Menengok Umeh Lahik Dinding Bersama di Dusun Tanjung Tanah
Rumah gerbong kereta api
Empat puluh tiga tahun lalu, tepatnya pertama saya menginjakkan kaki di Dusun Tanjung Tanah, Kabupaten Kerinci, banyak ditemui rumah deret model gerbong kereta api. Kondisinya sudah terpotog-potong karena sebagiannya sudah diganti dengan bangunan baru.
Masyarakat setempat menyebutnya umeh lahik. Umeh artinya rumah, lahik sama dengan larik, jejer, deret, baris ....
Lokasinya di pusat dusun. Setiap baris gabungan dari beberapa unit rumah, dengan jumlah disesuaikan dengan panjang lariknya. Terus disematkan nama sesuai karakter dan posisi bangunannya, yang telah disepakati oleh para leluhur.
Misalnya ada Lahik Ujo. Dikatakan lahik ujo, karena deretan satu dengan lainnya mempunyai jarak relatif jauh. Otomatis halaman depannya luas. Ujo maknanya luas.
Ada pula Lahik Dayik. lokasinya di pinggir anak sungai, dan larik-larik lainnya.
Sistem dinding bersama
Semuanya rumah panggung berbahan dasar kayu, dengan sistem dinding bersama. Artinya rumah satu dan lainnya memakai pembatas yang sama. Lantai 2 dijadikan hunian, bagian bawah (kolong rumah) tempat menyimpan hasil panen, peralatan bertani, dan kandang ayam.
Uniknya, pada sekat pembatas dengan tetangga, dibuat pintu yang bisa dibuka tutup. Kapan ada acara, rumah satu dengan lainnya bisa dipakai sekaligus. Saya berpikir, betapa indahnya kebersamaan itu pada zamannya.
Ruangan tanpa pembatas dan hunian bersama
Ruangan depannya dibiarkan lepas tanpa sekat. Pada permukaan lantainya terhampar 24 jam tikar anyaman dari daun pandan. Fungsinya tempat berkumpul sanak famili dan anggota keluarga. Untuk berkamar digunakan bagian belakang .
Dinding depannya dilengkapi 1 atau 2 jendela mungil nan klasik. Ukurannya kurang lebih 50 x 60 cm (bangunan asli). Kemudian berkembang ke jendela biasa terbuat dari papan. Tiada terlihat perabotan semisal kursi dan meja tamu.
Salah satu sepuh desa setempat mengatakan, “Zaman kami, anak-anak yang sudah berumah tangga bertahun-tahun tinggal bersama orang tua. Karena belum sanggup membangun rumah.
“Umumnya satu rumah dihuni lebih dari satu pasangan anak menantu. Bahkan sampai 3 dan 4, selain orang tua (pemilik rumah, red). Jika kami bersaudara melahir dalam masa bersamaan, di ruang depan bergelayutan ayunan bayi.
“Andaikan anak cucu terus bertambah, lantai bawah pun bisa dijadikan hunian. Beda dengan anak sekarang. Setahun menikah berpikir punya rumah sendiri,” kata perempuan 70 tahun itu.
Ketika ditanyakan apakah mereka tak pernah berantam dengan kondisi tersebut. Beliau menjawab, “Tergantung orangnya Bu. Saya bersaudara Insyallah damai-damai saja,” tambahnya.
Dinding bersama tinggal cerita
Kini, Umeh lahik masih tetap eksis. Nama-namanya pun tetap abadi. Lahik Dayik tetap Lahik Dayik. Begitu juga lahik-lahik lainnya.
Namun, sekarang dinding bersama hanya tinggal cerita. Begitu juga pintu-pintu perkongsian pada diding pemisah. Kerena sudah berganti dengan bangunan baru dan punya pembatas masing-masing. Khas kegerbongannya telah pupus dikunyah zaman.
Hal ini dapat dipahami, seiring dengan perjalanan waktu kehidupan masyarakat modern cendrung disusupi oleh paham individualisme.
Struktur dan fungsi bangunannya pun menyesuaikan. Kolong rumah tidak lagi dijadikan tempat menyimpan hasil penen. Tetapi dirancang seperti rumah bertingkat umumnya. Lantai 1 bisa ditinggali, dan sebagian dijadikan warung tempat berjualan. Banyak juga yang membuat rumah satu tingkat.
Masyarakat keluar dari larik
Kini, masyarakat pedesaan khususnya warga Tanjung Tanah, cendrung keluar dari larik. Mereka bertranspormasi ke pinggir jalan raya. Banyak juga yang bergeser ke area persawahan di pinggir desa. Dampaknya, banyak lahan sawah beralih fungsi menjadi tanah perumahan.
“Di dusun suasananya sumpek, Bu. Sering terjadi konflik antar tetangga. Yang masalah comberanlah, masalah sampahlah, ternak, dan sebagainya,” kata salah satu ibu muda warga Tanjung Tanah, saat saya ajak dia ngobrol ringan tentang umeh lahik kemarin sore.
Sebagian kaum berduit khususnya pasangan milenial, bangunannya tidak tanggung-tanggung. Lokasinya di pinggir jalan, cantik dengan konsep kekinian, berpagar besi dan punya pekarangan yang memadai. Sebelas dua belas dengan hunian masyarakat perkotaan.
Tidak termasuk istana saya lho, he he .... Kerena saya masih mendiami rumah sederhana yang dibangun tahun 1983.
Oh ya. Sebagai informasi tambahan, dahulu selain di Desa Tanjung Tanah, umeh lahik gerbong kereta api dapat juga dijumpai di banyak dusun tua dalam Kabupaten Kerinci. Saat ini keadaannya sama. Bangunan asli sudah beberapa kali dipugar.
Demikian artikel ini ditulis berdasarkan apa yang saya ketahui. Semoga bermanfaat dan inspiratif.
Baca juga:
- 4 Trik Menghilangkan Kekhawatiran Masa Depan Anak. Nomor 3 Pinjam Istilah Jokowi
- Yang Penting Hati-hati dan tidak Salah Injak Gas, Insyallah Selamat
- 3 Alasan Istri Kabur Tinggalkan Anak dan Suami
- Seminggu Pulang Kampung, Ini Oleh-oleh yang Saya Peroleh
- Abses Submandibula telah Membuat 4 Keponakanku jadi Yatim
*****
Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci
coba aja kampung itu bertahan dengan gaya lamanya bu, daerah yang sejuk dan asri tak lekang dimakan waktu. akhirnya kalah dengan keegoisan material manusia zaman ini
BalasHapusBetul, Mas Fajar. Sayangnya tidak termanajemen oleh pihak terkait. Dalam hal ini masyarakat adat. Selamat sore, Mas. Terima kasih telah singgah.
Hapusjaman berubah begitu cepat ya mba, sehingga hanya tersisa bangunan dan kenangan
BalasHapusBetul seksli, Mas Kuanyu. Malas berdayung hanyut serantau. He he. Selamat malam. terima kasih telah singgah.
HapusBudaya yang sangat menarik, sayang mulai pudar dimakan jaman.
BalasHapusYa, harus bagaimana lagi. Kalau tak respek terhadap kemajuan, kita dilabeli ketinggalan kereta. he he ... Selamat malam ananda Rudi.
Hapussebenernya Mbul justru suka modelan rumah panggung bunda, jadi ga napak bumi (tanah), bawahnya bisa buat fungsi lain..dan kalau ada banjir nolong banget. Kalau pakai kayu berasa nyaman anget betah buat ndekem di rumah gegegge...juga ada pula yang bisa buat nyimpan hasil panen. Sekarang sudah mulai tergerus model rumah modern semua ya bunda...kalau ada yang klasik sebenernya menarik juga sih hehehe
BalasHapusSepakat, ananda Mbul. Bunda juga lahir dan dibesarkan di rumah panggung terbuat dari kayu. Karena negeri bunda ada di daerah aliran sungai. Tapi jarak tiangnya dari permukaan tanah tidak terlalu tinggi. Kurang lebih sepinggang orang dewasa. Makanya orang dahulu jarang yang bermasalah dengan tulang. Mereka kurang kenal dengan yang namanya rematik. terima kasih telah singgah, ananda Mbul. Doa sehat dan panjang umur untuk keluarga di sana ya.
HapusDapur mama saya masih berbentuk panggung Bu, tapi udah mau direnovasi, karena mengkhawatirkan, salah satu penopangnya udah miring terkena air melulu.
BalasHapusMemang enak sih rumah panggung dari kayu.
Kami kalau mudik, jarang di badan rumah, semua ngumpul di dapur, mana luas kan, ada kasurnya pula, hahaha.
Udah berkali-kali mama saya masak sampai gosong saking ketiduran wakakakak
Pertahankan saja dapur lamanya, ananda Rey. Meskipun direnovasi. Lantai papan itu adem dan sehat. Nenek saya meninggal usia 80 th. Tidak sedikit pun mengalami masalah dengan sakit tulang. Emak juga begitu. Beliau pergi umur 72 tahun tanpa masalah dengan tulang. Saya yakin, karena 2/3 umur beliau hidup di rumah papan. Selamat sore. Terima kasih telah mengapresiasi.
Hapusrumah unik dengan cerita yang menarik....
BalasHapus👍👍
Terima kasih tanggapannya, Mas Tanza. Selamat sore dari tanah air.
Hapusterima kasih berkongsi. tak dapat ke Indonesia buat masa ni, baca sahaja seolah-olah dah sampai
BalasHapusYuk berlibur ke sini, ananda Salbiah. Ditunggu dengan senanghati. Terima kasih telah singgah. Doa sehat selalu untuk keluarga di sana ya.
Hapusterima kasih infonya bunda, senang baca tulisan bunda, terus nambah ilmu saya nih
BalasHapusBunda juga senang dapat berinteraksi denganmu, amanda Naia. Selamat pagi. Terima kasih telah mengapresiasi.
Hapus