Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

6 Alasan Saya Betah Merantau 45 Tahun di Tanjung Tanah, Kerinci

Ilustrasi: 6 Alasan Saya Betah  Merantau  45 Tahun di Tanjung Tanah, Kerinci (Jalan raya di depan rumahku/ Dokpri)

 Tanggal  01 Maret tahun 2022 akan datang, genap 45 tahun saya merantau di Simpang Empat Tanjung Tanah, Kabupupaten Kerinci. Hampir 2/3 bagian hidup saya mengais rezeki di rantau orang.

Banyak  yang bertanya, apakah saya tidak rindu kampung halaman. Jawabnya,  siapa yang tidak rindu tanah kelahiran dan sanak saudara. Tetapi saya terlanjur cinta kepada tanah rantau.  

Setiap membayangkan pindah ke tanah kelahiran sendiri, saya sedih tanpa alasan.  Tak tega meninggalkan bumi  bekas saya menjalani pahit manisnya kehidupan, merintis langkah  mulai dari nol. 

Alasan lain? Ikuti penjelasan berikut!

1. Telah menyatu dengan dengan lingkungan

Menyatu dengan lingkungan adalah alasan utama saya betah di di rantau yang saya tinggali saat ini.  Alamnya nyaman, masyarakatnya bersahabat, adat dan tradisinya tidak terlalu rumit,  dan sebagainya. Dan yang paling penting, tiada masalah dengan tetangga. 

Meskipun ada kekurangannya, itu adalah hal yang manusiawi dan sunatullah. Tak ada sesuatu yang sempurna di muka bumi ini karena kesempurnaan itu milik Allah. 

Selama merantau  saya dan keluarga hanya pulang kampung sekali-sekali.  Itupun hanya 2 atau 3 hari. Selepas itu mau balik ke Kerinci lagi. 

Bukan berarti saya tidak diterima di  negeri sendiri.  Adik-adik  dan sanak keluarga saya banyak.   Mereka menyayangi saya seperti saudara kami yang lain. Berkali-kali  mereka minta saya pulang.  Supaya berkumpul dengan keluarga. 

2. Sepi di negeri sendiri

Di rantau ini pergaulan kami luas. Ke mana-mana banyak yang menyapa. Terutama  mantan murid saya dan bekas siswa suami. 

Di kampung sendiri, yang mengenal saya hanya yang tua-tua dan keluarga dekat saja.  Ketika keluar rumah orang yang menegur boleh dihitung dengan jari.  Selebihnya, diberi  senyum semanis madu pun banyak yang tidak merespon. Saya merasa asing di negeri sendiri.

3. Anak-anak tidak mau pulang 

Kadang-kadang pernah juga saya dan suami berseloroh di hadapan anak-anak, mengemukakan usulan supaya gubuk sederhana  di sini dijual dan kami berdua pindah ke kampung. 

Belum selesai kami ngomong mereka menjawab duluan.  Bahwa sampai kapan pun rumah tua ini tak boleh dijual.  Padahal kedua anak saya  sudah punya kehidupan masing-masing. 

Mereka tinggal dan bekerja di luar daerah berbeda.  Satu di Kota Jambi, yang lainnya di Kota Bengkulu.  Kesempatan kami  berkumpul saat lebaran saja. Selepas itu, kalau saya dan suami kangen anak cucu, kami yang mengunjungi mereka. 

Mungkin mereka merasa Tanjung Tanah ini negerinya sendiri. Bukan merantau. Betapa tidak. Mereka lahir, besar, ngaji, dan sekolah di sini. Punya  teman kecil,  memanjat pohon, mandi berenang di sungai bersama. Tentu semuanya jadi kenangan yang tak mungkin terlupakan begitu saja.  

4. Posisi rumah strategis

Ilustrasi: 6 Alasan Saya Betah  Merantau  45 Tahun di Tanjung Tanah, Kerinci (gubukku istanaku/Dokpri)

Kediaman kami jauh dari kata bagus. Tetapi posisinya di pinggir jalan raya Kota Sungai Penuh- ke ibu kota provinsi (Kota Jambi).  Dikelilingi oleh banyak sekolahan.  Ada beberapa buah SD, SMP, MTSN, SMA. Yang agak jauh  MAN  dan SMK Pertanian. 

Hubungan lancar. Mau ke Jambi? Pesan tiket via telepon, tinggal naik mobil di depan rumah.  Malas jalan darat?  Naik pesawat saja.  

Bandara cuman 4 km dari kediaman kami.  (Insyaallah dalam waktu dekat penerbangan akan dibuka kembali setelah stagnan selama pandemi).  Ke Kota Sungai Penuh cuman 15 menit naik motor. Dan 1 jam ke kebun naik motor. Lokasinya juga di pinggir jalan Raya Sungai Penuh- kota Jambi ke arah timur.

Andaikan gubuk derita kami ini dijual, belum tentu dapat ganti lokasi sebagus ini. 

5. Belanjaan harian lumayan murah

Saat berkumpul di tempat arisan Kota Sungai Penuh, saya dan suami sering diolok-olok sama teman sesama perantau. “Ngapain  awak  jauh-jauh merantau tinggal di dusun.  Jual saja rumah di sana. Pindah kekota.  Akses mudah, pasar dekat.” 

Dalam hati saya tertawa. Ngapain tinggal di kota. Bangun rumah di gang sempit.  Beli tanah pinggir jalan tak ada duit. Punya mobil parkirnya di mana? He he ... saya protes dalam hati saja.  Mereka pun cuman bercanda.

Soal belanja  keperluan harian tak perlu risau. Di desa  kami harga-harga banyak yang sama  dengan di kota.  Sebab, dari distributor barang-barang langsung didrop  ke toko-toko grosir. Pemilik toko umumnya punya tempat sendiri tanpa menyewa.  

Tak heran, sebagian oknum  pedagang di kota Sungai Penuh ada yang mengeluh. Katanya zaman kini daya beli masyarakat  rendah. Menurut saya bukan daya belinya yang bermasalah. Orang desa banyak belanja di desa saja. 

Setiap hari ada pasar pagi dan pasar sore.  Banyak duit, beli ikan danau segar, yang   harganya agak mahal. Jika uangnya sedikit ikan laut jadi solusi. 

Begitu pula dengan bumbu-bumbuan dan sayuran. Semuanya dijual dalam kondisi segar, masih dapat dibeli dengan uang seribu. Meski tidak semua  jenis sayuran. 

6. Jauh bau bunga dekat bau ... 

“Jauh bau bunga dekat bau ta*k.” Ungkapan ini biasa digunakan orang tua-tua kampung. Artinya, jika antar saudara saling berjauhan, sesekali berkumpul, aroma kebersamaan itu terasa nyaman enak, dan harum manis. 

Sebaliknya ketika setiap hari selalu bersama, sering terjadi silih sengketa. Kadang-kadang gara-gara masalah sepele, bisa menjurus ke pertengkaran besar. 

Saya  sepakat dengan ungkapan tersebut. Enaknya bergaul dengan sanak keluarga itu sekali-sekali. Selepas itu banyak persoalan yang menjadi biang konflik. Yang masalah anak lah, masalah harta lah, persaingan merebut kasih sayang  orang tua dan sebagainya. 

Kesimpulan dan Penutup. 

Di mana-mana hidup itu sama saja. Sama-sama tinggal di bumi Allah. Kalau mati tetap masuk tanah. Mau di rantau atau di negeri sendiri, tergantung yang menjalani. Yang penting  kebutuhan hidup terpenuhi, nyaman, dan aman.

Inilah 6 alasan saya betah merantau selama 45 tahun di Tanjung Tanah Kerinci. Semoga inspiratif. Terima kasih. 

Baca juga:  

 ****

Penulis,
NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi.

23 komentar untuk "6 Alasan Saya Betah Merantau 45 Tahun di Tanjung Tanah, Kerinci"

  1. kayaknya keren suasananya....
    jalan bersih, rumahnya asri....
    👍👍👍

    BalasHapus
  2. Makasih banyak atas sharingnya Bu Nur. Saya merasa banyak kesamaan dengan ibu.

    Saya juga sudah 20 tahun merantau di daerah Banten biarpun aslinya Jawa tengah. Daerah ini sudah seperti kampung halaman sendiri atau boleh dibilang kampung kedua lah.

    Biarpun disini kampung karena jauh dari jalan raya tapi lumayan buat cari nafkah Bu, soalnya di Jawa tengah lebih susah lagi cari duitnya.

    Bedanya aku kadang pulang kampung setahun sekali kalo lebaran dan disana biasanya nginap 10 hari.

    BalasHapus
  3. Iya, Mas Agus. Allah meletakkan rezeki untuk umatNya sesuai dengan keinginan Beliau. Tinggal kamampuan kita untuk memperjuangkannya. Terima kasih telah mengapresiasi. Selamat malam. Doa sejahtera untuk keluarga di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama sama Bu, semoga ibu sehat selalu sekeluarga juga.😀

      Hapus
  4. Oh bu nur perantau yah kirain orang asli sana memang...
    Luar biasa sih 45thun d perantauan, dn kyak gak bisa di sebut lg oerantau soalx sdah domisili disana hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ananda Alul. Udah lama tidak muncul. Kemana saja, ananda.

      Hapus
  5. Wah lama juga ya Bu merantau, sudah 45 tahun. Terlihat tempat tinggal Bu Nur benar benar strategis, Asri dan nyaman. Daripada cuma diberi senyum manis, mending memberi senyum kepada teman teman di di perantauan sepertinya ya Bu. Semoga selalu sehat dan selamat beraktifitas Bu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, Pak Eko. Karena kelamaan di rantau orang kampung menganggap saya orang lain. Selamat malam, maaf telat merespon.

      Hapus
  6. Sudah 45 tahun merantau ya Bu Nur? Tapi dari tadi saya bolak balik baca dari atas kebawah bawah ke atas, gak ketemu tulisan kampung halaman nya dimana?😅🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he berarti selama ini Mas Warkasa belum baca curhatan saya yang lain. Terima kasih telah singgah. Doasehat selalu ya.

      Hapus
  7. Masyaallah, dah lama banget merantau, asli kampung halaman dari mana bunda Nur ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Artinta ananda Nita belum baca beberapa curhatan saya yang lain yang sering dikadih komen. Selamat malam. Terima kasih telah singgah.

      Hapus
  8. Saya selalu mendengar 'jauh bau bunga dekat bau....... Namun begitu, barangkali peribahasa hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baiklah di neger sendiri itu masih bisa dipakai apa enggak ya jaman sekarang ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sobatku Amie. Tapi bagi saya sampsi sebatas ini belum terasa hujan emasnya di kampung sendiri. Selamat istirahat. Terima kasih telah singgah.

      Hapus
  9. Betul sekali. Di mana pun tinggal, sama, bumi Allah. Sebagaimana saya asal Jombang, kini tinggal di Jogja. Makasih ya tulisannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saking lama dan enaknya tinggal di rantau, pulang kampung itu serasa merantau. Terima kasih telah singgah. Mas. Selamat malam.

      Hapus
  10. Kalau saya pun suka kawasan pinggir bandar aje. Di tengah bandar sibuk pulak. Kalau kampung dah agak susah nak dapatkan keperluan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Zaman sekarang di kota atau di desa sama saja, Mbak. Pokok ada duit, semua ada di toko.

      Hapus
  11. I feel youuuu bu 😊. Sayapun aslinya Medan, kalo mau lebih tepat, Sibolga. Tapi saya besar di Aceh 18 tahun, di Medan cuma 6 bulan, trus skr Jakarta 15 THN . Jadi buat saya, Medan itu hanya kota utk pelesir,saya ga ada ikatan utk pulang kesana. Kalopun nanti suami pensiun, kota yg kami pengen tinggalin kalo ga tetep di Jakarta, ya solo. Ga pernah terpikir Medan.

    Walo perantau, tapi bagi saya yg namanya rumah, adalah tempat di mana saya merasa nyaman 😊

    BalasHapus
  12. Wow ... Cuman 6 bulan di kampung halaman. Rupanya kita sama2 suka merantau, ananda Fanny. Ibu juga belum ada niat untuk pulang ke kampung. Entah kalau besok2nya. Hanya Tuhan yang membolak-balik hati manusia. Terima kasih telah singgah. Selamat malam minggu.

    BalasHapus