Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ada Apa dengan Penyandang Status ODGJ

Ilustrasi ODGJ (dokpri)

Kalau ada orang bertanya, “Siapakah insan yang paling berbahagia di muka bumi ini?” Mungkin jawabnya adalah, “Orang sakit jiwa.”

Mereka tak banyak pikiran. Tidak pengen punya pacar  atau isteri cantik/suami ganteng,  tidak ada  kenginan untuk punya rumah, punya mobil, dan segala hasrat yang bersifat duniawi lainnya. Di otaknya hanya ada dua. Makan apabila lapar dan tidur ketika mengantuk. 

Tidak heran, kaum ini jarang sakit karena  jauh dari strees. Bahkan ada yang tiga puluh tahun lebih berkeliaran dengan kedekilannya, raganya masih sehat. Padahal, mereka tak mengenal kebersihan. Baik pakaian, maupun makanan. 

Argumen di atas bukan tanpa alasan. Salah satu kepala dokter rumah sakit paling penting yang tidak disebutkan namanya mengatakan, “Jika saja saya bisa mengusir kegilaannya saya tidak akan melakukannya. Dia (pasien) jauh lebih bahagia dalam kondisinya sekarang, jika dibandingkan dengan kenyataan hidupnya yang sebenarnya.” 

Dokter yang berpengetahuan tinggi di bidang penyakit mental  itu menambahkan, “Sebagai suatu kelompok, orang gila lebih berbahagia daripada Anda dan saya. Banyak mereka yang menikmati kegilaannya. Mengapa tidak? ... Dalam dunia hayal , mereka telah berhasil menciptakan perasaan penting yang amat dirindukannya  dalam dunia nyata yang telah mereka tinggalkan.” (Dale Carnegie).

Saya tidak mengupas kontek ini lebih mendalam. Takutnya salah ulas. Tetapi hanya ingin berbagi pengalaman tentang fenomena unik yang pernah saya lihat dan dengar tentang konsep orang dengan gangguan jiwa,  yang akhir-akhir ini dikenal dengan singkatan ODGJ. Ikuti  3 kisah berikut!

1. ODGJ masih mampu mengingat nama seseorang

45  tahun lalu Saya punya kenalan seorang gadis cantik, siswa SMP, sebutkan namanya A. Dia  sering berinteraksi dengan saya dalam banyak hal. Sebab, selain  berteman dengan adik ipar saya  A adalah salah satu pelanggan saya menjahit pakaian, dan memotong rambut . 

Belum lulus SMP dia menghilang. Terdengar kabar bahwa  dia menderita gangguan jiwa. Dua puluh tahun kemudian saya bertemu dia  di kediaman orangtuanya di desa K. Saat itu saya sedang di dalam Angkutan Desa. Kebetulan ada penumpang  turun  di depan rumahnya. Dia tersenyum, “ Eh ...,  Ibuk Nur,” ujarnya.  

Saya kaget. Orang yang mengalami gangguan ingatan ternyata masih mampu mengingat nama saya. Padahal telah puluhan tahun saya dan dia tiada berjumpa. 

Kondisinya  memprihatinkan. Pakaian, rambut, dan badannya kumal.Tersiar cerita dari mulut ke telinga bahwa, dia sering keluar rumah untuk beberapa hari tanpa tujuan yang jelas.  Tak lama kemudian, saya dapat kabar bahwa  A telah meninggal dunia.

2. ODGJ masih punya cinta dan kasih sayang

Pemandangan lain yang tak kalah menarik,  awal tahun 2000-an ada ODGJ ibu dan anak gadisnya.  Keduanya biasa mundar mandir di ibu kota kabupaten X. Tingkat keparahannya sama-sama level akut. 

Jika si ibu beroleh rezki,  dia berbagi kepada anaknya. Meskipun keduanya saling diam, tidak terlibat percakapan seperti orang normal.  Saya berdecak kagum. Begitu mulianya hati seorang ibu. Dalam kondisi sakit jiwa pun masih tersisa rasa cinta dan kasih sayang untuk dicurahkan kepada buah hatinya. 

3. ODGJ  juga butuh teman

Rekan kerja saya punya kisah lain. Dia tinggal di kawasan kota yang padat penduduk. Di samping rumahnya terdapat sebuah bangkai mobil. Ketika senja bersamaan Maghrib, dia sering melihat  perempuan muda pengidap ODGJ membawa kardus masuk ke bangkai mobil tersebut. 

Tak lama kemudian menyusul seorang pria, terus  menyusup  dan mengendap di te ka pe. Si cowok  juga pengidap penyakit yang sama. Kondisinya, maaf, sama-sama kumal dan super jorok. “Saya berpikir positif saja. Mungkin mereka pasangan suami isteri,” jelas rekan kerja saya tadi.  

Mencermati  tiga kisah di atas, selaku orang awam saya berpikir, andaikan mendapat penanganan serius, para penyandang ODGJ itu ada harapan bisa sembuh. Meskipun mereka  telah menggelandang masih tersisa sedikit kewarasan. 

Buktinya,   mereka masih mampu mengingat nama kenalannya, menyayangi anaknya, dan mencari tempat aman buat istirahat dan membutuhkan rasa saling melindungi antar lawan jenis. 

Sayangnya, mungkin karena keterbatasan ekonomi, ditambah belum maksimumnya campur tangan lembaga terkait,  kebanyakan pihak keluarga memilih jalan aman. Apabila mengganggu lingkungan, si penderita diisolasi dengan cara yang kurang manusiawi.  Kalau aman-aman saja,  mereka dibiarkan berkeliaran semaunya. 

Mirisnya, jika individunya perempuan muda rentan terhadap kekerasan seksual oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Penutup

Percaya atau tidak, pengidap ODGJ itu tak pernah bermimpi  hilang kewarasan. Tetapi  Tuhan telah mentakdirnya mau bagaimana lagi. Oleh sebab itu, selaku umat beragama mari jadikan diri masing-masing sebagai pribadi yang pandai bersyukur  agar kesehatan jasmani dan rohani kita tetap terjaga.  Sekian dan terima kasih. 

Baca juga:  

****
Referensi:  

-    Bagaimana Menikmati Hidup dan Mengatur Pekerjaan Anda, Dale Carnegi, Pioner Jaya, Bandung, tanpa tahun.AAA

Catatan : Artikeli ini sudah tayang di Kopasiana dengan judul: Tiga Kisah Unik Penderita Gangguan Jiwa yang Patut Direnungkan, 25 November 2018.

29 komentar untuk " Ada Apa dengan Penyandang Status ODGJ "

  1. Unik juga kisah odgj ya bund,ternyata menurut dokter saja mereka lebih bahagia dari kehidupan orang normal pada umumnya yang rentan stress, tapi mereka juga tetap punya kasih sayang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ananda. Dikala itulah kita terharu. Betaoa kasih ibu itu dangat mulia. Walaupun hal serupa mungkin tidak dilakukan oleh odgj.

      Hapus
  2. No lo sé pero esas personas tambien están atormentadas por sus demonios o eso creo. Te mando un beso.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tal vez sea así, Lexander. Gracias por la apreciación

      Hapus
  3. Negara perlu hadir membantu mereka. Sudah ada Undang-Undang perlindungan bagi penderita ODGJ.

    https://www.ipkindonesia.or.id/media/2017/12/uu-no-18-th-2014-ttg-kesehatan-jiwa.pdf

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagaimanapun, yang paling penting tuh peran keluarga. Kadang, pemerintah hadir, sekadar membawanya ke rsj. Terima kasih apresiasinya, Mas.

      Hapus
    2. Jika sudah bicara negara dan Undang-undang sudah pasti tidak lepas dari masalah ekonomi makro, yang sudah kita tahu sendiri, sebenarnya fokus utama pemerintahan sekarang itu bukan kepada kesejahteraan dan kebahagiaan tapi ke penstabilan ekonomi, karena target menjadi negara maju. (Change my mind :D )

      Hapus
    3. Setuju, Mas Elfan. Kalau ekonomi sudah sengkarut, terutama urusan ekonomi pribadi, orang waras pun bisa gila. He he... Selamat malam, Terima kasih telah berpartisipasi.

      Hapus
  4. Setelah membaca tentang ODGJ ini, saya suka dan sangat setuju dengan paragraf akhir..."selaku umat beragama mari jadikan diri masing-masing sebagai pribadi yang pandai bersyukur"
    Betul Mbak, dengan keadaan normal kita, kita sering lupa untuk bersyukur.
    Terima kasih Mbak sudah mengingatkan.

    Salam,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali, Mas Asa. Sebab yang salah satu pencetusnya, stres, depresi, terus gila. karena harapan dan keinginan tidak sesuai de.ngan kenyataan. Sementara nafsu tak bisa terkendali.

      Hapus
  5. Memang bener ya, ODGJ ini orang yang hampir nggak pernah keliatan sakit karena nggak punya beban hidup

    Btw, saya sebenernya agak trauma sama ODGJ karena sempet punya pengalaman nggak enak. Lagi santai naik motor di jalan tau2 motornya dilempar batu kenceng banget, kena kakinya istri.

    Sejak saat itu saya selalu beranggapan, kalau ada ODGJ mesti ati2, soalnya perilakunya sulit ditebak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, ngeri juga tuh. Pak Edilot. Sesuai istilah orangkampung kami, ada seribu sati tipe orang gila. Mungkin yang melemparmotor Pak Edot itu tipe suka ngamuk. Yang berani begal payudara cewek juga ada. Hehe ... Intinya kalau ketemu orang gila crpat2lah menghindar.

      Hapus
  6. ODGJ tidak kena pasal hukum juga melakukan kesalahan, entah itu hukum agama atau hukum negara
    Pandai bersyukur atas diberikannya kesehatan jiwa dan badan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, ananda. Makanya kita yang waras jangan sok berani mendekat ke mereka. Begitu tampak dia dari jauh, degeralah menghindar, demi keselamatan kita.

      Hapus
    2. Untuk yang paham hukum, pasal ini juga bisa dimanfaatkan oleh orang yang sehat biar bebas dari jeratan hukum.

      Hapus
    3. He he.... Jadi ingat cerita tki ilegal di Malaysia tanpa dokumen. Saat ditangkap polisi Malaysia dia pura2 gila. Biar bebas dari jeratan hukum.

      Hapus
  7. Betul, ananda. Makanya kita yang waras jangan sok berani mendekat ke mereka. Segeralah menghindar jika kebetulan tampak mereka dari jauh.

    BalasHapus
  8. kalo di tempat saya ada seseorang yang otaknya agak lain, walopun ga separah seperti di atas, dan juga ga sampai disebut ODGJ, tapi saya tahu betul bahwa orang tersebut punya kelainan. dia punya istri, punya pekerjaan, seperti halnya orang normal. sesekali dia nongkrong di warung kopi, namun yang aku tangkap adalah bahwa dia memang butuh teman ngobrol. ya mungkin karena keterbatasan dia dalam berkomunikasi membuat dia kesulitan mencari teman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kasian ya, Mas Intan. Seharusnya orang terdekat, sanak keluarga mengerti kondisinya. Dia hingga dia bisa hidup normal dan berkomunikasi dengan baik. terima kasih informasi tambahannya Mas Selamat malam.

      Hapus
    2. orang orang yang punya kelainan biasanya selalu dianggap remeh, padahal mereka juga tau kalo sedang diremehin atau dikerjain, kasian kalo diceritain mah

      Hapus
    3. Ini yang disayangkan. Orang waras saja bisa gila kalau sepanjang hari dia dibully.

      Hapus
  9. oh, begitu..... informatif....
    thank you for sharing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali, Mas Tanza. Selamat malam dari tanah air.

      Hapus
  10. Memandang dan memahami ODGJ seperti ini memang penting sekali. Makasih ya, Mbak, telah mencerahkan soal ini. Semoga sehat selalu. Salam dari Jogja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2, Mas Muhaimin. Terima kasih juga telah singgah. Doa sehat uang keluarga di sana.

      Hapus
  11. Memang betul...orang gila itu bahagia sebab itu ada hospital di Malaysia dinamakan sebagai Hospital Bahagia..mereka juga tidak wajib solat dan atas rahmat Allah bisa masuk syurga tanpa hisab

    BalasHapus
    Balasan
    1. Subhanallah. Tak disangka di Sana ada RSJ bernama RS bahagia. Terima kasih apresiasinya. Selamat malam dari negeri seberang

      Hapus
  12. Benar bundaaa. Duluuu tetangga saya di aceh ada yg sakit mental. Orang2 pada bilang gila. Tapi orangnya bersiiiih, krn memang dia tinggal dengan keluarga abangnya, dan sangat diperhatikan. Kalo sedang kluar, tingkahnya cuek aja, ga kenal ama tetangga. Tapi kalo kumat, dia mau marah2 sendiri. Itu yg bikin kami takut😅

    Cuma ya itu, bersyukurnya dia ada keluarga yg sangaaat menjaga dia. Jadi penampilan pun ga kliatan dekil.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rupanya orang gila kalau tidak diurus tak bakalan sembuh. Orang waras saja kalau membiarkan dirinya kusut pasti jadi gila. Hehe ...

      Yang kita takuti jika dia ngamuk. Untuk itu kita perlu hati kalau kebetulan ketemu segeralah menjauh. terima kasih apresiasinya, ananda. Selamat malam.

      Hapus