Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 7]

Ilustrasi Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 7].  Foto S. PRAWIRO
 
Hai, sobats  Celotehnur54! Cerpen Bertema Kehidupan hadir lagi dengan  judul Dua Kurcaci. Ini kisah ke 7 dari karya Eyang Wiro yang diangkat dari bukunya Dongeng Orang Kecil.

Seperti bagian-bagian sebelumnya, cerpen ini adalah obat gratis bagi kita-kita yang sering digerogoti   kerinduan. Rindu pada kampung halaman, rindu pada orangtua, rindu masa kecil dan teman-teman  yang pernah singgah pada drama korea si cinta monyet. Eh ...,  maaf, melenceng. He he ....

Saya yakin, dengan membaca riwayat masa dulu seseorang, penyakit menahun yang bernama rindu itu akan terobati. Terlebih  jika ditulis oleh pakarnya Eyang Wiro, yang tak lain adalah pelaku sejarahnya sendiri.  

Oh, ya. Mulai sekarang, Buku Dongeng Orang Kecil dalam bentuk cetaknya telah bisa dipesan. Yang berminat, silakan hubungi penulisnya S. Prawiro WA 0852-1868-3868. Selamat menikmati.

Dua Kurcaci

Ilustrasi Cerpen Dongeng Orang Miskin [Part 7] Dua Kurcaci. (Sumber Foto diambil dari bangka.tribunnews.com)

Seseorang pernah berkata padaku. jika ingin melihat  salah satu bentuk kasih sayang yang paling kentara dari seorang ayah pada anak lelakinya, barangkali lihatlah saat anak dikhitan.

Pagi itu warga sekelompok kompleks kumuh tempatku tinggal, serempak mendatangi Puskesmas. Para orang tua diiming-imingi sarung dan sejumlah uang oleh panitia agar membiarkan putranya ikut dalam  acara khitanan massal.

Aku menurut saja.

Mamak terlihat gembira dan berapi-api ketika mangantarkan aku dan adik. Dengan tubuh mungil, kami persis seperti sepasang kurcaci yang mengapit ibunya di kiri dan kanan.

Sepanjang perjalanan, Mamak terus bercerita. Membesarkan hatiku dan Mono, memotivasi dengan suara penuh semangat agar dalam dada dua anaknya tertancap keberanian.

“Tidak usah moko takut, Nak. Nabilang Bapak-mu, rasanya seperti digigit semut merah.”

Lama tinggal di kota Daeng, logat Makassar Mamak yang asal Toraja pun semakin kental.

“Satu atau dua semut, Mak?” Polos aku bertanya.

Jari masih mengait erat dipergelangan tangannya.

“Semut satu gelas.” Mono menyambung.

Rumah kami yang berlantai tanah sering disinggahi semut merah lalu menggigit siapa saja.  Bisa kubayangkan rasanya bila ada segelas penuh semut merah menyerbu saluran kencingku.

Bahuku berjingkat. Ngeri.

“Nanti kalau celanamu dibuka, jangan lupa baca syahadat.”

Kepala kami manggut-manggut.

Sesampai di Puskesmas, badan mulai gemetaran, dahi berembun lantaran keringat. Terlebih saat mendengar satu per satu nama dipanggil. Pikian buruk bergentayangan.

Bagaimana kalaumereka salah potong? aku tidak mau burungku buntung

Aku belum mau mati.

“Mak!” Merasa cemas, aku bertanya, “Matikah orang kalau tidak baca syahadat, Mak?”

Belum sempat mendengar jawaban, namaku disebut cepat sekali. Aduh, kenapa harus duluan, kayak tidak ada orang lain saja.

Mamak ikut panik, mungkin karena wajahku mendadak pucat. Mono justru cekikikan, dia puas melihatku seperti tawanan yang siap dieksekusi di meja jagal.

Mati-matian aku kumpulkan keberanian. Kata orang, tidak apa-apa. Asal dokternya laki-laki.

Namun bayangan orang memegang parang kembali mengusik. Teringat cerita kakek yang disunat memakai parang gara-gara bilah bambu yang biasa digunakan lupa ditaruh. Entah itu kisah sesungguhnya atau cuma rekaan. Yang jelas, cukup membuatku ngeri memikirkannya.

“Pasti laki-lakiji.” Aku berbicara sendiri, menggelengkan kepala berkali-kali. Berjalan masuk sembari mengenang pengalaman sunat yang diceritakan teman-teman.

“Jangan sampai perempuan yang sunat ko. Kalau punya-mu berdiri, bisa banyak suntikannya. Suuakiiit!”

Yang kutakutkan terjadi.  Perempuan muda, berseragam serba putih-kebiru-biruan berada di ruangan itu. 

Dia tidak membawa parang. Namun, auranya tetap menyeramkan. Aku diminta rebahan di atas ranjang, kemudian perawat itu membuka celanaku. Benar saja, dia menyuruh bersyahadat. 

Aku meringis, menyeru kalimat itu keras-keras. Kututup mata sambil mengulang-ulang syahadat, sesaat setelah menyaksikan ia mengangkat jarum suntik. Semakin banyak bersyahadat dan semakin fasih, pasti semakin tidak sakit.

“Tidak apa-apa. Ini sengaja disuntik biar nanti tidak sakit saat dipotong.”

ASYHADUALLAA ILAAHA ILLALLAH….” jeritku mengulang lagi, bersamaan dengan suntikan yang ditancapkan.

Suster itu menjepit ujung burung-ku menggunakan alat, lalu bertanya, “Sakitkah, tidak?”

“Sakit, Sus.”

Dia bersiap menambah suntikan baru, buru-buru aku kembali merapal syahadat.

“Masih sakit?” sambil menarik penjepit memastikan sekali lagi.

“Masih.”

Satu suntikan mendarat tanpa aba-aba.

“MAMAK!” teriakku karena kaget.

“Masih sakit?”

Tidak ingin mendapat suntikan tambahan, aku berteriak mantap, menggeleng kuat-kuat, sekaligus bersuara tinggi, “TIDAKMI, SUSTER!”

Padahal saat kembali dijepit, rasanya masih nyut-nyutan.

Penasaran , kuangkat lagi kepalaku melihat kebagian bawah badanku. Perawat itu memegang gunting, baru saja menghabisi ujung kulitku. Rupanya obat bius sudah bekerja dengan baik. Aku nyaris tak merasa sakit lagi.  

Di ranjang sebelah, yang hanya dibatasi kain, teman kakakku yang sangat terlambat disunat tengah meraung-raung.

Dia seorang pemuda, perokok, dan sering mabuk-mabukan. Tangisannya meruntuhkan nyali. Kedengarannya begitu tersiksa. Bahkan sang ayah yang mengantarkan ikutan menangis pilu.

Pasti suster perempuan juga yang menyunatnya. Senyum jahatku tersungging. Syukurlah, berarti bukan cuma aku.

Luka mulai dijahit, dan aku masih saja bersyahadat. Selesai diperban, aku dipersilakan keluar ruangan. Tak lupa menerima amplop dan sarung. Lumayan mengobati rasa ngilu.

Di ruang sebelah, Mono pun telah selesai.

Kami kembali kerumah menenteng dua sarung, berjalan lambat dengan langkah berjingkat-jingkat, semakin mirip kurcaci.

Di tengah jalan, kami bertemu Bapak yang sepertinya sengaja menjemput. Jadilah aku dan adik pulang naik becak. Sementara di belakang, Bapak dan Mamak berjalan beriringan sambil mendorong becak.

***

Malam itu kebetulan mati lampu. Di ranjang sempit yang dihuni aku dan adik-adik, kadang ada saja yang tanpa sengaja menyenggol kaki. Minta maaf, lalu menyenggol lagi-seolah-olah sengaja betul.

Ampun sakitnya. Aku hanya bisa mengomel dan menggigit bibir. Tiga hari nyerinya tak kunjung reda.  bergerak sedikit saja rasanya tidak karuan.

Sadar badan semakin bau, aku minta mandi. Tak lupa ke sumur membawa gelas bekas air meneral yang sudah dirancang oleh Bapak. Benda itu dipasang seperti koteka guyuran air tak membasahi perban.

Hari ke empat, waktunya membuka gulungan jaring yang melilit. Kami digiring ke belakang rumah. Bapak telah menyamar menjadi dokter gadungan, lengkap dengan seragam putih yang beberapa waktu lalu beliau pungut dari tempat sampah. 

“Buka sendiri atau Bapak yang buka?” Bapak menyediakan dua baskom kecil berisi air hangat.

Aku dan adik masing-masing duduk di bangku kayu kecil yang biasa Mamak pakai ketika mencuci baju.

Kalau di rumah sakit ngeri, Nak. Perbannya ditarik keras.” Bapak menakuti, sambil memperagakan. Tangannya membentuk gerakan cepat berputar. Sontak kami ber-hiii seram. “Ayo, siapa duluan.”

Bapak seru sendiri, tampaknya bahagia bukan kepalang mendapati dua anak laki-lakinya tak lama lagi menuju remaja. Laki-laki berkumis tebal itu tak surut menyuntikkan semangat, seolah-olah sedang menonton balapan becak.

Pelan kuputar perbaan yang membalut, Bapak menyaksikan lekat-lekat. Aku dan adik saling pandang, secara bergantian menelan ludah. Kainnya menyatu kuat pada daging karena olesan Betadine, darah, juga kapas.

Aku menyiram air hangat lebih banyak, agar jaring-jaring yang menempel tidak meninggalkan luka. Cukup lama, akhirnya selesai juga.

Namun sayang, dua jahitan terlepas. Tidak sempurnalah hasil sunatku. Aku Trauma dan bercita-cita untuk tidak disunat lagi.

Eh ....

Ya, seseorang yang pernah berkata tentang wujud kasih sayang Bapak ketika anak lelakinya disunat, tidak sepenuhnya benar.

Kenyataannya, aku tidak hanya menjadi saksi mata akan besarnya sayang Bapak. Tapi juga Mamak. 

Baca juga:

*****
Penulis,
S. PRAWIRO
Jakarta

14 komentar untuk "Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 7]"

  1. Keren sekali bunda ceritanya ringan dan menghibur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih ananda Nita. Doa sehat penuh barokah untuk keluarga di sana ya.

      Hapus
  2. Balasan
    1. He he ... Memang sunat itu seharusnya berapa kali ya. Selamat malam ananda Dinni.

      Hapus
  3. cukup menghiburkan walau ada ayat yang saya kurang faham tapi boleh terbayang zaman saya kecil dan teringat teman sepermainan yang laki-laki amat takut bila disebut akan dikhatankan...

    salam kenal dari blog iamfuzy..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali, Mbak Fuzy. Malah lebih takut zaman dahulu kala. Sunatnya pakai pisau. He he .... Terima kasih telah mengapresiasi. Doa barakoh untuk keluarga di sana ya.

      Hapus
  4. Suka sama ceritanya, bisa nih aku ceritain ke keponakanku.

    Haha... nggak mau disunat lagi, tapi kan sunat emang hanya satu kali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, sunat hanya satu kali, ananda Einid. Pernah juga dua kali, kalau sunat pertamana bermasalah, atau hasilnya belum tuntas. Terima kasih atensinya selamat malam.

      Hapus
  5. wkwkwkwkw ngakak juga nih Bu, btw serem juga ya sunat zaman dulu, kebayang deh bagaimana perih dan repotnya ya.
    Dulu saya pernah punya adik laki, dia sunat jadul gitu, terus rewel mulu katanya perih.
    Mama repot juga ngerawat sampai berminggu-minggu.

    Kalau anak saya kemaren nggak ada rewel sih, nggak ada drama lepas perban juga :D
    Untung sekarang tehnik sunat semakin canggih :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Membayangkan teknis sunat zaman dulu, mengerikan becampur kasian. Sebelum burungnya dipotong pakai pisau, atau sembilu, pasien disuruh berendam yang lama dalam baskom. Saat disunat, anak-anak menangis kesakitan. Belum lagi tersiksa soal makanan. Makan ini dilarang, makan itu tak boleh. Sembuhnya pun sampai berbulan. Beda dengan sekarang. usai disunat anak bisa langsung main di luar rumah. Terima kasih tanggapannya ananda Rey. selamat malam.

      Hapus
  6. Mendadak flashback waktu sunat dulu,hehe
    Ngilunya masih berasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ha ha .... Untung hanya sekali ya, Mas Rezky. Tapi, dibandingkan sakit melahirkan, sakit disunat zaman dahulu, belum seujung kuku. Kwikkwikk Selamat malam. Terima kasih tanggapannya.

      Hapus