Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen | Biarkan Mereka Benci padaku

Ilustrasi Ceren Biarkan Mereka Benci padaku (Sumber: Tangkapan layar dari IG putriku)

Siang itu cuaca cukup bersahabat. Tidak terlalu trik tiada pula tanda hujan akan turun.  Sebuah Avanza hitam berhenti pas di depan rumah bercat kuning muda. 

Dua wanita berjilbab keluar dari pintu tengah. Satu membimbing yang lainnya, yang kondisinya agak lemah.

Tak lama kemudian, mobil berlabel rumah bersalin ternama itu pergi meninggalkan tekape. 

“Kau tunggu di sini ya! Saya buka pintu dulu!” kata Sari pada Yanti. 

Adik sepupunya itu mengangguk lemas. Keningnya mengernyit seperti menahan sakit.

Sari melesat ke lantai dua. Terus mengetuk pintu “Assalamu alaikum …!” Tiada respon dari dalam. Ditelepon tidak diangat. 

Sari yakin ada orang di dalam.  Dia menggedor pintu agak kuat, hingga menyuarakan bunyi gldug-gldug. 

“Eh …! Nani dan Agus pergi.” Tetangga sebelah mengklarifikasi dari jendela. Matanya melirik ke Yanti. 

“Hah ...? Kemana mereka?” 

“Tak tau juga ya. Tiga hari lalu neneknya datang. Sambil meracau  dia ngetok-ngetok dinding pakai kapak. Setelahnya kakak adik itu tak pernah muncul lagi.” 

Sari dan Yanti bersitatap. Bibir Yanti yang pucat tambah membiru. Tubuhnya seakan ditindih batu besar.

Sari bergumam, “Betapa teganya mereka. Delapan  hari ibunya diopname, tiada seorang pun yang membesuk. Sekarang mereka malah kabur."

Emak-emak tetangga tadi curi-curi intip dari jendela. Rupanya dia tidak sendirian. Ada satu dua kerabatnya yang sedang bertandang. Mereka saling colek. Bibirnya berkoalisi mencibir. 

Sari berpikir sejenak. Pandangannya membentur ke bibir pintu.  Astaga ....! Ternyata pintunya dipaku. “Ini  bermakna ibu mertuanya tidak memperkenankan lagi Yanti masuk,” gumamnya.

Tapi Sari merahasiakannya, mengingat kondisi Yanti masih lemah. Belum saatnya berpikir yang berat-berat.

“Ya, sudah. Untuk sementara kau istirahat di tempat saya saja.” Sari merangkul tubuh wanita 36 tahun itu. Mereka melangkah pelan melewati gang sempit yang agak jauh. Dua  kali belok kanan, terus sedikit menikung ke kiri. 

Puluhan pasang mata melirik pada kedua perempuan sebaya dan berwajah mirip itu.  Tiada  seorang pun yang menyapa. 

***

Dari kemarin Yanti tidur panjang. Sari berpikir, “Barangkali efek dari cairan infus yang masih tersisa di tubuhnya.” Dia memebetulkan selimut putri pamannya itu.

Yanti terbangun. Sambil mengucek-ngucek mata dia bertanya, “Saya ada dimana, Kak Yi?” 

“He he he …. Pikir sendiri! Kemarin kau dari mana, pulang ke mana?” Sari tersenyum. 

Yanti menyeringai. Air matanya meleleh. “Terima kasih, Kak Yi. Kalau tak ada Kak Yi, saya sudah membusuk jadi bangkai.” 

“Jangan berkata begitu Yanti. Ini kewajiban saya sebagai kakak.”

Seminggu Yanti istirahat di rumah Sari, kesehatannya kian membaik. Mirisnya, belum ada tanda-tanda  Nani dan Agus akan menjenguknya. Nomor HP  keduanya  tak bisa dihubungi lagi.  Rindu dan malu bercampur aduk. 

“Saya pantas dihukum, Kak Yi. Biarlah mereka dan neneknya benci.” Kristal bening bergulir di pipinya. 

“Jangan berpikir macam-macam Yanti! Pulihkan dulu kesehatanmu. Masalah lain urusan belakangan.”

Sari dan Yanti sama-sama ditinggal merantau oleh suami, 10 tahun jadi TKI di Arab Saudi.  Sari punya putra satu, sedang kuliah di luar daerah. Nani dan Agus cuman  lulus SMA, dan SMP, Keduanya tak mau sekolah lagi. 

***

Satu bulan telah berlalu. Sari selalu setia mendampingi Yanti. Kadang-kadang mereka saling curhat.
Kepada Sari, Yanti tak segan-segan mengungkapkan penyesalannya. Mengapa dirinya terjerumus pada perbuatan terlarang bersama pacar Nani. Sampai hamil 3 bulan dan melakukan aborsi.  Sekarang calon menantu gagalnya  itu menghilang entah kemana. 

Seakali lagi Yanti berterima kasih pada Sari. “Untung Kak Yi  cepat membawa saya ke rumah sakit. Kalau tidak saya sudah mati kehabisan darah.”

Kini Yanti harus menerima hukuman sosial, dikutuk masyarakat sekampung. Suaminya tak pernah menghubunginya lagi. Dia  minder saat menyaksikan Sari dan suaminya teleponan.   

Baca juga:

*****

Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi

11 komentar untuk " Cerpen | Biarkan Mereka Benci padaku"

  1. Balasan
    1. Terima kasih telah mampir, Mas Tanza. Maaf telat merespon.

      Hapus
  2. sanksi sosial memang kejam, tapi itu buah dari perbuatannya sendiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya, sebelum berbuat pikir-pikir sampai jutaan kali ya, ananda. Menyesal kemudian tiada gunanya. Salam idul adha untuk keluarga di sana ya.

      Hapus
  3. bisa ya bikin cerpen,
    saya jadi pengen bisa nulis cerpen

    BalasHapus
  4. Silakan ditulis, Mas Rezky. Pasti bisa. He he ... Saya juga kurang pandai nulis cerpen. Tapi dibisa2 kan saja. he he ...

    BalasHapus
  5. Jadi pacarnya anaknya yang bernama Nani itu selingkuhan dengan Yanti, calon ibu mertuanya ya.😱

    BalasHapus
  6. Betul, Bas Agus. Ini diangkat dari kisah nyata. Makanya kalau masih muda jangan ninggalin istri terlalu lama. Ha ha ....

    BalasHapus
  7. Selamat pagi, ananda Dewi . Maaf, komenmu tidak muncul. Mungkin blog Nenek ini sedang bermasalah.

    BalasHapus