Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 9]

Ilustrasi Cerpen Bertema Kehidupan, Dongeng Orang Kecil Part 9.  (Foto: S. PRAWIRO]

 Bagi orang kaya, berbelanja di Supermarket tak ada istimewanya. Namun buat orang tak punya, munndar-mandir saja di pusat perbelanjaan merupakan kebahagiaan sekaligus menambah derita batin. Khususnya buat anak-anak di bawah umur.

Lhoh, kok bisa  begitu, Nek?  Ya, iyalah. Mereka berbahagia melihat barang-barang kesukaannya tersusun rapi di rak pajangan. Terutama sejenis  mainan  dan benda-benda  yang berkaitan dengan urusan perut.

Aneka permen, coklat, susu, dan keju  dalam bermacam olahan dikemas cantik dengan plasik bergambar.  Begitu juga  macam-macam roti yang  menggoda selera.  Semuanya tampak mewah. Serasa dirinyalah yang punya.

Dikatakan menderita batin, karena menahan selera. Camilan-camilan cuman dapat dipandang dan dipegang. Tetapi tak bisa dimiliki. Apalagi dimakan, kerena mereka  tak punya uang untuk membeli.

Sang bocah memaksa dirinya menahan keinginan sambil berandai-andai. “Andaikan saya punya uang, andaikan saya anak orang kaya,”  dan sederet andai lainnya bersarang di benak mereka. Kasian bukan? Semoga saja mereka tidak tergoda untuk mencuri.

Mudah-mudahan anak-anak kita semua tak pernah berada pada posisi ini. Begitu pesan Eyang Wiro yang saya tangkap pada Cerpennya berjudul Istana Raksasa berikut ini.

Kisah ini dikutip dari buku “Dongeng Orang Kecil”. Ini adalah kisah ke 9 dari 10 cerpen  yang mendapat izin tayang di celotehnur54  oleh sang penulis  Eyang Wiro.  Semuanya dikemas dalam satu paket “Cerpen Bertema Kehidupan”.

Bagi kalian yang berminat membacanya dalam versi cetak, dapat dipesan langsung pada penulisnya, S. Prawiro, WA:  0852-1868-3868. Buku ini memuat 27 kisah unik dan menarik yang belum pernah ada  di dunia percerpenan.

Istana Raksasa

Ilustrasi Cerpen Dongeng Orang Kecil, Istana Raksasa (Foto Pixabay.com)
 
 Bau karet tercium pekat. Kaleng-kaleng makanan, susu-susu kotak, jajanan mahal yang dulu hanya bisa kusaksikan, semua rusak terbakar.  Deretan sepatu bermerek dan pakaian bagus sudah tak bisa lagi dijual.

Selang dua bulan setelah aku tertangkap basah menguntit, Makasa Supermarket dilahap si jago merah. Dalam kondisi masih berasap, ramai-ramai kami ke sana. Menjarah apa saja yang  sudah terbakar dan tak layak dijual, namun masih sangat berharga bagi kami-para pemulung. 

Bahkan kabel listrik dipotong, dibawa ke lapangan untuk dibakar kami ambil tembaganya  kemudian dijual.  Hari itu, warga pemukiman kumuh bisa makan enak.

Satu yang membebaskan di ingatan tentang sisi gedung ini. Pertemuan dengan perempuan tinggi besar, dengan tompel di pipi, beberapa  minggu sebelum pusat perbelanjaan itu hangus dan menyisakan kenangan.

“Mana permen yang tadi kau pegang?”

Mulutku serasa  sulit bersuara. Jantungku awut-awutan. Ia tampak seperti gladiator perempuan Rumawi Kuno.

“A-ada, Bu. Di sini.” Aku menepuk kantong celana.

“Kenapa taruh di sana?”

“Sumpah kubayarji, Bu.” Suaraku bergetar.

“Ambil cepat, bawa ke kasir!”

Kalau Mamak tahu anaknya mencuri, pasti aku diteriaki dengan kasar, “Cari Mamak lainmu di pasar sana!”

Makasa Supermarket ialah tempat yang menarik. Terlebih bagi orang kecil sepertiku. Ia tampak seperti istana, semuanya ada.

Setiap kali memasukinya, aku bak pengeran kecil yang dikelilingi harta karun. Gula-gula aneka warna, senack yang dikemas menarik  berderet rapi. Terlihat menakjubkan. Apalagi aku bisa menunjuk dan menyentuh sesuka hati. Seolah-olah  akulah pemiliknya.

Hari itu aku sedang bertugas menemani Daeng Naba, seorang bapak tuna netra, mengais rezeki. Asisten pengemis satunya, yakni seniorku, sedang absen. Bersama Daeng Naba, seperti biasa kami duduk tak jauh dari pintu utama pusat perbelanjaan. 

Karena dilanda bosan dan kantuk, aku meninggalkan orang tua itu sendirian dengan kalengan yang sudah berisi uang.  Berkeliling ke dalam, mengamati banyak hal. Tengok kanan-kiri , semuanya terasa aman. 

Saking yakin tak ada yang melihat, aku mengambil permen Hexos dan dengan tenang menyelinapkannya ke saku. Namun dugaanku meleset.

Perempuan bertompel langsung mencegatku. Dia bertanya dengan mata tajam penuh selidik.

Aku mendadak kaku, suara berubah serak, dipenuhi getar ketakutan. Bermacam-macam pikiran semakin memperburuk keadaan. Aku sudah mempermalukan Mamak. Berkali-kali ia menasehati, aku tak boleh mencuri.

Tanpa sepengetahuan gladiator itu, sang pengeran kencing di celana. Refleks meraba kantong yang satunya , beruntung ada uang disana. Paling tidak aku bisa beralasan.

Aliran hangat yang sejak tadi merembes mulai mengeluarkan aroma pesing. Syukurlah perempuan sangar itu masih mau diajak diskusi.

Saat sampai di lobi, aku bertemu skurity itu lagi.

“Lain kali kalau belanja jangan taruh dikantong celana, nanti kau dikira pencuri .”

“Iye.”

“Terus belanjaanmu mana?”

Matanya terpicing lagi.

“Saya taruh di kasir, uangku tidak cukup, Bu.” Skurity itu menghela napas  panjang dan membiarkanku menghilang  dari pandangannya.

Dia ini memang sering memberikan uang kepada Daeng Naba. Mungkin karena dia pernah melihatku bersama tuna netra itulah dia percaya alasanku. Padahal, niat awalku memang ingin mencuri.

Diawali pertemananku dengan gadis remaja yang suka mengantar bos pengemisku ke areal mall. Di waktu luang, aku dan kakak itu masuk ke supermarket. Tempat Favoritnya hanya satu, rak di mana permen-permen dipajang.

Temanku itu lihai sekali mengutil.

Setiap kali pergi berdua, dia mengajarku tekniknya; jangan gugup. Saat dia sedang tidak ada, aku iseng ingin mencoba aksi serupa, sampai akhirnya gladiator dari Romawi Kuno itu memergokiku.

Aku kapok. Tidak ingin lagi merasakan ketakutan yang sama. Apalagi sampai pipis di celana.

Pada akhirnya aku malah bersyukur. Sesungguhnya wanita perkasa itu telah menyelamatkan masa depanku.

Aku berhasil melalui masa kecil tanpa mempunyaai catatan masa lalu dengan menjadi seorang anak penciuri permen.

Kupandang puing-puing Makasa Supermarket. Garis polisi melintang mengelilingi sisa bangunan. Tak ada lagi tempat menarik untukku melepas penat ketika menemani Daeng Naba mengemis.

Menatap bangunan yang telah runtuh dan gosong menghitam, tiba-tiba hatiku sedih

Baca juga:

*****
Penulis,
S. PRAWIRO, Jakarta

4 komentar untuk "Cerpen Bertema Kehidupan | Dongeng Orang Kecil [Part 9]"

  1. Bagus jalan ceritanya, dugaan di mana-mana, harus cekal dan sabar menghadapinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, Mas. Terima kasih atensinya. Selamat malam minggu.

      Hapus
  2. Sudut pandang orang yg mengutil,
    Secara g langsung memberikan pandangan gmana rasanya jadi orang yg mengutil

    BalasHapus
    Balasan
    1. Penguntil profesional tentu beda rasa dengan yang coba2 ya , Mas Rezky. terima kasih telah singgah. Selamat malam.

      Hapus