Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Intip Huller Tnek Mat Numbuk Padi! Mana Tahu Anda Terinspisi

Tnek Mat Zukri berfoto selfi di huller berjalan miliknya (Foto NURSINI RAIS)
 
Perkembangan teknologi telah membalikkan tatanan sosial masyarakat dunia. Tak terkecuali juga bangsa Indonesia, dari desa sampai ke pelosok desa. Dahulu banyak pekerjaan dilakukan  secara manual, kini beralih menjadi serba digital. Salah satu contohnya, menumbuk padi.

Semasa saya kecil, betapa lelahnya pekerjaan menumbuk padi menggunakan lesung dan alu. Orang kurus seperti saya, seharian belum tentu menghasilkan 20 kg beras.

Gotongroyong Menumbuk Padi

Tiga wanita Bali sedang menumbuk menggunakan alu dan lesung, 1920an. (Sumber ilustrasi:  web.facebook.comSejarahBali)
 
Lucunya, kalau ada warga yang akan menyelenggarakan pernikahan anaknya, pada malam-malam tertentu sanak saudara laki-laki gotongroyong menumbuk padi. Minjam lesung dan alu milik tetangga sampai belasan pasang.

Ibu-ibu tugasnya tukang tampi menggunakan nyiru. Tuan rumah menyediakan sneck. Duh ramenya minta ampun.  Kini semuanya tinggal cerita. Saya sangat merindukan momen tersebut.

Kondisi ini berlaku sampai awal tahun 70-an. Malahan saya berkenalan dengan mantan pacar saat saya  sedang asyik menumbuk padi di belakang rumah. He he ....

Kini,  rice milling (gilingan padi)  banyak  terdapat  di setiap desa. Lengkap dengan layanan antar angkut.  Tinggal telpon, petugas akan datang menjemput padi ke rumah. Petani tinggal nunggu. Dalam waktu sekian jam, berasnya  sampai ke alamat.

Huller Berjalan

Dibantu Tnek Mat, pekerja mengoperasikan huller berjalan (Foto NURSINI RAIS)
 
Beberapa tahun terakhir berkembang pula trend baru. Bukan padi yang mendatangi race milling. Tetapi race milling-lah yang nyamperin kustomernya.

Kami menyebutnya huller berjalan. He .... He .... Meskipun tak punya kaki. Sebab, dengan dikemudikan oleh pemiliknya, mesin dan perangkat pendukungnya meluncur ke lokasi  tempat dia berpraktik. Kapan butuh, konsumen tinggal telepon.

Lucu ya. Padahal lebih enak didengar kalau dikatakan huller keliling. Itulah uniknya bahasa daerah. Penuturnya masyarakat lugu.

Rabu, 16 Juni lalu saya sempat mewawancarai  salah satu pemilik huller berjalan di desa saya Simpang Empat Tanjung Tanah. Dia adalah Mat Zukri (52). Saat itu pria yang biasa disapa  Tnek Mat ini sedang  beroperasi di halaman rumah tetangga.

Bapak 3 anak itu mengaku,  dari  usahanya ini dia meraup keuntungan bersih per hari  antara Rp 400 - 500 ratusan ribu. Tergantung kondisi.  Kalau musim  panen  dan cuaca cerah (panas) malahan lebih.

Gila .... Ternyata lumayan gede. Dia cuman mengkordinir dan bantu-bantu. Eksekusi dilakukan oleh 1  karyawan, yang dia gaji 1/3 dari pendapatan seluruhnya setiap beroperasi.

Mantan TKI

 
Mesin sudah dinyalakan. Tinggal menunggu proses pemanasan (Foto NURSINI RAIS)
 
Sebelum menggeluti bisnisnya ini, Tnek Mat  berprofesi  sebagai TKI di Malaysia. Ketika ditanya apa tak minat lagi kembali ke Malaysia?

Dia menjawab, “Tidak. Sudah cukup lama Bu. 30 tahun.”

Suami Siti Hawa ini mengaku, selama bekerja di negeri jiran pencapaiannya yang paling dia syukuri adalah sukses menyekolahkan 2 putra putrinya di sana.

“Kini mereka telah bekerja.  Si sulung karyawan di salah satu Bank Malaysia.  Yang nomor 2 Pegawai di kementrian Perdagangan. Kalau di Indonesia disebut PNS. Rencananya Oktober depan saya dan Emaknya ke Malaysia. Mereka dua-duanya  akan menikah,” katanya.

Proses penggilingan sedang berlangsung (Foto NURSINI RAIS)

Setahu saya, semenjak huller berjalan ini beroperasi, para tetangga yang punya padi, tak pernah lagi menumbuk padinya di race milling konvensional. “Enakan di rumah sendiri Bu. Ada unsur transoparansi,” kata salah satu pelanggannya.

"Kita tak perlu curiga. Apakah hasil gilingannya sesuai dengan keinginan kita atau tidak. Umpamanya banyak sekam  dan buliran gabah yang masih membaur dalam berasnya. Kualitasnya pun bisa dikontrol. Bebas dari butiran pasir,”  tambah pria tetangga saya itu.

Penutup

Bagaimana? Apakah di antara kalian berminat  dengan bisnis huller berjalan? Silakan dicoba. Tentu saja cocoknya bagi yang tinggal di pedesaan.

Kalau di kota, wah ..., tak kebayang tuh. Pasti anak-anak berkerumun melihatnya di pinggir jalan. Melebihi asyiknya nonton orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sedang beraksi aneh. He he .... Padinya juga tak ada.

Belum lagi dimarahi Pak  Polisi karena dapat menimbulkan macet berjamaah. Karena jalan bukan diperuntukkan buat huller berjalan.

Sekian dan terima kasih. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

Baca juga:

****

Penulis,
Hj. NURSINI  RAIS
di Kerinci, Jambi.

18 komentar untuk "Intip Huller Tnek Mat Numbuk Padi! Mana Tahu Anda Terinspisi "

  1. Wah seru tuh ya bisnis huller cuma didaerahku udah jarang sawah mba huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Artinya. Daerahmu termasuk wilayah perkotaan. Terima kasih telah singgah, ananda Amirotul. Selamat malam.

      Hapus
  2. Selain jadi tontonan orang kalau di kota juga bingung apa yang mau digiling di kota udah ngga ada sawah yang ada hutan beton seperti tempat saya tinggal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha ha. Disuruh kunyah aja betonnya. He he ... Terima kasih telah hadir, Mas Hermansyah. selamat sore.

      Hapus
  3. Sekarang apa-apa memang harus kejar bola ya bun, tapi enak sih kalo sudah punya pelanggan tetap. Selamat malam bunda nur, salam sehat selalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat sore, ananda Srie. Maaf telat merespon. Betul, kesuksesan itu hanya milik orang jeli membaca peluang dan pekerja keras.

      Hapus
  4. Huller berjalan lumayan juga untungnya sampai 400 ribu per hari. Disini juga ada yang keliling, orang yang mau giling padi tinggal nunggu depan rumah.

    Tapi jadi rindu masa lalu ya Bu haji, dulu orang numbuk padi bergotong royong, masyarakat desa masih rukun saling bantu membantu, kalo ada tetangga yang padinya belum panen nanti ikut dibagi berasnya. Nanti giliran dia panen biasanya ngasih juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teknologi telah membolak-balikkan keadaan. Selamat sore, Mas Agus. Salam sehat untuk keluarga di sana.

      Hapus
  5. itulah manfaat kemajuan teknologi mbak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat, Mas. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat sore. Salam sehat untuk keluarga di sana.

      Hapus
  6. Aku jadi senyum-senyum sendiri nih, pas Bu Nur teringat awal mula ketemu mantan pacar dulu. Sweet banget, Bu. 🥰

    Ngomong-ngomong potret perempuan Bali jaman dahulu kelihatan cantik banget, Bu. Padahal mereka dandan apa adanya tanpa make up sedikit pun 😆. Jadi iri deh aku. 😭

    Dan sekarang kegiatan menumbuk padi sudah langka ya, Bu. Ini sayang banget sih. Soalnya lewat kegiatan menumbuk padi bersama-sama orang-orang jadi lebih intens dan mesra interaksi sosialnya 😭. Tapi di balik itu, dengan adanya mesin penggilingan memang jadi lebih praktis dan lebih mudah sih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu kisah benaran, ananda roem. Wak tu itu saya dikenalkan oleh seorang tuna rungu, sebagai seorang guru. Tapi guru honorer sayanya. Eh, doi bilang, bu guru kok mau numbuk padi. He he .... Terjadilah perkenalan terus saling tukar identitas. Berujung di pelaminan.

      Betul juga ya. Cantik alami gadis Bali.

      Sekarang jangankan kisah numbuk padinya. Lesung dan alu pun sudah punah dari peradaban. Wkikkwwkk

      Hapus
  7. Sbnrnya penasaran Bu, aku belum pernah ngeliat langsung padi digiling :D. Padahal almarhum nenek punya sawah lumayan luas. Yg aku inget tiap mudik ke Sorkam di Tapanuli sana, aku srg diajak main ke pematang sawah. Tapi ga pernh pas musim menggiling padi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha ha ... Belum pernah liat padi digiling artinya bukan orang kampung. Boleh jadi begitu. Pas pulkam, bukan musim panen. Dan padinya belum masak. Padi di lumbung sudah habis pula. Selamat siang, ananda Fanny. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
  8. Bu Nur, di rumah mama saya, masih ada nih lesung kecil buat numbuk.
    Dulu mama saya make buat numbuk tepung beras, kopi, dan makanan lainnya.

    Sekarang udah jarang digunakan sih, saya sering ikutan buat numbuk, trus tangan saya terkelupas wakakakak.

    Btw, di depan tempat tinggal kami, setiap musim panen padi, mesti ada mesin ini :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekadar ikutan numbuk aja tangan sudah mengelupas. Saya malah numbuk benaran. Mulai numbuk padi, tepung, sampai numbuk sagu. Waduh benar2 gila. Tapi saat itu kami menjalaninya biasa2 saja. Kini rasanya sangat indah untuk dikenang. Selamat pagi. Terima kasih telah mengapresiasi, ananda Rey.

      Hapus
  9. wah serunya, saya belum pernah lihat soalnya.. Hahaha saya pasti bakal norak nih kalo lihat huller begini secara langsung trus numpang pose sok-sok ikut menggiling padi.. Hahaha.. Terima kasih sudah berbagi cerita, bunda.. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah. Ide bagus. Ntar kalau dia datang, mau npang pose ah. He he ... Selamat siang, ananda Naia. Terima kasih telah singgah. Doa sehat buat keluarga di sana.

      Hapus