Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Setelah Istriku Berpenghasilan [Part 2]

Ilustrasi Setelah Isriku Berpenghasilan

“Setelah Istriku Berpenghasilan” tayang lagi. Ini adalah bagian ke dua dari cerita bersambang karya penulis beken S. Prawiro.  Bagi Anda yang belum membaca part 1, silAkan mampir di sini. 

Tetapi  kali ini ada  berita duka yang menyelimuti  Mas Wiro. Empat hari yang lalu ayahanda beliau berpulang  untuk selamanya.   Keluarga besar nenek  celotehnur54 turut berduka cita ya, Mas Wiro. Semoga Almarhum khusnul khatimah dan istirahat dengan tenang di sisiNya. Amin. 

Setelah Istriku Berpenghasilan [Part 2]

S. Prawiro

Panik    

“Mbak, Mbak bisa ke rumah sebentar gak?”

“Iya, Kak, Kenapa, Kak?”

Kuyakin tetanggaku ini bisa merasakan kepanikanku. Apalagi setelah mendengar suara Jaidan yang masih meraung-raung kesakitan.

Terpaksa kutahan tetanggaku satu ini. Wanita yang oleh istriku sangat diwanti-wanti jangan sampai ada interaksi dengannya. 

“Ini Jaidan kepalanya kejedok tembok. Tolong ini harus diapain,” Cecarku panik. 

Ya, Ampun istri kakak emangnya ke mana?”

“Dapat panggilan kerja, Mbak.”

Aku tidak bisa berbohong kali ini. Besok-besok kalau ketahuan malah susah minta tolong sama tetangga yang cantik, ramah, dan baik hati ini.

Dia bukan tetangga yang kemaren tak sengaja kulirik.Kalau Mbak ini rumahnya persis samping rumah kami. Pindah dari kampung sebelah . Janda tanpa anak. Dengar-dengar suaminya mati kelindas mobil di bulan ke lima mereka menikah. 

“Ada pisau gak, Kak.“

"Ada-ada. Bentar ya. Saya ambilkan di dapur dulu.” Sambil kulirik jam di dinding, aduh sudah mau jam sembilan pagi. Harus jemput si sulung dari teka. 

Gegas kucuci pisau yang masih kotor. Lalu kuantarkan ke depan.

“Buat apa, Mbak, pisaunya?”

“Buat nekan-nekan benjol biar kempes.”

“Harus pisau ya, Mbak?”

“Boleh es batu juga, sih.”

Ya, Udah. Pakai es aja kalau gitu, serem liatnya”

Perempuan itu tersenyum manis. Lesung pipinya langsung terlihat. 

Setelah Jaidan berhenti menangis. Aku minta tolong sekali lagi sama si Mbaknya. 

“Mbak namanyasiapa?”

“Firah.”

“O, ya, Mbak Firah minta tolong sekali lagi ya, tolong anak saya diajak main sebentar aja. Mau ke teka jemput kakaknya.”

“Ok, Kak, jangan lama-lama ya.”

Sampai di teka langsung kugendong Rafadon ke atas motor. Sepatunya kuambil dari rak dan menyempilkan di jok motor. 

“Cepat yuk! Nanti adek nangis.”

Saat kembali, Jaidan dan Firah tak ada di rumah. Saat mengecek rumah tetanggaku, kok digembok dari luar. Aku keliling bersama Rafadon mencarinya sampai tengah hari namun tidak terlihat juga. 

Ya, Tuhan. Ke mana Jaidan. Apa dia diculik. Astaga. 

Hari itu tak satu rupiah pun uang masuk  ke rekening. No sell. Tidak ada penjualan sama sekali. 

Ini semua gara-gara Rahel yang gak pandai bersyukur.  Kacau deh, semuanya.

Belum Rafadon yang sudah mulai pandai membantah, ngider terus maunya diajak jalan cariin adiknya sampai ketemu.

“Pak cariin Adek, kasian lho.”

Dalam kepanikan itu aku mencoba menghubungi mamak di kampung. Kuceritakan panjang lebar.

“Kenapa istrimu bisa cari kerja? Memangnya tak cukup uang yang kamu kasih ke dia?”

“Cukup sih, Mak. Tapi dia juga mau ngasih buat orang tuanya.”

“Kalau kalian masih kekurangan, Mamak di sini tak usah dikasih dulu. Masih banyak saudaramu yang lain. Kalian itu sebelas bersaudara. Mamak tak akan kelaparan.”

“Ya, Mak.”

“Kamu tarik napas. Berpikir yang tenang. Baca doa terus pergilah cari cucuku itu semoga cepat ketemu.”

Tepat saat telepon terputus, seseorang mengetuk pintu. Suara cewek. Dia menggendong Jaidan yang lemah Tak berdaya. 

“Anak saya kenapa?” 

Perempuan itu meletakkan jari telunjuk di bibir merahnya. Tanda aku tak boleh berisik. Rupanya Jaidan ketiduran. Tadi karena nangis-nangis lagi saat ditinggal dan benjolan di kepalanya nampak makin membesar. Jadi Firah berinisiatif membawanya ke klinik. 

“O,ya, tak kira anak saya diculik.”

“Maaf ya, darurat  soalnya.”

“Gak apa-apa, Mbak Firah, makasih banyak, lho.

Oh, ya, ni tagihannya.”

Bola mataku nyaris melompat melihat angka Rp 725.000.

“Tolong gantiin uang saya ya, Kak.”

“Transfer bisa kan?” 

“Bisa.”

Setelah memasukkan nomer rekeningnya aku pun transfer satu juta. Buat biaya capek dan lain-lain. 

“Sudah berhasil ya.”

Aku memperlihatkan bukti transfernya. 

“Kok dilebihin, Kak?” 

“Gak apa-apa sebagai ucapan terima kasih.”

*
Jam enam sore, Rahel akhirnya pulang. Dia lebih glowing dari berangkat tadi. Lebih cantik dari tetangga, lebih menarik dari senyum Firah si janda sebelah. 

Tapi itu tidak cukup membuatku senang.

“Kamu benaran kerja?”

“Iya, buat bantu-bantu, Mas. Dan sebaliknya Mas bantu-bantu kerjaan yang biasa Rahel kerjakan di rumah. Adil kan.”

“Kamu tau gak, gara-gara kamu pergi seharian, makan pun aku ndak sempat ya. Dan lihat itu Jaidan jatoh. Tuh kapalanya diperban.”"Astaga Mas, fokus dong, Mas. Dan jangan lupa makan biar gak sakit.”

"Untung tetangga sebelah gercep bawa ke klinik. Sempat tak kira diculik itu anak.”

Baru sehari juga Mas, udah heboh begini.”

“Ya  iyalah. Aku tuh laki-laki. Tugasku cari uang. Kamu seperti biasa saja di rumah.”

“Gak bisa mas.  Aku dah dikontrak setahun. Kalau aku mundur kita bisa kena pinalti. Udahlah tahan dulu cuma setahun doang kok.  Kecuali ada perpanjangan.”

*

Kudengar Rahel menelpon temannya.  Ia bilang kalau cara makeupnya terlalu norak.  Jadi sampai di kantor para sales girl diberikan pelatihan make up sekaligus diberikan secara cuma-cuma sepaket perlengkapan make up dari kantor untuk meningkan ketertarikan pelanggan nantinya. 

Istriku keterima sebagai sales rokok. Begitu katanya. Bakal banyak agenda ke luar kota.  Jadi anak-anak tolong dikondisikan.

Tiba-tiba Rahel bertanya curiga.

“Habis transfer ke siapa Mas,  satu juta?”

Istriku menerima notif uang keluar.

“Ke tetangga sebelah.”

“Si Firah Janda itu kan? Kamu ada hubungan apa dengan dia, Mas?”

“Gak ada hubungan apa-apa.”

“Terus kenapa kamu ngasih dia duit sebanyak itu?”

“Itu kan untuk ..”

“Untuk apa Mas?”

Belum selesai aku ngomong, aku dilemparkannya pakai bantal.”

“Tidur di luar saja.” 

(BERSAMBUNG)

Baca juga:



 

18 komentar untuk "Setelah Istriku Berpenghasilan [Part 2]"

  1. Hahaha..begitulah ya bund..kalo perempuan cemburu ....mau jelasin pun susah...soalnya si istri udah tau kelakuan suaminya...jadi gak mau gampang percaya penjelasan suami...banyak cerita seperti ini dalam kehidupan sehari-hari

    BalasHapus
    Balasan
    1. .... si istri udah tau kelakuan suaminya...jadi gak mau gampang percaya penjelasan suami.... Haha melihat janda matanya jelalatan.

      Hapus
  2. Me gusto mucho. Te mando un beso.

    BalasHapus
  3. hehehe.....
    lelaki cenderung baik dengan perempuan lain, padahal kadang kadang cuma pura pura aja....tapi, istri cemburunya minta ampun....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha .... Sehelai rambut pun istri tak rela jika suaminya baik pada wanita lain, plit pada istrinya sendiri. Meskipun dengan alasan pura2.

      Hapus
  4. Hahahahahaha ama perempuan lain dilebihin transfer.Istri minta jalan2 dan beli2 dihemat2..menyebalkan bgt emang wkwkwkkw...ikutan dukung istrinya nih bun

    BalasHapus
  5. Hahaha, akhir cerita yang membuat penasaran
    untung lempar bantal, kalau lempar sandal?
    Aduh itu tetangga alias janda itu baik sekali ya. Penuh perhatian pula
    Ah soal transfer,baru uang segitu. Kan demi pengganti biaya pengobatan anak ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh jadi sang janda tetangga itu ada udang di balik batu ya, ananda. Meskipun transfernya untuk pengganti biaya obat, yang namanya suami berurusan dengan janda, selaku istri pasti ada cemburunya. He he

      Hapus
  6. Dilebihin pulaaa 😂. Makin perang dunia iniii. Aku nunggu2 loh bunda part 2 nya. Akhirnya begitu ada, langsung baca 😄👍. Makin penasaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap, ananda. Tunggu tanggalnya. Terima kasih telah singgah.

      Hapus
  7. perempuan kalau sudah cemburu... jangan sesekali 'test' perasaannya... mungkin akan berlaku 'perang dunia ketiga' hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wajarlah cemburu, karena Firah dan si "aku" seakan membuka kesempatan untuk kontak2an. Haha ....

      Hapus