Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pentigraf | Dampak Kekhilafan

Pentigraf | Dampak Kekhilafan

Khilaf  itu bisa terjadi kapan dan dimana saja. Hingga memunculkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain. 

Kadang-kadang,  rasanya kita sudah berhati-hati dalam bertindak.  Namun alpa mengontrol lidah,  jadinya salah ucap.  Dampaknya, pihak lain tersinggung. Timbul gesekan terus berkembang menjadi konflik besar. 

Sekadar pengingat, berikut  disajikan 2 Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf), tentang dampak kekhilafan, yang dirakit dalam kisah fiktif. 

 Gagal Pamer 

Ilustrasi: Pentigraf | Dampak Sebuah Kekhilafan 
 
Sejak punya anak 3, aku kurang care untuk kondangan. Tapi hari itu  suamiku  minta aku mendampinginya dengan tampilan yang lumayan wah.  Dia sengaja membelikan pakaian serba baru untuk aku dan dirinya. Motif dan warnanya senada. Katanya demi memeriahkan hari pernikahan putri  Pak Pratama seniornya. 

Pukul 11.30 kami sampai di gedung N.  Usai menandatangani buku tamu,  panitia menyilakan kami mengambil menu kesukaan masing-masing.  Suamiku memilih posisi duduk yang relatif jauh dari singasana pengantin.  Belum separo kami bersantap, aku berbisik ke telinga suamiku, “Dari tadi lagunya Minang terus ya, Pa. Tak ada lagu Kerincinya.”  Doi menjawab. “Lhoh, besannya Pak Pratama kan orang Padang.  “Marni si mantanmu juga gak keliatan batang hudungnya. Mosok pernikahan keponakan sendiri dia tidak hadir. Gagal dong,  kamu pamer istri cantikmu  ini ke Marni dan suaminya.  Pria berkumis itu tersipu kaku. 

Dikala  musik sejenak terjeda, aku bertanya pada tamu sebelah, “Mbak! Pengantin wanitanya anak Pak Pratama, ya?”  Wanita bergebaya itu menjawab, “Bukan. Putri Pak Burhan, orang Padang.”  Mendadak gigi kami setop mengunyah.  Aku dan suamiku saling pandang dalam kebingungan.  Aku cek undangan dalam tas tangan milikku. Ternyata acara Pak Pratama besok, Hari Minggu di gedung yang sama. Untuk mengambil amplop yang sudah  dijoblos ke kotak uang  tidak mungkin. Saat itu juga aku dan suamiku meninggalkan tekape.  Sampai di luar kami tertawa terkekeh-kekeh. ****
 

Seenak Dengkul

Ilustrasi: Pentigraf | Dampak Sebuah Kekhilafan 
 
Sejak merebaknya covid  19 varian omicron, Bu Rena jarang ke pasar tradisional. Untuk keperluan harian, dia belanja di warung sekitar rumahnya saja.  Risikonya  lauk dan sayuran yang  dibeli itu ke itu saja. Menu makanan  kurang bervariasi. 

Awal bulan lalu,  Bu Rena diajak Ibu Lis  belanja di pasar. Katanya sekalian ganti  pemandangan. “Yang penting kita tetap pakai  masker,” kata Bu Lis. “Mana tahu ada sayuran  atau lauk yang menarik selera.”  Sepanjang jalan  kedua perempuan bertetangga itu bercerita timur dan barat. Maklum sudah lama tidak jalan bersama. Ketemu,  menyapa sekadarnya saja. Obrolan ibu-ibu muda itu berlanjut sampai  di depan pedagang cabe. Dan merembet ke  zaman sekolah belasan tahun lalu. Saat hidup susah tinggal di tempat ibu kost cerwetnya selangit se bumi.  “Sekarang wanita asal KM itu udah bangkrut. Jadi pedagang syuran keliling  pakai sepeda. Makanya jadi orang jangan kasar. Orang KM itu semuanya sombong,”  kata Bu Rena.

Sontak, wanita jumbo di depan mereka naik pitam. “Apa katamu? Kau bilang orang kampung saya sombong? Jaga mulut busukmu. Kamu tuh yang sombong.  Menghakimi orang seenak  dengkul.  Kamu ini siapa? Ntar  saya sumbat mulutmu pakai cabe ini. Mau?” racaunya sambil menunjuk ke baskom  berisi cabe giling dagangannya.  Bu  Lis salah tingkah. Sigap dia memegang tangan temannya itu, terus mengajaknya menjauh. Tubuh Bu Rena gemetar ketakutan.  

Baca juga:

*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi

Sumber Ilustrasi: Dokpri

12 komentar untuk "Pentigraf | Dampak Kekhilafan "

  1. keren cerpennya.... hanya tiga paragraf...
    enak dibaca.... 👍👍👍

    BalasHapus
  2. Hehehe ada wanita jumbo ya 😁😁😁

    Hehehe sama nek aku juga pernah salah masuk tempat pesta 😁😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha ha ..... Karena terlalu antusias, lupa memperhatikan tanggal. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat sore, cucunda.

      Hapus
  3. yang pertama tu kelakar. yang kedua tu 'seram'. teringat pepatah melayu " cakap siang, pandang-pandang."

    BalasHapus
  4. Setuju, ananda Sal. Cakap siang, pandang-pandang, cakap malam dengar2." he he ..... Terima kasih pribahasanya.

    BalasHapus
  5. Bunda maaf aku mau ketawa dulu, gimana ceritanya salah datang ke hajatan orang hahaha, duh sayang banget kalau isi amplopnya gede, karna salah alamat wkkwkw, lucu banget, sangat menghibur, makasih bunda

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he .... Gara2 salah niat. Mau pamer istri sama mantan. Di dunia ini semus bisa terjadi ya, ananda. Terima kasih telah mengapresiasi. Salam hangat untuk keluarga di sana.

      Hapus