Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal Usul Barang Charity, dan Penyalurannya di Negeri tanpa Pemulung

Catatan Perjalanan ke Inggris (12)

Charity Box (Foto Arie)

Pada bagian ke 10 catatan perjalanan ke Inggris, saya telah mengulas tentang 5 Trik Belanja Hemat Ala Mahasiswa Indonesia di Birmingham Inggris. Salah satunya membeli barang di Charity Shop. Yaitu toko menjual barang-barang second, kualitas bagus  harga miring.

Mosok. Barang bagus dijual murah.  Ya, iyalah. Namanya saja benda loakan, tidak berguna oleh empunya,  

Saat bersih-bersih, tuan rumah sengaja  mengeluarkan barang yang tidak mereka inginkan lagi. Tetapi masih layak pakai bagi orang yang membutuhkannya.

Barang-barang yang sudah bergeser status menjadi limbah tersebut, mereka sumbangkan ke badan-badan amal. Kemudian oleh petugas sukarelawan, dijual kembali ke toko-toko Charity. Dari sinilah asal usulnya barang Charity.

Setelah dijual, sisa biaya operasionalnya digunakan sepenuhnya untuk membiayai gerakan riset/kemanusiaan di dalam dan luar negeri yang sangat membutuhkan. Misalnya Negara yang dilanda kekeringan, peperangan atau kurang gizi, dan lain-lain sebagainya. 

Keren kan? Tak heran Inggirs dijuluki negara memiliki budaya amal dan rasa ingin berbagi nomor wahid. Sekaligus didaulat sebagai rakyat yang memiliki kepedulian tertinggi di dunia. 

Bagaimana prosedur penyalurannya?

1. Diantar Langsung ke Toko

Orang Charity akan menerima dengan senang hati jika  donatur bersedia mengantarkan langsung barang barang yang akan disumbangkan ke toko mereka.

Di sini terjalin hubungan saling menguntungkan. Pemilik toko membeli dagangan dengan harga murah, yang punya barang tertolong menangani sampah. Dan yang paling terbantu adalah pihak penerima santunan.

2. Dijemput ke Alamat

Baberapa toko Charity menawarkan pada kepada masyarakat, bila ada barang yang hendak disumbangkan, petugas bersedia menjemput ke alamat. Proposisi tersebut disampaikan melalui perboden yang ditempelkan di toko-toko Charity. Ada juga tawaran langsung. 

3. Menaruhnya ke kotak Charity

Cara lain, penyumbang barang second di Inggris adalah menaruhnya ke charity box, yang tersedia di pinggir jalan pada tempat-tempat yang strategis. Dalam jangka waktu tertentu, relawan akan menjemput dan mengantarkannya ke toko Charity.

Karena kapasitasnya terbatas, kotak Charity hanya digunakan untuk menaruh fashion second saja. Umpanya sendal, sepatu, baju, dan sebagainya.

Sedangkan barang-barang furnitur dan perbot ukuran besar seperti jok, lemari, kasur, kulkas,  dan sebagainya, sebelum diangkut teronggok di halaman depan. Siapa yang butuh boleh diambil. Gratis, tiada yang melarang.

Tak Ada Pemulung

Menjelang relawan mejemput, limbah purnitur dan perabot tadi dibiarkan tergelatak begitu saja. Petugas persampahan tidak akan mau mengangkutnya ke Tempat Pengolahan Akhir. Kecuali sampah harian rumah tangga dalam tong sampah.

Sayangnya, di negeri Elyzabeth itu saya tidak memui pemulung. Entah adanya di kota lain, allahu alam bish shawab.

Kecuali di Sally Oak Birmingham, ada Alin seorang pria tetangga asal Gambia. Sekali setahun pria black ini sengaja meliburkan diri dari pekerjaannya demi memanfaatkan waktu untuk memulung.

Rutinitas itu dilakoninya setiap bulan Juni. Sebab, pada bulan tersebut banyak bergantian penghuni rumah kos. Usai kuliah, mahasiswa lama pulang ke negaranya dan barang miliknya harus dibuang. Kemudian diganti oleh pendatang baru.

Alin pernah bercerita pada anak saya, pada momen ini, dia tidak segan-segan mengetuk pintu mahasiswa. Tujuannya kalau ada barang yang akan dibuang dia siap menampung. “Enaknya mahasiswa asal China. Sering ngasih jaket sekalian isi kantongnya. Jaket dapat uang dapat,” kisahnya.

Oleh Alin, hasil pulungannya ia salurkan pada tangan ke-dua, untuk dijual kembali ke pasar-pasar Car boot. Prihal Pasar Car boot  pernah saya ulas Pada bagian ke 10 catatan perjalanan ke Inggris.

Untuk diketahui, tidak semua warga Inggris mau mendonorkan barang yang tidak diinginkannya kepada pihak mana pun. Tidak ada pula paksaan bagi mereka untuk menyumbang. Masyarakat golongan ini, menjual sampah spesialnya langsung di pasar-pasar Car Boot. Makanya barang-barang di sana lebih murah daripada di toko Charity. 

Kembali ke cerita Alin. Pria tersebut mengaku satu kali musim dia berhasil meraup 4000-5000 poundsterling. Jika dirupiahkan kurang lebih antara Rp 80-100 juta.

Semula Alin menyewa sepetak rumah untuk menumpukkan hasil pulungannya,  Sekarang tempat tersebut sudah jadi miliknya. Dia membeli dengan harga pantastis, dari  hasil memulung. 

Apakah perbuatan Alin ini dilarang Undang-Undang? Tidak sama sekali. Siapa saja boleh mengambil barang di pinggir-pinggir jalan kalau butuh. Termasuk imigran dari luar negeri.

Penduduk setempat pun tanpa gengsi-gengsian ikut memungut barang yang diinginkannya. Andai seorang mahasiswa membutuhkan meja belajar lengkap dengan kursi putarnya, atau lemari pakaian dari kayu, tak perlu dibeli.

Untuk apa mengeluarkan duit jutaan rupiah. Paling dipakai 1-3 tahun. Semetara barang tersebut tinggal nyeret. Tak ada yang melarang. Malah empunya berterima kasih karena merasa terbantu mengurangi sampah. 

Demikian asal usul barang di Charity Shop dan prosedur penyalurannya di Inggris negeri  tanpa pemulung. Semoga bermanfaat.

Baca jug:

****

Ditulis oleh, Hj. NURSINI RAIS, Kerinci, Jambi

Catatan: 

Materi ini pernah saya tulis di kompasiana.com (17/10/2018), dengan judul dan sudut pandang berbeda.

 


26 komentar untuk "Asal Usul Barang Charity, dan Penyalurannya di Negeri tanpa Pemulung "

  1. Enaknya tanpa pemulung jadi aman 😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, ananda Dinni. Disana sampah diolah dengan benar, tak ada yang tergeletak di pinggir jalan. Karena setiap rumah punya tong sampah. Petugas pun rutin menjemput.

      Hapus
  2. Taunya kalo sharity itu dikasih ke tempat anak seperti di toy story mbak :))

    emang beda ya mbak, di negara maju.. kalo di rumah saya, selama barang masih bagus, ya ga beli baru gitu :))

    walaupun emang ada yang perlu dibeli baru, barang lama udah pasti di kasi ke tukang loakan yang sering ngider depan rumah juga si..

    apa pakaian impor-impor second itu juga hasil charity dan "mulung" gini ya mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Beda, Mas. Mereka memanfaatkan hasil penjulan barang second untuk keperluan amal. Kalau dipungut sama pemulung itu untuk keperluan pribadi. Di sisnilah enaknya negeri tanpa pemulung.

      "apa pakaian impor-impor second itu juga hasil charity dan "mulung" gini ya mbak?"

      Gak Tau juga Mas. Mungkin iya. Karena negara kaya itu menganggap barang bekas itu limbah yang harus disingkirkan. Bukankah negara kita menolak pakaian loakan impor? salah satu alasannya karena dianggap sampah/limbah. He he... Ternyata sampai sekarang benda tsb masih banyak beredar. Kalau di Jambi itu salah satu Pusatnya besarnya di Pasar Lopak dekat Angso Duo. Saya pernah ngobrol dengan salah satu pedagangnya. Kata dia, untuk mendapatkan dagangannya sekarang sudah sulit. harus kucing-kucingan juga. Makanya sekarang harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan zaman dahulu. Duh... kepanjangan, Mas Adie. terima ksih telah singgah.

      Hapus
    3. Oiya mbak? saya baru tau kalau jual barang second impor itu dilaraaang.. buktinya banyak sekali yang jualan pakaian bal-bal (thrifting) ini di instagram..

      Malah saya pernah beli 1 tas 2nd ini :))

      masih cakep banget dengan harga miring..

      Hapus
    4. Saya juga suka barang second. Mas Andie. Tapi gak bisa membeda mana yang bagus dan jelek. He he ... Biasanya anak yang beli. Oh, baru tahu saya banyak dijualnya via instagram. Terima kasih informasi tambahannya, Mas.

      Hapus
  3. wah keren dirawat dan dijaga dengan baik ya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak/Mas. Selamat beraktivitas. Doa sehat untukmu selalu.

      Hapus
  4. Gampang banget, Mas Riza. Manfaatnya pun sangat besar. Terima kasih telah singgah. Salam sehat dari jauh.

    BalasHapus
  5. Menarik nih mba nur, boleh di terapkan di negara kita Indonesia, karena bisa mengurangi sampah dan membuat masyarakat lebih pintar dan cerdas dalam mengelola barang bekas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau dikordinir oleh pihak terkait, pasti bisa ditiru, Mas Kuanyu. yang sulit itu memulainya. Terima kasih telah singgah selamat sore.

      Hapus
  6. wah....bisa sesukses itu cerita alin....huhu akhirnya berkat memulung barang bekas yang sudah tak dipake lagi, kini ia kaya
    inspiratif juga

    dan masalah persampahan ini di negeri Ratu Elizabeth sana ternyata sangat ketat dan terstruktur ya Bund :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. dan masalah persampahan ini di negeri Ratu Elizabeth sana ternyata sangat ketat dan terstruktur ya Bund. >>> Betul ananda. Kanal saja di tengah kota tidak terlihat sampah plastik berapungan seperti di negeri kita. Terima kasih, telah berkenan singgah. salam sukses untukmu selalu.

      Hapus
  7. wuih keren banget saya bahkan baru benar benar mengerti perihal barang barang charity ini dari artikel ini....mmmm...bagaimana ya kalau saya manfaatkan juga yang disni :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau mau beramal malah bagus, Mas Sofyan. Tapi kalau saya, baju bekas sering disumbangkan pada keluarga sendiri. Terima kasih, telah hadir, Mas. Doa sehat untuk keluarga di sana

      Hapus
  8. Kunjungan perdana ke blog ini. Di Inggris, manajeman penyaluran barang untuk charity begitu tertata rapi. Tentunya meminimalisir diambil oleh yang bukan haknya dan tentunya demi kebersihan lingkungan juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, mas Vicky. Di akui atau tidak,
      7 generasi akan datang pun belum tentu kita bisa meniru kemajuan mereka. Tapi adapula kelebihan bangsa kita yang tidak mereka miliki. Selamat malam. Terima kasih telah mampir. Semoga kunjungan perdana ini tetap berlanjut. Asal ada jejak tinggal di sini, insyaallah akan dirunut balik.

      Hapus
  9. bu Nur saya salut dengan cara kerjanya
    jadi barang bekas masih bisa digunaka untuk hal operasional yang bermnfaat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba kalau masyarakat kita meniru gerakan mereka. Mungkin bisa berhasil. Sayangnya, selagi bisa dipakai orang kita tidak mau membuang barang/bajunya yang masih layak pakai. Apalagi dia nyaman dipakai. Sebelum minta ampun, dipakai terus. He he .... selamat sore, Mas Ikrom. Terima kasih telah mengapresiasi.

      Hapus
  10. Menarik sekali ya Bu Haji,
    Apalagi kalau bisa sampai diterapkan di masyarakat kita, pengelolaan sampah ini kan mbulet banget dari sejak rumah tangga sampai tingkat RW dan seterusnya.

    Kalau saya biasanya menerapkan setiap beli pakaian baru, pakaian lama yang masih bagus harus saya berikan kepada yang memerlukan. Kalau pakaiannya sudah tidak layak saya jadikan lap saja, hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak Pipit, Sampah ini memang jadi masalah. Jangankan dalam lingkup lebih luas, Sampah rumah tangga saja memusingkan.

      Sama, Mbak Pipit. Saya jaga ngasih keluarga baju yang tidak terpakai tapi layak pakai. Kalau tak layak, muaranya untuk lap lantai. Tetapi 15 tahun terakhir, sanak keluarga di kampung kurang mengharap dikasih baju bekas. Kadang sampai ke mereka dijadikannya lap. Sebab sekarang orang tak lagi yang kekurangan pakaian. Beda dengan era sebelumnya.

      Terima kasih telah mampir. Selamat malam. Doa sehat untuk keluarga di sana.

      Hapus
  11. lumayan....terutama untuk yang uangnya pas pasan...bisa hemat.

    Informatif ..... thank you for sharing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bagi mahasiswa yang pandai berhemat sisa beasiswa per bulannya bisa ditabung. Selamat istirahat, Mas Tanza.

      Hapus
  12. Informasi yang menarik Bu Nur, mengenai Charity Shop yang sangat membantu untuk teman teman yang membutuhkan barang barang berkualias dengan harga miring.

    Memang luar biasa ya, Negeri Tanpa Pemulung. salam sehat Bu

    BalasHapus
  13. Terima kasih telah singgah, Pak Eko. Maaf telat merespon. sejak tanggal 6 lalu saya ikut anak dan menantu jalan2. Eh .... 2 hari terakhir hp saya ngambek. Benar2 bikin panik.

    BalasHapus