Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terbukti, Kepepet Lahan Subur Tempat Tumbuhnya Ide Cerdas

 Uncategoriezed

Ide bisa muncul kapan dan di mana saja. Termasuk saat sedang kepepet. Bak pribahasa orang tua-tua, “Tak ada rotan akarpun jadi. 

Saat kepepet kita sering panik mengahadapi situasi. Padahal, jika disikapi dengan tenang, rintangan dapat diubah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ide-ide cerdas. Tak Percaya? Ikuti dua kisah berikut ini. 

A. Rambu-rambu ajaib

Janda setengah baya itu kakak sepupu nenek saya. Adik-adiknya menyapa beliau Engah atau Ngah, artinya tengah, atau anak nomor dua dalam keluarga. 

Saat usianya 35 tahun, Ngah ditinggal merantau oleh anak lelakinya ke Jambi. Sejak pergi, si anak tak pernah berkirim kabar. Hilang tak tahu rimbanya, mati tidak tahu kuburnya.  Bahkan informasi kematian ayahnya pun tak bisa disampaikan padanya.

Maklum zaman itu, telepon dan pos belum ada.  Hanya air mata yang bisa ditumpahkannya  dikala Ngah merindukan anak lelaki satu-satunya itu 

Tahun ke tujuh bepisah, rindu sang Emak mencapai klimaks. Ngah mengutarakan rencananya untuk berangkat ke Jambi. 

“Jambi itu jauh Ngah. Tak bisa ditempuh dengan jalan kaki.  Enam ratus kilo dari sini. Kami takut Ngah nyasar tak bisa balik lagi. Ngah tak tahu baca tulis,” protes salah satu adik perempuannya.

“Kalian jangan menghambat kemauan saya, saya tidak minta uang pada kalian. Apa kalian tega melihat saya mati kering menahan rindu?  protesnya. “ Kalau nyasar, saya punya mulut untuk bertanya.” 

Tiada satu pun sanak saudaranya yang merestui kepergian Ngah. Alasannya, menurut pengalaman, zaman itu setiap warga kampung tersebut yang meranau ke Jambi, tak pernah kembali lagi. Sebab Jambi itu luas, mencakup satu provinsi. Alamat yang dituju pun tidak jelas, apa di kotanya atau di pedalaman. 

Dengan modal nekad dan perbekalan seadanya, Ngah berangkat ke kota Jambi
Singkat cerita, sampai di kota Jambi tanpa memperlihatkan secarik poto pun Ngah bertanya kesana-kemari. Apa ada yang mengenal anak bujangnya  bernama Jalah. 

Tiada jawaban yang mengindikasikan titik terang. 

Ketika melewati persimpangan di tengah kota, beliau membubuhkan tanda silang pada salah satu benda yang ada di sana menggunakan kapur sirih. Misalnya dinding rumah orang, batu, atau apa saja yang bisa dicoret untuk meninggalkan jejak. 

Tujuannya, kapan tersesat dia akan berbalik ke belakang dengan berpedoman rambu-rambu ajaib yang dia tinggalkan sebelumnya. Begitu juga ketika melewati gang-gang sempit. “Coretannya saya bikin banyak. Kalau cuman satu takutnya terhapus,” cerita Nhah pada sanak keluarganya. 

Kurang lebih satu tahun Ngah lontang-lantung di kota Jambi, upayanya tidak membuahkan hasil. Dia  kembali ke kampung halaman dengan tangan kosong. 

Momen  tersebut terjadi waktu  saya belum lahir. Kini Ngah telah tiada. Storynya ini masih terawat sampai kini.  Dan telah  tertoreh dalam sejarah keluarga kami secara turun temurun. 

Jika direnung lebih dalam, ada hal  menarik yang patut diulik  dari kisah  pengembaraan Ngah ini. Dalam situasi kepepet manusia bisa melalukan apa saja untuk menyelamatkan diri. Dari sini lahirlah ide cerdas tak terduga, seperti yang  dilakukan Ngah.

Dia mampu menciptakan rambu-rambu jalan dengan caranya sendiri. Sesuai dengan kemampuan akalnya sebagai seorang buta huruf. 

Meskipun tidak berhasil menemui buah hatinya,  Ngah sudah kembali dengan selamat. Semuanya adalah berkat kepiawaiannya mengelola ide cerdas yang detemuinya saat  sedang kepepet.

B. Listrik tenaga manusia

Selanjutnya saya ingin berbagi pengalaman pribadi. Jauh sebelum listrik masuk desa, usaha menjahit saya mencapai puncak kejayaannya. Namun, Kesehatan saya tidak mampu memutar mesin jahit. Jika dipaksa,  setelahnya  perut saya sakit badan meriang. 

Saya harus memutar otak bagaimana caranya agar usaha lancar, tanpa mengorbankan kesehatan. 

Suatu hari Didi  (5 tahun) anak tetangga  mengutak atik mesin jahit saya dengan kakinya dari posisi terbalik. Artinya,  Didi memutarnya (berdiri) di sisi yang berlawanan.  Saya berpikir. Apa tidak mungkin, kalau saya menjahit mesinnya diputar oleh kaki orang lain. jarum dan benangnya di bawah kendali saya.

Besoknya, saya  tawarkan kepada 2 putri ibu kost. Satu kelas 6  SD lainnya kelas 2 SMP. “Siapa yang mau belajar mutar mesin dan membantu Ibu menjahit? Setiap lembarnya dihargai sebanyak biaya obrasan.” 

Dengan antusias kedua calon tenaga kerja itu minta diajari sampai pandai. Setelah mahir, mereka bekerja secara bergiliran. Kegiatan dilakukan jam-jam pulang dari sekolah. 

Mulai saat itu, saya menjahit pakai listrik tenaga manusia. Saya punya tangan, orang lain punya kaki. Kami duduk saling berhadapan. 

Setelah kami pindah ke rumah sendiri,  tenaga kerja saya bertambah. Anak-anak tetangga baru pun jadi terampil memutar mesin jahit. Supaya adil saya buat sistim giliran. 

Setiap lembar baju yang  siap dijahit upahnya langsung dibayar. Ada juga yang menolak dengan alasan, dikumpul dulu biar sekali terima banyak.

Untung Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 belum lahir. Kalau tidak saya dituntut oleh Almarhum Mahardika Sirait dan Kak Seto. Bisa-bisa saya dipenjara karena mempekerjakan anak-anak di bawah umur. He he ....

Mencermati pengalaman saya dan Ngah, dua-duanya berawal dari kondisi kepepet. Bedanya, ide si nenek muncul spontanitas sedangkan saya tercetus dari pengamatan di lingkungan.  Sekian dan terima kasih. Semoga bermanfaat.

 Baca juga:

****

Artikel ini teah tayang di kompasiana.com dengan judul, Takut Kepept? Tiru Pengalaman ini! (27/09/2018)

13 komentar untuk "Terbukti, Kepepet Lahan Subur Tempat Tumbuhnya Ide Cerdas"

  1. Bener juga sih bund ..kalo sedang kepepet justru timbul ide baru yang kadang di luar nalar kita heheh...idenya Ngah tadi boleh juga ya karena keterbatasan dia ga bisa baca jadi coret pakai kapur supaya gak nyasar...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, ananda. Kalau dia sempat sekolah mungkin masuk 10 besar di kelas juga ya. He he.... Terima kasih telah berpartisipasi. Selamat malam.

      Hapus
  2. Baru tahu maksud kepepet adalah sama dengan tersepit atau terdesak. Ia akal akan cari jalan di waktu kepepet.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Faizal. Bahasa Indonesia nya juga begitu. Kepepet bukan bahasa Indonesia baku. Tetapi bahasa gaul. Terima kasih telah hadir. Selama malam.

      Hapus
  3. Luar biasa kisah yang diceritakan, Mbak.
    Memang saat kepepet suka timbul ide-ide yang sebelumnya tak terpikirkan.
    Kisah mencari anak ke Jambi itu menyedihkan, Mbak. Apakah akhirnya si anak pulang kampung menengok ibunya? Ataukah sampai wafat gak lagi berjumpa dengan anaknya?
    Rupanya Mbak penjahit ya? Kakek saya penjahit, menggerakkan mesin jahit masih dengan kaki. Istri saya juga penjahit. Tapi sudah menggunakan listrik untuk menjahitnya. Tapi sekarang istri saya sudah tak lagi menerima pesanan jahitan.

    Salam,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pulang sekadar menjenguk. Kemudian pergi lagi. Karena dia sudah punya anak dan istri di jambi.

      Kisah hidup beliau sangat menyedihkan, Mas Asa. Ngah cuma punya anak 2. 1 laki 1perempuan.Terus anak perempuannya meninggal. Karena kesedihan yang mendalam, dan tiada lagi tempat bersandar, dia berangkat ke jambi memboyong semua cucunya. Akhirnya meninggal di Jambi. Duh panjang banget. He he he....

      Hapus
  4. El tesón y le temple de nosotras nunca cae. Me gusto conocer tanto la historia de tu abuela y la tuya. Te mando un beso.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga peristiwa itu tidak terjadi pada kita ya Alexander. Terima kasih telah berinteraksi. Salam hangat selalu.

      Hapus
  5. Kalau sudah kepepet
    serba nekat
    saya juga begitu :D

    BalasHapus
  6. Justru kebanyakan ide itu timbulnya pas kepepet bunda, karna otak bekerja maksimal hihihihi

    Lucu bgt mempekerjakan anak di bawah umur, padahal kan anak2 senang, itung2 bantu tapi dibayar hihihi, daripada nyariin uban orang tuanya hahahha

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau tidak panik, seribu satu pelajaran yang bisa kita temui saat kepepet ya, ananda. Lain kisah kalau kita panik.

      Hapus