Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ada Apa di Bumi Sumatera?

Traveling 

Ilustrasi Ada Apa di Bumi Sumatera? (Salah satu kebun kelapa sawit di daerah Sumut)
 
Tema ini saya angkat tergelitik oleh pemandangan  selama  6 hari pengembaraan naik mobil ikut si  sulung jalan-jalan. Ingin tahu ada apa di bumi Sumatera? Ikuti ulasan berikut!

1. Bak gula dikerubungi semut

Pulau Sumatera  itu, waaahhh ... banget.  Mulai  meninggalkan kota Jambi sampai ke Medan  sedikit sekali ditemui  lahan kosong.  Selain pemukiman penduduk kulit buminya  diselimuti  tanaman sawit, ada juga tanaman karet meskipun kalah banyak dibandingkan pohon sawit. 

Ilustrasi Ada Apa di Bumi Sumatera? (Perkebunan karet di Tebing Tinggi Sumut) 

Barangkali salah satu pulau terluas di Indonesia ini boleh dikatakan  seperti gula dikerubungi semut.

2. Dahulu jalan bertimbun minyak mentah

Tahun 76-78, saya sering mundar mandir Kerinci Dumai.  Sebab suami saya bekerja di Dumai. Zaman itu, dari Pekanbaru ke Dumai jalannya belum diaspal. Hanya disiram pakai minyak mentah. Apakah limbahnya atau minyak benaran, Allahu alam bish shawab.

Musim panas  bus  bisa melaju dengan kecepatan tinggi, saat hujan jalannya licin. Ban mobil dikasih rantai. Tak tahu pemasangan rantainya seperti apa.  Sebab hal itu gawean kernet dan Pak Sopir. Penumpang duduk manis dalam mobil.


Ilustrasi Ada Apa di Bumi Sumatera? (Jalan tol Pekanbaru-Dumai)
 

Saya masih ingat, suatu ketika ada penumpang ibu dan anak cowok perantau kelahiran Malaysia, yang mendarat di Dumai. Mereka  pulang ke kampung halamannya Bukit Tinggi.

Malam itu hujan turun sangat lebat. Jalan licin. Sungguh perjalanan yang mengerikan. Walaupun roda sudah dipasang rantai, sesekali kendaraaan tetap terseok-seok, seakan nyaris terbalik.

Anak si perantau tadi ngamuk-ngamuk. “Orang Indonesia ini bodoh sangat. Minyak itu harusnya dijual belikan aspal. Bukan disiram ke jalan," katanya.

3. Kiri kanan jalan berawa-rawa dan ditumbuhi rumput liar

Tidak hanya jalannya yang belum diaspal dan licin. Kiri kanan jalan Pekan baru–Dumai  kala itu masih rawa-rawa ditumbuhi rerumputan liar dan ladang nanas. Melewati jalan tersebut, yang terbayang di benak  saya, rawa-rawa itu mungkin banyak ikannya. he he ... 

Maklum, semasa di kampung saya dan rekan kecil sepermainan  hobi  menangguk ikan di rawa. Ets ... jangan disangka saya suka makan ikannya. Saya hanyan senang menangkapnya. Tak heran kulit saya hitam kasar kayak kulit biawak. He he ....

4. Monopoli perusahaan besar

Oh, ya tadi bahasannya  masalah bumi Sumatera ya. Kini Pekanbaru Dumai dan sebaliknya sudah punya jalan tol. Kiri kanannya dipenuhi tanaman sawit, luasnya sayup mata mamandang, seakan bersentuhan dengan kaki langit.  Sangat elok dipandang mata.

Seperti di daerah lainnya, sebagian besar perkebunan tersebut  dimonopoli oleh perusahaan besar. Terutama area di sekitar jalan tol. Ukuran pohonnya relatif sama. Umumnya masih remaja alias belum produktif. 

Ilustrasi Ada Apa di Bumi Sumatera? (Jalan tol  Pekanbaru-Dumai)

Menurut salah satu warga Dumai, jalan lama (non tol) sampai sekarang masih beroperasi. Terutama dikhususkan buat pengendara motor.Meskipun kodisinya memprihatinkan. 

Tentu masalah tersebut memengaruhi waktu tempuh, yang mencapai  6  jam. Bandingkan via tol yang bisa tembus  2,5  jam setengah.

5. Laksana si mentimun bungkuk

Yang menarik selama dalam perjalanan, saya pernah  ketemu  merek lahan sawit milik grup Aburizal Bakri.  Tetapi posisinya saya tak ingat lagi. Maklum, tidak ada penanda nama daerahnya. Yang jelas posisi gerbangnya di pinggir jalan daerah Sumatera Utara. Dalam hati saya berbisik cemburu, “Uuh ..., orang kaya bertambah kaya. Si miskin  makin melarat.” 

“Sudah nasib orang tak punya modal.  Tidak masuk hitungan, kayak timun bungkuk, cuman  sebagai pelengkap penderita. Termasuk saya, keluarga,  dan sebagian adik-adik saya di kampung sana.” Umputan yang gila.

6. Fakta yang tak bisa dibantah

Ilustrasi Ada Apa di Bumi Sumatera? (Kebun sawit di samping kanan jalan tol Pekanbaru-Dumai)

Habis mau diapakan lagi. Ini fakta tak bisa dibantah. Tanpa itu, area tersebut hanya hutan blantara. Sama seperti di kampung saya. Sebelum  adanya PT Inkasi Raya, penduduk asli tidak kenal bagaimana bentuknya sawit.

Kesimpulan dan Penutup

Berkat kehadiran perusahaan besar tersebut masyarakat sudah pandai  mencontoh bagaimana memanfaatkan tanahnya, yang dahulu nganggur kini menjadi  produktif.  Meskipun tidak seluruhnya menikmati langsung, karena tidak semua warga mempunyai lahan sendiri. Minimal keciprat anginnya, jadi karyawan atau buruhnya.

Coba sebelum hutannya dibuka, jika ada rakyat bekerja  menebang pohon di rimba raya, siapa  yang bayar, coba. Paling ditangkap polisi karena dituding merusak hutan.

Udah, cukup  sebatas ini jawaban atas pertanyaan ada apa di bumi Sumatera.  lain kesempatan disambung lagi. Semoga bermanfaat. 

 Baca juga:  

 *****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi

 

12 komentar untuk "Ada Apa di Bumi Sumatera?"

  1. Itulah kehidupan Bu, yang kaya makin kaya dengan bisnis sawit, apalagi harga minyak goreng lagi melonjak tinggi, padahal Indonesia itu penghasil minyak sawit terbesar di dunia bahkan eksportir nomor satu dunia, tapi kenapa minyak goreng dalam negeri di jual dengan harga pasaran dunia?

    Tentu saja agar makin kaya pemiliknya. Masa bodoh amat dengan rakyat kecil yang menjerit.

    Sedangkan yang miskin, udah terjepit kebutuhan hidup, kerja di pabrik juga gajinya dipermainkan. UMR Banten 4,2 juta, tapi daerah saya kebanyakan gajinya cuma 3 juta, ada juga yang 2 juta bahkan 1,5 juta.

    Maaf kalo komentarnya mungkin kurang nyambung Bu.🙏🙏🙏

    BalasHapus
  2. Sepakat, Mas Agus. Saya sudah nulis masalah minyak goreng. Tetapi di sisi mutunya yang jelek terasa di lidah. Rencana mau tayang di kompasiana, tapi takut produsennya tersinggung. Ntar saya dituding melanggar ITE. Maklum, konflik dengan orang besar pasti kita yang kalah. Meskipun sepuluh ribu kali kebenaran kita nyata. Tentu kita masih ingat kasus Mbak Prita beberapa tahun lalu, yang mengeluhkan malpraktik terhadap anaknya yang sampai buta. Malah dia yang dihukum dan dipenjara. Brand minyaknya tidak ditulis.

    Nyambung banget, Mas Agus. Di kolom komentar ini kita berdiskusi dan curhat.

    Bagaimana menurut Mas Agus kalau artikel itu publish di blog pribadi atau kompasiana. terima kasih. Ditunggu sarannya.

    BalasHapus
  3. Wah sama dengan di kalimantan bu. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan kebun sawit yang rasany sudah jadi penguasa di lahan. Pohon-pohon besar dan hutan makin ciut, luas dan nyalinya. Jadi sedih.

    Dilema sih, saat kita berusaha mempertahankan kelestarian alam demia keseimbangan, namun dalih ekonomi jadi alasan untuk membantai hutan dan pohon pohon.

    Salam bu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak hanya hutan yang dibantai, caranya pun sangat keji, dengan membakar sekehendak hatinya, hingga memusnahkan semua makhluk yang ada di dalamnya. Harus bagaimana lagi. Satu sisi sawit dapat meningkatkan kesejahteraan sekelompok masyarakat, di sisi lain lingkungan hutan kita jadi musnah. Terima kasih telah mengapresiasi, ananda Supriyadi. Selamat malam.

      Hapus
  4. Begitu lah Bu, bahkan kebun sawitnya nggak hanya sekitaran jalan utama aja, sampe ke plosok-plosok desa di Sumatera Utara loh. Jadi yang nikmatinya ya mereka doang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he .... Kita kebagian harga minyak gorengnya selangit, Mas Rudi. Begitulah nasib, terpagar kelapa condong, buahnya jatuh ke kebun orang.

      Hapus
  5. Balasan
    1. Rawa2 = tanah berpaya, silakan buka kamus, Say. Terima kasih telah singgah. Selamat malam.

      Hapus
  6. Terakhir road trip di Sumatra THN 2018. Aku selalu seneng kalo road trip Sumatra, Krn jalannya ga seramai tol Jawa 😄. Apalagi skr banyak tol yg bikin perjalanan makin cepet ya Bu. Pengen banget bisa mudik lagi ke Medan. Kelapa sawit ini dilema memang. Di satu sisi buka lapangan kerja dan menaikkan ekonomi, tapi di sisi lain dia juga merusak alam. Kalo masalah harga minyak goreng naik tinggi, ga ngerti lah. Yg pasti, sejak harganya naik, aku ga bikin menu gorengan lagi Bu. Yg rebus, kukus atau tumis aja pake mentega 😄. Malah lebih sehat .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, ananda, tol sumatera tidak seramai tol jawa. Anak bunda tuh gantian nyetir ma suaminya. Tali kalau tipe pengantuk berbahaya lewat tol. Karena laju mobil tanpa tantangan. Ngeri juga. Apa lagi kalau satu mobil itu semua penumpangnya satu keluarga.

      Tentang harga minyak goreng yang digoreng produsen dalam hal ini pengusaha kaya, sungguh memprihatikan.

      Nah itu dia hikmah terselubung di balik naiknya harga minyak. Bisa mengubah gaya hidup jadi lebih sehat. Selamat sore ananda. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
  7. Rangkuman cerita tentang Sumatera yang detail Bu Nur. Saya juga pernah bekerja di daerah Bengkulu sekitar 14 tahun dan berpindah ke Kalimantan hingga sekarang. Di kesimpulan Bu Nur, masuknya investor ada baiknya juga untuk meningkatkan pengetahuan dan perekonomian masyarakat, bagi yang kreatif dan bisa memanfaatkan jaringan transportasi yang terbuka dan jalur tata niaga barang barang kebutuhan yang bisa membuka lapangan kerja. Terima kasih atas rangkuman yang informatif dan salam sehat untuk Bu Nur yang luar biasa semangatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar-benar mengubah kehidupan masyarakat, Pak Eko. Ada yang dahulu dia bukan siapa2 kini jadi orang kaya. Tinggal bagaimana kita menyikapanya. terima kasih telah mengapresiasi selamat pagi.

      Hapus