Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nostalgia di Desa Cupak. Bicara Pakai Trik Iyo Iyo

Ilustrasi Nostalgia di Desa Cupak.
 
Maret 2023 ini, genap 46 tahun saya tercatat sebagai perantau di Kerinci, Jambi, dalam rangka  bertugas sebagai Guru Sekolah Dasar No. 124/III Cupak. Dan telah purna bakti  2014 lalu.

Mengayuh sepeda 20 km

Pertama  ke Desa Cupak,  saya diantar anak ibu kos bersama pacarnya Salmi.  Naik sepeda ontel kurang  lebih 20 km dari Kota Sungai Penuh. Sejatinya paling 15 km. Karena saat itu musim banjir, kami terpaksa melalui jalur alternatif.  

Susah berkomunikasi

Begitu menginjakkan kaki di Desa Cupak, kami disuguhi pemandangan sawah yang sangat luas, dengan padi yang sedang menguning. Sangat elok dipandang mata. Masyarakatnya  ramah rajin menyapa.

Kebetulan Salmi punya  saudara perempuan satu ayah di sana. Di tempat keluarganya itulah cowok 21 tahun tersebut menitipkan  saya. 

Tetapi saya bingung  karena sulit berkomunikasi.  Nyaris semua ucapan mereka tiada yang saya pahami. Bila diajak bicara, saya iyo-iyo-kan saja. (Iyo = Iya). 

Ternyata logat Desa Cupak beda jauh dengan bahasa Dusun Pondok Tinggi dan Dusun Sungai Penuh,  yang familiar dengan keseharian saya. Meskipun sama-sama Bahasa Kerinci. 

Sakit di rantau orang

Hari ke dua di tempat yang baru itu, saya mulai kurang enak badan. Besoknya berlanjut demam benaran. Suhu badan saya kadang-kadang panas, kadang-kadang dingin,  kepala sakit serasa dipukul pakai palu. 

Semangat yang tadinya menggebu-gebu ingin segera masuk kelas, terpaksa tertunda. Melapor ke SD No. 124/III cupak  pun saya tidak kuat.  

Saya sedih. Sakit di rantau  orang  tiada  sanak keluarga dan orang tua.  Suami pun jauh di provinsi Riau. Terbaring sendirian di ruang tamu, karena rumah yang saya tumpangi hanya  punya dua kamar.  Satu ditempati  tuan dan nyonya rumah dan 4 anaknya  yang masih bocil.   Yang lain untuk anak perempuan beliau  dan suaminya  yang baru menikah,  

Keluarga berhati emas

Untungnya keluarga  yang saya tumpangi berhati emas. Mereka memberikan saya minum pil bodrek dan entah obat apa lagi yang dibelinya  di warung. Tak ketinggalan pula obat kampung.  Mereka juga menyuguhkan saya nasi,   buah dan camilan lainnya.  Semuanya pahit ditelan. Kecuali buah jeruk.  

Cuma itu yang bisa mereka bantu. Dokter jauh di Kota Sungai Penuh.  Yang  ada Bu Bidan dan Pak Mantri.  Mereka bertugas dan tinggal  di puskesmas Hiang, kurang lebih 6 km dari Desa Cupak. 

Pindah rumah

Saya lupa entah  hari keberapa kesehatan saya pulih tanpa  dijamah oleh tenaga medis.  Yang saya ingat, pasca kesembuhan  saya diajak pindah oleh perempuan 65 tahun.  

Nenek  ramah dan mudah senyum itu mengenalkan dirinya sebagai  saudari kandung ayahandanya Salmi.  Spontan saya memanggilnya Emak. Meskipun sesungguhnya beliau sebaya nenek saya. Dalam kegagapan berkomunikasi, saya nunut saja.

Rumahnya semi permanen, gede tak ketulungan. Saking besarnya, ketika bicara, suara kita memantul kayak dalam masjid.  Dapurnya saja  kurang lebih 12 x 10 meter.  Konstruksi bangunannya  menggambarkan,  bahwa  pemilik rumah tua itu orang kaya pada zamannya. 

Kamarnya ada  3. Tetapi  luaaaas ... banget. Setiap kamar didiami oleh satu keluarga. Semuanya keturun  pemilik aslinya yang sudah lama almarhum. 

Saya di kamar depan. Bergabung dengan Emak, ditambah anak beliau seorang  janda  beranak  2.  Masuk saya jadi  5. Selurh penghuni rumah berjumlah 14 orang. Semua baik-baik saja,   tanpa  adanya konflik.

Bus Saroha dan sepeda 

Zaman itu Desa Cupak  jarang dilewati kendaraan roda 4. Paling sekali  dua minggu  ada mobil tua. Ketika beroperasi mesinnya grbak-grbuk seperti mesin gilingan padi pecah klahar. Pemiliknya  Si Chan orang Tionghoa.  

Dari Sungai Penuh bus ¾ berlabel  Saroha itu hanya mengangkut penumpang  beberapa orang saja (jarang penuh).  Pulangnya membawa kayu bakar. Tak ada jadwal yang pasti hari kedatangan dan keberangkatannya. 

Lazimnya, kalau pergi jauh masyarakat setempat naik sepeda. Termasuk ke ibu kota kabupaten (Sungai Penuh). 

Naik Jeep trailer

Kalau tak punya sepeda seperti saya, tetapi mau ke Sungai Penuh untuk berbagai keperluan, jalan  kaki dulu dari Cupak ke Simpang Tanjung Tanah  kurang lebih 1,5 km. Meniti jalan tanah yang  bertimbun kerikil,  melewati lingkungan sawah dan sedikit belukar. Kondisinya sepi.  

Star dari desa Cupak, sampai ke tempat yang dituju,  belum tentu ketemu seorang manusia pun.  Bila hujan agak rintik-rintik gerombolan babi hutan cuek bebek pamer anak cucu. 

Alhamdulillah saya menghadapinya biasa-biasa saja. Maklum,  orang kampung. Telah kenyang dengan pemandangan hutan dan pernak-perniknya.  Meskipun saat usia saya baru 24 tahun.

Sampai  di Simpang Tanjung Tanah, mencegat Jeep trailer dari Bangko. Itupun sebelum jam 8.00. Selepas itu jangan harap ada  tumpangan lain. 

Sebab, setiap hari hanya ada satu jeep trailer yang masuk. Pulangnya sore sekira pukul  15.00, menunggu Jeep itu lagi berangkat ke Bangko.  Sungguh asyik  bila dikenang. Rame-rame  duduk di bak trailer bercampur aduk dengan barang.  

Pernah juga saya  dapat pinjaman sepeda dari tatangga untuk ke Sungai Penuh. Yang namanya minjam, paling sekali dua.  Setelah itu, tak bakalan dikasih lagi. Ya , sudah. Saya tidak berkecil hati. Memangnya saya ini siapa. Sanak bukan saudaranya bukan. Tiada pula budi yang bersangkut paut. 

Penutup

Kini  suasananya telah berubah 360 derajat. Boleh dihitung dengan jari rumah tangga di Cupak dan Kabupaten Kerinci umumnya  yang  belum punya motor.  Bahkan mobil pribadi pun  sudah bejibun.

Daerah pinggir jalan yang dahulunya ditumbuhi semak belukar, telah dipenuhi bangunan rumah. Lahan persawan  satu-persatu lenyap dari permukaan karena tertutup bangunan mewah dan bagus. Kasus ini menjangkit hampir di seluruh Kerinci. 

Yang paling membahagiakan, hubungan saya dengan masyarakat Cupak terbilang  sangat baik.Terutama dengan sanak famili Emak kos saya dahulu. Meskipun  Emak telah tiada,  anak-anak cucu beliau masih santun dengan saya. Saya pun merasa bagian dari keluarga mereka.  Sekian dan terima kasih.

Baca juga:  

*****

Penulis,
Hj. NURSINI RAIS
di Kerinci, Jambi

16 komentar untuk "Nostalgia di Desa Cupak. Bicara Pakai Trik Iyo Iyo"

  1. Luar bisa ya Bu, ternyata dulu pasangan LDR juga jadi terharu saya 🤧🤧🤧

    Saya ketawa ngakak setelah baca kalimat “Bila hujan agak rintik-rintik gerombolan babi hutan cuek bebek pamer anak cucu.”

    Saya gak bisa bayangkan hutannya seperti apa, Bu Nur usia 24 tahun itu sudah lama sekali. Jarak antar daerah hitungannya masih Km an.

    Semoga Bu Nur dan keluarga terutama Sang Bapak selalu sehat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sempat LDR kurang lebih 2 tahun, ananda Nuhid.

      Hutannya tidak terlalu padat. Cuman belukar biasa. Yang ditumbuhi pohon perdu. Tempat empuk bagi babi hutan cari makan. Mem-bongkar2 tanah mencari cacing.

      Terima kasih doanya. Harapan yang sama pula untuk keluarga di sana

      Hapus
    2. Aamiin,

      Lumayan lama ya LDRnya. 🥲

      Ternyata babi hutan makan cacing juga ya. 😱

      Hapus
  2. Alhamdulillah ibu dapat emak kost yang baik ya.

    Terbayang suasana pada saat itu, pasti daerah desa cupak masih agak sepi ya Bu.

    Syukurlah anak anak ibu kost masih baik.😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, Amin, Mas Agus. Ibu kos dan anak cucunya baik sekali.

      Sepi memang. Makanya babi hutan berkeliaran di semak2 pinggir jalan.

      Terima kasih telah singgah, selamat malam, salam sehat selalu.

      Hapus
    2. Orang jaman dahulu kalo berteman itu bisa sampai puluhan tahun sampai ke anak ya. Kenapa sekarang mulai pudar ya.😩

      Hapus
    3. Karena digilas oleh individualisme ya, Mas Agus

      Hapus
  3. mengenang masa lalu yang pahitpun bisa jadi indah....
    nice story

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, Mas Tanza. benar juga kata orang2. Semuanya bisa indah pada waktunya. terima kasih telah mengapresiasi. Selamat malam dari tanah air.

      Hapus
  4. Ketemu emak di perantauan ..akhirnya malah jadi saudara ya bund,walau keluarga jauh di mana,ketika sakit orang terdekat yg bantu ternyata si emak dan keluarga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar ananda, sekarang mereka seperti saudara sendiri. terima kasih telah singgah selamat malam.

      Hapus
  5. Saya jadi inget rumah di daerah mana, kayaknya sumatera atau Sulawesi yaaa, dalam 1 rumah ada beberapa keluarga, tapi memang rumahnya luaaaaaaas banget Bun. Kayaknya orang zaman dulu memang sengaja membuat rumah seperti itu Yaa. Apa mungkin maksudnya utk berkumpul semua keluarga besar?

    Senang pastinya kalo dpt kluarga kos yg baik. Hubungan pun ttp bagus setelah sekian lama

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang dahulu khawatir anak cucunya tak mampu membuat rumah sendiri. Karena zamannya kurang mendukung tersebab pendidikan kurang. Beda dengan anak sekarang. Mereka sudah dapat bekal pendidikan yang memadai. Tak sanggup cari nafkah di daerah A dia pergi ke daerah B. Tak pedulu cowok atau cewek. Dahulu anak perempuan tidak boleh merantau sebelum menikah. Sekarang malah banyak anak cewek yang masih single yang kuliah dan kerja di luarnegeri. Terima kasih telah singgah ananda.

      Hapus
  6. masa2 perjuangan dulu y bu, dengan keterbatasan akses tapi mau gimana lagi namanya kerja, semangat bu sekarang sudah agak santai ya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali ananda Rezky. Jika anak-anak sekarang dihadapkan dengan situasi begitu mungkin mereka sudah kabur..

      Hapus