Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusur Jejak Kenangan di Masjid Agung Inderapura


Ilustrasin: Menelusur Jejak Kenangan di Masjid Agung Inderapura (Masjid Agung Inderapura)

Hampir setengah abad aku menjauh. Dia masih berdiri di sana, dan nyaris seperti yang dulu-dulu.  Tidak gemuk tidak juga kurus.  Meskipun usianya telah 2 abad  lebih

Wah ... ! Nenek ini mau nulis, apa menghayal? Eits ..., sabar dulu!  Dia adalah Masjid Agung Inderapura, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, yang sempat saya singgahi Jumat, 01 April 2022  lalu. 

Masjid tertua di Inderapura ini punya sejarah dalam hidup saya. Di sana terpatri  jejak-jejak kenangan yang tak mungkin sirna begitu saja.  Lalu apa saja kenangan dimaksud? Ikuti ulasan berikut ini!

1. Mandi air kulah 

Ilustrasin: Menelusur Jejak Kenangan di Masjid Agung Inderapura (Tempat Wudhuk Masjid Agung, Inderapura)
 
Semasa kecil (di bawah 7 tahun),  jika  saya sakit Emak selalu membawa saya berobat ke dukun. Maklum zaman itu. Tenaga kesehatan langka dan mahal. Hanya orang-orang tertentu yang  mampu menikmati pelayanan medis.  Masyarakat akar rumput, cukup pakai sembur-semburan Mbah Dukun saja. 

Uniknya, walaupun hanya dipercik pakai air bunga-bungaan, pasiennya bisa  sembuh. Bahkan kadang-kadang penyakitnya  hilang  seketika.

Tidak hanya berobat ke dukun. Emak juga suka bernazar. Jika kelak saya sembuh akan dimandikan dengan air kulah (bak air) masjid Agung.  ha ha ....  

Seberapa ajaibkah air bak yang jarang dikuras itu?

Bukan bohong bukan dusta. Mungkin  karena saya dan emak teramat yakin dan khusuk, setelah ritual mandi nazar tersebut badan saya terasa fit, energi bertambah. Haha .... 

Kini kulah yang pernah dianggap syakral itu sudah tergusur.  Posisinya diganti dengan kamar mandi, tempat wudhuk yang rapi, dan toilet.  Tak terdengar lagi kabarnya apakah airnya masih dianggap menyimpan tenaga magis untuk menggantungkan nazar atau tidak. 

2. Mengantar makanan di pagi Jumat

Kenangan berikutnya yang masih tersimpan di benak saya adalah  disuruh Emak mengantarkan  sedekahan yang beliau sebut  “menjamu mukin”.

Sampai detik ini saya tak tahu artinya  frase tersebut.  Apakah sebagai nazar atau sedekah atas kesadarannya sendiri. Tidak terus-menerus. Paling satu  sampai dua kali setahun. Atau ketika  kebetulan Emak membuat kue saja. Waktunya khusus pagi Jumat, untuk sarapan bapak-bapak jamaah usai salat subuh.  

Kuenya tidak banyak.  Paling sekitar 10-20 biji. Toh,  semasa itu jamaah laki-laki Masjd Agung itu paling 5-6 orang. Ada pula rumah tangga lain yang “menjamu mukin”.

3. Jadi pemenang NTQ

Maaf bukan meratapi penderitaan hidup, bukan pula berbangga dan ria.  Saya terlahir dari keluarga sangat sederhana.  

Antara tahun 1963-1966, sempat berkali-kali putus Sekolah Rakyat karena ngasuh adik, sementara  Emak dan Bapak  harus ke sawah dan ke ladang. 

Kala itu rata-rata hidup kami di pedesaan benar-benar susah.  Banyak orang yang mati kelaparan.
Pendidikan yang rutin saya ikuti mengaji di surau. Karena waktunya malam hari.  

Saya tumbuh menjadi anak yang pandai mengaji pada zamannya. Beberapa kali saya memenangkan MTQ  tingkat Kenagarian, yang dilaksanakan setiap bulan puasa, di Masjid Agung bebanggaan masyarakat Inderapura ini. 

4. Bunyi beduk penanda waktu 

Ilustrasin: Menelusur Jejak Kenangan di Masjid Agung Inderapura (Bangkai beduk Masjid Agung Inderapura)

Poin ini mungkin merupaka kenangan bagi semua masyarakat yang ada di sekitar Masjid Agung.

Sebelum ada micropon, beduk digunakan untuk penanda masuk waktu salat, Imsak, jika  terjadi kebakaran, dan dikala ada warga tenggelam di sungai. Masyarakat setempat menyebutnya tabuh.  

Sebenarnya tabuh ada di semua surau atau langgar. Tetapi tabuh masjid Agung ini beda dari  yang lain, Bunyinya menggema ke radius yang susah diperkirakan. 

Saya persis tahu, mana yang bunyi tabuh Masjid Agung mana yang bukan. Padahal  jaraknya dari kediaman kami  kurang lebih 1,5  km. 

Mungkin karena  dahulu negeriku tercinta itu  masih sepi. Tak ada bunyi musik, tiada deru motor,  dan sedikit sekali dengungan mobil. Yang ada nyanyian kumbang pohon dan jengkrik pada malam hari.

Kini, tabuh tersebut sudah tercampak dari peradabannya, dibiarkan terkapar diluar masjid, seperti jasat tak bernyawa.  Saya baru ngeh. Ternyata tabuh jadul itu super gede. Perkiraan saya, panjangnya tak kurang dari 5 meter dan diameter  bagian depannya minimal 65 cm. 

Andaikan boleh saya berpendapat, alangkah baiknya jika tabuh tersebut dirawat, dimuseumkan, sebagai bukti sejarah bagi anak cucu kelaknya. 

Saya salut sama orang Inggris.  Mereka sangat menghargai bukti sejarah. Mesin cuci dari kayu pun entah usianya berapa abad masih  mereka simpan di museum. 

Sebagai informasi tambahan, Masjid Agung Inderpura ini dibangun pada tahun 1819,  oleh Raja ke 2 Kerajaan Inderapura, Tuanku Arifin.  Awalnya dinamakan Masjid Palupuh, karena terbuat dari anyaman bambu.  Pertama berdirinya hanya sebagai  tempat ibadah. Kemudian berkembang  menjadi sarana dakwah dan pendidikan Islam  bagi masyarakat Pesisir Selatan (ejournal.uinib.ac.id).

Barangkali untuk menjaga keasliannya, fisik masjid kebanggaan masyarakat Inderapura ini nyaris tiada mengalami perubahan, (Maaf kalau saya terlalu lancang). Padahal keberadaannya di negeri yang masyarakat Muslimnya berekonomi mampu.  

Demikian Jejak kenangan saya yang masih tertoreh di Masjid Agung Inderapura. Semoga inspiratif. Terima kasih.

 Baca juga:

*****

Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci Jambi

14 komentar untuk "Menelusur Jejak Kenangan di Masjid Agung Inderapura"

  1. soal bedug, dulu waktu kecil, bedug berbunyi sekitar 15 menit sebelum buka puasa .... kampungpun heboh......

    masalahnya, mesjid terkunci rapat.... siapakah di dalamnya?

    kalau mahluk halus, kok bisa memukul bedug?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata ada makhluk nakal berkepala hitam. Haha ....

      Hapus
  2. ternyata....
    teman saya yang nakal.... dia sembunyi waktu setelah sembahyang ashar....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha ha.... Mungkin dia gak sabar menunggu waktu berbuka ya, MasTanza.

      Hapus
  3. Banyak banget kenangan di masjid inderapura ya Bu. Air kulah itu air yang bentuknya seperti kolam buat wudhu ya?

    Aku ingat, dulu waktu kecil kata ibu suka nakal lalu pas sholat Jum'at aku dimandiin pakai air kulah biar ngga nakal katanya.😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, ini hampir ketemu nih. Mungkin Emak zaman dahulu terlalu fanatik menghormati rumah ibadah. Hingga air kulahnya pun dianggap sakti. He he .... Salam Ramadhan berkah, Mas Agus.

      Hapus
  4. wah memang setiap mesjid punya ciri khasnya baik bangunannya maupun kegiatannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Termasuk sejarahnya juga khas ya, Mbak Tira. Salam pagi

      Hapus
  5. Waaah sayang memang kalo sampe ga dirawat bedug lamanya ya Bun. Padahal coba kalo ttp dipake, dirawat. Seharusnya kita memang lebih memperhatikan barang2 peninggalan lama yg sbnrnya masih berguna dan bernilai sejarah.

    Kebayang sih karena dulu masih sepi, kendaraan msh jarang jadi pasti Yaa suara bedugnya jauh kedengeran, bisa sampe 1.5km gitu 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayang banget, ananda Fanny. Di black contry Inggris, tuh ada pompa air sebelum ditemukan mesim uap. Sekarang masih hidup, dijadikan objek wisata. Bunda sudah masuk langsung ke dasar sumurnya. menyaksi petugas menyalakan mesinnya pakai batu bara.
      Bangsa kita bangsa yang mudah lupa. Dan semakin lupa karena jejak sejarah dibiarkan berlalu begitu saja. terima kasih telah singgah. Selamat malam. Doa berkah fi buslan Rsmadhan.

      Hapus
  6. Saya kira bedug lama yang tidak terpakai masih bisa direstorasi ya Bu Nur. Bahkan bila diperbaiki bukan hanya jadi pajangan, tapi berfungsi kembali.

    Sel tabung kayu bedug ditreatment dengan antirayap agar kayunya yang tua tidak lapuk, bagian luar dipolitur ulang agar mengkilap dan tampak tekstur kayu, lalu dipasang kulit baru.

    Bila diletakkan di tempat yang represenratif, diberi penyangga dan diberi keterangan umur bedug, wah jadi ada nilai estetika dan sejarah syiar agama.

    Terima kasih Bu Nur telah mengajak saya mengenal Masjid Agung Inderapura.
    Hormat saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sekali, Mas Pudji. Tapi apa daya. Saya belum berkesempatan memberikan masukan. Sebab pulang kampung sekali2. Jarang singgah ke Masjid Agung. Ntar saya coba cari tahu siapa panitia pembangunannya. Kalau mereka mau merawatnya, insyaallah dananya bisa saya usahakan.

      Hapus
  7. Balasan
    1. Silakan, ananda. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus