyengat. Kaya daun kopi. Mungkin yang enak itu wangi tradisionalnya. Terima kasih telah singgah. Doa sehat untuk cucu2 di sana.

      Hapus